Seorang Shahabat Yang Sebanding Seribu Musuh

Seorang Shahabat Yang Sebanding Seribu Musuh

Mustanir.com – Mendengar namanya, para penyamun dari suku-suku Badui di kawasan Jazirah Arab langsung tunggang langgang melarikan diri. Hingga demikian tak satu pun dapat lolos dari kejarannya. Inilah kesatria dari suku Bani Tamim, Al-Qa’qa’ bin Amr At-Tamimi.

Al-Qaqa bin Amr ini memang dikenal di kalangan kaumnya sebagai kesatria yang hebat. Keahliannya dalam memainkan pedang dan seni perang serta keahliannya berkuda tak ada yang meragukan kemampuannya ini. Inilah keahlian yang menjadi kebanggaan setiap pria di Jazirah Arab. Keahliannyalah yang mengantarkan dirinya menempati posisi terhormat di kalangan kaumnya dan suku-suku lain.

Pada tahun 9 H, di suasana yang tenang ini, suku-suku Arab terus berbondong-bondong mendatangi Rasulullah di Madinah. Berbaiat menyatakan sumpah setia memeluk Islam, termasuk suku Tamim. Al-Qa’qa’ bin Amr yang memang seorang kesatria dan ahli dalam bidang syair di kalangan suku Tami mini, seperti mendapatkan pengalaman baru saat melihat fenomena yang langka ini—bahkan tak pernah terjadi—yang menyejukkan jiwanya di Masjid Nabawi. Lantunan ayat-ayat Al-Qur’an membuatnya tertegun. Inilah awal pengalaman spiritual dari seorang kesatria yang hebat, Al-Qa’qa’ bin Amr.

Maka saat ia bersama rombongan suku Tamim bertatap muka dengan Rasulullah, jiwanya bergetar. Pancaran keagungan Rasul dan untaian katanya mengetuk jiwa Al-Qa’qa’ bin Amr. Hatinya pun mulai terbuka untuk menerima hidayah Ilahi. Saat itulah tanpa ragu Al-Qa’qa’ bin Amr berikrar dan bersyahadat di depan Rasulullah. Sekembalinya dari Madinah, Al-Qa’qa’ bin Amr bersama keluarga dan kaumnya memeluk Islam. Sayang, Al-Qa’qa’ bin Amr  tak sempat untuk ikut serta dalam menunaikan ibadah haji wada’ karena harus merawat ibunya yang menderita sakit.

Namun begitu, hatinya selalu diliputi kerinduan yang mendalam untuk belajar dan mengabdi kepada Rasulullah di Madinah. Sejak berada di Madinah, Al-Qa’qa’ bin Amr tak pernah absen untuk menghadiri majelis Rasulullah. Ia sadar dirinya memeluk Islam dengan sangat terlambat.

Sebagai seorang kesatria suku Tamim, Al-Qa’qa’ bin Amr  mendapat tugas melatih seni militer kaum Muslimin di kawasan luar kota Madinah. Inilah pasukan yang dipersiapkan oleh Rasulullah di akhir hayatnya. Sebuah pasukan yang dipimpin sahabat termuda Usamah bin Zaid.

Namun kebersamaan Al-Qa’qa’ bin Amr dengan Rasulullah tak beralangsung lama. Pada tahun 11 H, Rasulullah wafat menghadap Allah Yang Maha Esa. Dan inilah yang membuat dirinya larut dalam kesedihan bersama sahabat-sahabat Rasulullah yang lain.

Di masa pemerintahan Abu Bakar yang menjadi khalifah pertama dalam Islam ini, Al-Qa’qa’ bin Amr  tampil cemerlang di berbagai medan jihad. Hingga akhirnya Al-Qa’qa’ bin Amr  menjadi satu-satunya orang  yang dikirim oleh khalifah Abu Bakar sebagai bala bantuan kepada Khalid yang tengah menghadapi kesulitan, karena sebagian besar pasukannya memilih untuk beristirahat daripada berperang melawan Persia. Di sinilah ketangkasan Al-Qa’qa’ bin Amr  benar-benar teruji seperti yang dikatakan oleh khalifah Abu Bakar, “Seorang qaqa berbanding dengan 1.000 pasukan.” Kaum Muslimin pun meraih kemenangan gemilang dan berhasil menguasai kawasan Hirah di Iraq.

Nama Al-Qa’qa’ bin Amr  semakin menjadi perbincangan di kalangan kaum Muslimin setelah dirinya membuat gentar pasukan Romawi dalam Perang Yarmuk di Syam. Bersama Ikrimah bin Abu Jahal, Al-Qa’qa’ bin Amr  berhasil membakar semangat kaum Muslimin dalam menghadapi pasukan Romawi, hingga akhirnya meraih kemenangan. Kemenangan yang tercatat dalam sejarah Islam sebagai tonggak yang membuka gerbang bagi penaklukan-penaklukan Muslimin di luar Jazirah Arab.

Pada tahun 13 H, di suasana yang mengharukan ini, khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq meninggal dunia menghadap Allah Yang Maha Esa. Selanjutnya, kekhalifahan pun beralih ke tangan Umar bin Al-Khattab yang menjadi khalifah kedua dalam Islam. Amirul Mukminin Umar pun mengirim bala bantuan untuk pasukan Sa’ad bin Abu Waqqash untuk menaklukkan kota Madain, tempat singgasana Raja Persia ini dan sekaligus menjadi ibukota Persia. Amirul Mukminin Umar mengirim Al-Qa’qa’ bin Amr  yang tengah berada di Syam yang sedang berperang melawan pasukan Romawi agar bergerak ke Iraq menyusul pasukan yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abu Waqqash.

Qadisiyah merupakan kawasan yang menjadi gerbang menuju benteng Jalaula yang merupakan benteng kota Madain, ibukota Persia. Di Qadisiyah ini, Kaum Muslimin terlibat pertempuran yang sangat dahsyat melawan pasukan Persia. Al-Qa’qa’ bin Amr yang baru tiba di medan qadisiyah ini, langsung menggebrak hingga membuat nyali Persia menjadi ciut.

Sa’ad bin Abu Waqqash yang tengah menderita sakit dan hanya bisa mengatur pertempuran di sebuah tenda besar, segera memberi perintah kepada Al-Qa’qa’ bin Amr dan saudaranya, Asim untuk menangani gajah putih yang selalu membuat kekacauan di barisan kaum Muslimin.

Benar saja, dengan ketangkasannya Al-Qa’qa’ bin Amr dan saudaranya berhasil melempar tombak tepat mengenai sasarannya, yaitu di kedua mata gajah itu. Inilah yang mengawali kemenangan kaum Muslimin dalam perang yang menentukan atas kemenangan melawan pasukan Persia.

Al-Qa’qa’ bin Amr kemudian bergerak ke benteng jalaula yang merupakan gerbang Madain. Di medan jalaula ini, Al-Qa’qa’ bin Amr kembali memperlihatkan taringnya sebagai ahli perang. Dia dan pasukannya dari suku Tamim kembali mendobrak musuh hingga membuat Persia terkesima dengan kehebatannya.

Akhirnya dengan jatuhnya benteng jalaula ini, secara praktis membuat kaum Muslimin dengan mudah menaklukkan kota Istana Putih ini yang merupakan tempat singgasana  Raja Persia. Dengan begitu, secara otomatis negeri yang kaya raya ini jatuh ke tangan kaum Muslimin.

Al-Qa’qa’ bin Amr memang kesatria tanpa tanding. Namun, berkat kecerdasan dan ketulusannya terhadap agama, membuat dirinya semakin mantap dan sempurna. Itulah mengapa khalifah Utsman bin Affan mengangkatnya sebagai seorang gubernur di Armenia. Ketegasannya sebagai pemimpin menjadi modal utamanya untuk berlaku adil dalam menghadapi berbagai masalah yang terjadi di masyarakatnya.

Sejak wafatnya khalifah utsman bin Affan, Al-Qa’qa’ bin Amr tetap setia mengabdi kepada khalifah yang dibaiat kaum Muslimin. Itulah mengapa ia begitu setia menjadi pendamping Ali bin Abu Thalib dan terus mengawal kekhalifahan yang sah yang dibaiat kaum Muslimin.

Al-Qa’qa’ bin Amr adalah orang yang sangat rajin untuk mengasah kemampuan dirinya sehingga dia menjadi orang yang hebat di lapangan. Mungkin Al-Qa’qa’ bin Amr tidak dikenal sebagai ahli ilmu dan ahli Al-Qur’an, tetapi Al-Qa’qa’ bin Amr benar-benar hadir sebagai orang yang mempunyai keistimewaan di mana orang lain susah mencari keistimewaan itu. Hal itu harus kita miliki, karena kita mungkin tidak menguasai banyak hal, tetapi kuasailah satu hal saja yang menurut kita, kita mampu melakukannya yang dengan itu kelak kita akan dengan mudah menjawab pertanyaan Allah saat kita hadir di hadapan-Nya bahwa kita adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain.

Berakhirnya masa kekhalifahan Hasan bin Ali, dan beralihnya kekhalifan ke tangan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Al-Qa’qa’ bin Amr memutuskan untuk mengndurkan diri dan pindah ke wilayah Mesir, hingga ia wafat pada tahun 40 H. Dialah potret Muslim yang sejati yang mengedepankan keberanian, kejujuran, dan ketulusan serta kesetiaannya kepada agama yang diridhai oleh Allah ini dan kepada Rasulullah. semoga Allah meridhaimu wahai Al-Qa’qa’ bin Amr.

SUMBER

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories