Semangat Jihad Jendral Muslim: Jendral Sudirman
Salah satu pahlawan Indonesia yang kisahnya cukup terkenal adalah Jenderal Sudirman. Ia mudah diingat, karena dalam berbagai buku sejarah dan literatur sejarah disebutkan bahwa meski sakit dan harus ditandu ia tetap memimpin perang. Namun, tak banyak yang mencatat bahwa Jenderal Sudirman adalah seorang sholeh yang selalu mengobarkan semangat jihad yang selalu meneladani Rasulullah.
Ia lahir dari keluarga petani kecil, di desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah, pada tanggal 24 Januari 1916. Ayahnya hanyalah seorang mandor tebu pada pabrik gula di Purwokerto. Sejak bayi Soedirman diangkat anak oleh asisten wedana (camat) di Rembang, R. Tjokrosunaryo.
Bakat dan jiwa perjuangannya mulai terlihat sejak dari kepanduan Hizbul Wathon ini, juga peningkatan kemampuan pisik dan penggemblengan mental. Bakat kemiliterannya ditempa melalui organisasi berbasis dakwah. Bahkan semangatnya berjihad telah mengantarkan Soedirman menjadi orang nomor satu dalam sejarah militer Indonesia.
Karir militer Sudirman tergolong cepat. Pada masa itu pula Sudirman mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Kemudian ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Jasa pertama Sudirman setelah kemerdekaan ialah merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas.
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi Panglima Divisi V / Banyumas dengan pangkat kolonel. Bulan Desember 1945 ia memimpin pasukan TKR dalam pertempuran melawan Inggris di Ambarawa. Tanggal 12 Desember dilancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Akhirnya pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.
Dalam Konferensi TKR tanggal 12 Nopember 1945 Sudirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR. Lalu tanggal 18 Desember 1945 ia dilantik oleh Presiden dengan pangkat Jenderal. Sejak itu TKR tumbuh menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sebagai kader Muhammadiyah, Panglima Besar Jendral Soedirman dikenal sebagai santri atau jamaah yang cukup aktif dalam halaqah pengajian ‘malam Selasa’ yaitu pengajian yang diadakan di oleh PP Muhammadiyah di Kauman berdekatan dengan Masjid Besar Yogyakarta. Seorang Panglima yang istimewa, dengan kekuatan iman dan keislaman yang melekat kuat dalam dadanya. Sangat meneladani kehidupan Rasulullah SAW dalam kesederhanaan, sehingga perlakuan khusus dari jamaah pengajian yang rutin diikutinya dipandang terlalu berlebihan dan ditolaknya secara halus.
ketika itu, hampir semua orang tahu kalau Pak Dirman orang yang shaleh dan taat beragama. Hingga oleh para anak buahnya biasa disapa Kajine, istilah Jawa untuk panggilan Pak Haji. Padahal beliau belum pernah ke Mekkah. Dalam perjalanan gerilya, setiap mampir di pedesaan atau kampung, Pak Dirman selalu menyelenggarakan pengajian. Tiap malam, walau ia tengah menderita penyakit paru-paru yang kronis, Pak Dirman selalu menunaikan shalat tahajud.
Seorang jendral yang shalih, senantiasa memanfaatkan momentum perjuangan dalam rangka menegakkan kemerdekaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari wujud nyata pelaksanaan jihad fi sabilillah. Spirit inilah yang diwariskan kepada anak buahnya bahwa mereka yang gugur di medan laga tidaklah mati melainkan gugur sebagai syuhada. Untuk mensosialisasikan gelora jihad, baik di kalangan internal tentara maupun rakyat secara umum, Jendral Besar ini menyebarkan pamphlet/selebaran yang berisi seruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk terus melawan Belanda dengan mengutip tarjamah hadits Rasulullah SAW.
“Insjaflah ! Barangsiapa mati, padahal (sewaktoe hidoepnya) beloem pernah toeroet berperang (membela kebenaran dan keadilan) bahkan hatinya berhasrat perang poen tidak, maka matilah ia diatas tjabang kemoenafikan.”
Dalam rangka mengobarkan semangat jihad di kalangan tentara dan masyarakat, Pak Dirman erat menjalin hubungan kerja sama dengan pesantren-pesantren. Sebagai contoh, pada waktu pertempuran di Magelang, kemudian di Ambarawa, Pak Dirman sering ada di Payaman (sebelah utara Magelang) dan bekerja sama dengan pondok pesantren yang dipimpin Kyai Siraj. Pondok Pesantren ini banyak menggiring santrinya untuk berjihad dalam pertempuran Ambarawa.
Perang gerilya yang dilakukan, tak lepas dari usaha mencontoh apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW sewaktu berada di desa Karangnongko, setelah sebelumnya menetap di desa Sukarame, Panglima Jendral Soedirman yang memiliki naluri seorang pejuang, mempersepsikan desa tersebut tidak aman bagi keselamatan pasukannya. Maka beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan desa dengan taktik penyamaran, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW beserta Abu Bakar saat akan hijrah ke Madinah.
Bukti lain Jenderal Dirman dekat dengan perjuangan Islam adalah pada pertengahan tahun 1946, beliau mengunjungi laskar Hisbullah-Sabilillah Surakarta yang sedang mempersiapkan kembali maju ke medan perang di Alas Tuo dan Bugen. Waktu itu diadakan pertemuan di rumah Kyai H. Adnan di Tegalsari, Surakarta. Kedatangan sang jeneral besar kontan makin menambah semangat juang anggota Hisbullah-Sabilillah yang tengah bersiap berangkat ke medan perang. Jenderal Besar Soedirman mengawali kata sambutannya dengan melantunkan ayat-ayat al-Qur’an surah Ash-Shaf ayat 10-12 yang kemudian diterjemahkannya sendiri: “Hai orang-orang yang beriman, maukah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang akan menyelematkanmu dari siksa yang pedih. Yaitu, kamu yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwamu…”
Sewaktu Belanda melancarkan Agresi Militer II, Jendral Sudirman sedang sakit, tetapi ia menapik saran Presiden untuk tetap tinggal di dalam kota. Kurang lebih tujuh bulan ia mempimpin perang gerilya di hutan-hutan dan gunung-gunung. Banyak penderitaan yang dialaminya terutama penyakitnya sering kambuh dan tak tersedianya obat-obatan. Betapa lengkapnya perjuangan dan pengorbanan beliau.
Selain itu Jenderal Sudirman pun sangat memperhatikan masalah sosial. Di masa pendudukan Jepang, ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Pada zaman itu, tidak banyak yang mengerti tentang pentingnya koperasi. Selain itu, beliau juga menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Keresidenan Banyumas. Suatu posisi yang memungkinkannya untuk selalu bisa memberi lebih buat rakyat.
Sebuah perjuangan yang penuh dengan keteladanan, patut dijadikan pelajaran dan contoh kita semua, sebagai anak bangsa. Perjalanan panjang seorang mujahid dakwah yang tidak lagi memikirkan tentang dirinya melainkan berbuat untuk bangsanya yang tercinta. Penyakit TBC yang diderita, tidak menyurutkan langkah perjuangannya.
Pak Dirman juga selalu menanamkan kepada tiap anak buahnya sikap hidup “Hidup mulia atau mati syahid” (“Isy Kariimah Aumut Syahidan”) dalam setiap pidatonya. Ayat-ayat Qur’an idolanya adalah ayat-ayat Qur’an yang banyak mengandung kata “Jihad” seperti surah Ash-Shaff ayat 10 dan 11 serta surah al-Baqarah ayat 154. Jenderal Sudirman juga sering meneriakkan takbir “Allahu Akbar!” saat memimpin peperangan.
Sampai akhir usianya 38 tahun, Soedirman kembali kepada-Nya pada tanggal 29 Januari 1950, hari Ahad. Bangsa Indonesia mencatat satu lagi pejuang yang lahir dari rahim ummat, untuk ummat dan selalu berjalan seiring dengan kepentingan ummat.
(dari berbagai sumber)