Sekularisme Akut Pangkal Problematika Indonesia

MUSTANIR.net – Sekularisme adalah paham yang meyakini bahwa agama harus dipisahkan secara tegas dalam kehidupan. Sekularisme ini lahir dan besar di masa kegelapan Eropa sebagai respon atas kekejaman raja kepada rakyatnya yang mengatasnamakan agama.

Di sisi lain, para pendeta selalu membenarkan tindakan zalim raja dengan dalih bahwa raja adalah wakil Tuhan di atas muka bumi. Sehingga kredo yang terkenal waktu itu “suara raja, suara Tuhan”. Tugas pendeta kala itu mencari dalil-dalil dalam Alkitab untuk membenarkan tindakan raja.

Kondisi buruk masyarakat menimbulkan perlawanan terutama di kalangan cendekiawan Eropa kala itu. Mereka berkesimpulan bahwa pangkal kekejaman raja adalah penyatuan hak raja dan hak Tuhan sehingga menjadikan kekuasaan raja bersifat mutlak sebagaimana kekuasaan Tuhan. Kondisi inilah sebagai salah satu pencetus lahirnya perjanjian Westphalia tahun 1648 yang dianggap sebagai cikal bakal sekularisme negara.

Di antara hasil dari perjanjian tersebut adalah semua pihak mengakui perdamaian Augsburg tahun 1555 yang isinya setiap pangeran berhak menentukan agama sendiri. Pilihannya adalah Katolikisme, Lutheranisme, dan sekarang Calvinisme (prinsip cuius regio, eius religio).

Negara tidak lagi menjadikan agama sebagai dasar pemerintahan mereka, agama dikembalikan sebagai hak individu. Bahkan negara tidak boleh memaksakan agama tertentu kepada rakyatnya. Untuk menghalangi praktik buruk pemerintah yang mengatasnamakan agama, maka disepakati pemisahan agama dari negara. Sehingga lahirlah kredo baru, yang menggantikan kredo lama, yakni “berilah hak raja kepada raja, berilah hak Tuhan kepada Tuhan.“

Di beberapa negara Eropa, raja tidak lagi memimpin kekuasaan, mereka hanya menjadi simbol semata. Belanda, Inggris, Swedia, dan lain-lain adalah contoh nyata yang masih menganut prinsip tersebut. Sementara roda pemerintahan diberikan kepada perdana menteri atau presiden. Suksesi kepemimpinan diserahkan kepada rakyat yang menggantikan Tuhan, sehingga terkenal ungkapan dalam sekularisme “vox populi, vox Dei” atau “suara rakyat, suara Tuhan”.

Wujud nyata dari prinsip sekularisme negara adalah negara demokrasi, yang penerapannya disempurnakan di masa pemerintahan Prancis yang mengejawantahkan gagasan demokrasi modern dengan cara memisahkan kekuasaan menjadi tiga, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Hal ini dilakukan demi menghalangi kekuasaan bertumpu pada satu orang saja, yang cenderung despotik. Ide ini dipopulerkan oleh filsuf Prancis Jean-Jacques Rousseau, Montesquieu, dan Voltaire, yang tertuang dalam buku Volonté Générale (Kehendak Umum). Ide ini terus berkembang dan sangat berpengaruh hingga ke AS.

Islam Tidak Mengenal Sekularisme

Islam adalah agama yang khas, berbeda dengan semua agama mana pun di atas muka bumi ini. Islam dengan seluruh aqidah dan syariahnya datang secara langsung dari Allah melalui wahyu. Islam mewajibkan para pemeluknya untuk terikat dengan keduanya secara menyeluruh.

Syariah Islam yang mengatur interaksi manusia dengan dirinya dalam berpakaian, makanan dan minuman, termasuk juga mengatur manusia dengan Tuhannya dalam hal ibadah murni, seperti shalat, puasa, haji, dan mengatur interaksi manusia dengan manusia lainnya. Semisal, sistem ekonomi, politik, pemerintahan, perang, dan hubungan luar negeri.

Dalam beberapa aspek, penerapan syariah Islam membutuhkan institusi pelaksana berupa negara. Di dalam istilah fiqh disebut khilafah, pemimpinya di sebut khalifah. Khalifah, imam, atau amirul mukminin bermakna satu. Khalifahlah satu-satunya pihak yang berhak menerapkan syariat Islam secara kaffah, termasuk memberikan sanksi kepada pelanggar dalam ranah negara.

Khalifah berbeda dengan raja dalam konsep kerajaan. Khalifah adalah manusia yang tidak maksum, dia bisa salah dan bisa benar. Kekuasaan dia tidak mutlak, tetapi dibatasi oleh syariah. Maka dari itu dalam sistem khilafah terdapat majelis umat yang bertugas mengontrol kerja khalifah dalam penerapan syariat Islam. Jika bertentangan secara nyata dengan syariah, maka khalifah bisa saja diturunkan dan diganti dengan lainnya.

Meski kekuasaan khilafah bersifat tunggal dan tidak dibatasi masa pemerintahannya, tetapi dia tidak boleh menyimpang seujung rambut dari syariat Islam. Baik dan buruknya pemerintahan tidak ditentukan oleh berapa lama dia menjabat, atau tunggal atau kolektif, atau berapa lama dia berkuasa, tetapi ditentukan oleh sistem yang dipakai untuk mengatur pemerintahan.

Dalam demokrasi, presiden bisa saja berganti-ganti setiap lima tahun sekali, akan tetapi hakikatnya yang berkuasa sekularisme. Hanya berganti profil semata dan beda gaya cara memerintah. Dalam demokrasi, secara teori kekuasaan terbagi tiga tetapi hakikatnya satu, dengan kolusi dan kongkalikong di balik layar untuk memenuhi kepentingan segelintir kelompok.

Walhasil dalam Islam tidak ada sekularisme. Syariat Islam diterapkan secara sempurna dalam negara, baik dalam aspek politik, ekonomi, dan militer, ataukah dalam aspek interaksi sosial demi menjaga akidah dan kehormatan manusia.

Penerapan sekulerisme di negeri ini melahirkan banyak problem yang tidak kunjung selesai hingga saat ini, bahkan cenderung bertambah parah. Mulai dari kriminalitas, pemerkosaan, perjudian, kekerasan, separatisme, hegemoni asing, utang luar negeri, korupsi, inflasi, pengangguran, dan sebagainya. Hal ini semua bermula karena agama ini dipisahkan dalam mengatur negara.

Secara i’tiqadi sebagai seorang muslim, kita percaya bahwa penerapan syariat Islam oleh khilafah akan membawa kesejahteraan yang hakiki. Tidak semata-mata pada capaian-capaian materi tetapi pada kebahagiaan karena melaksanakan perintah Allah. Juga meyakinkan kita bahwa segala perbuatan kita di dunia ini, apakah sebagai politisi, pemerintah, buruh, guru, militer, teknokrat, atau lainnya, jika dilakukan karena dasar perintah syariat Islam maka akan mendapatkan pahala di akhirat kelak. []

Sumber: Muhammad Ayyubi (Direktur Mufakkirun Siyasiyyun Community)

About Author

Categories