Sudah Belajar Ushul Fiqih Tetapi Masih Taqlid
Sudah Belajar Ushul Fiqih Tetapi Masih Taqlid
Oleh: Hanif Luthfi, Lc
Suatu ketika dalam sesi tanya jawab, ada salah satu jamaah bertanya begini, “Ustadz kan sudah Lc dan belajar ushul fiqih, kenapa masih taqlid?”
“Maksudnya?” tanya saya balik.
“Ketika menjawab pertanyaan fiqih, kenapa masih memakai pendapat A begini pendapat B begini. Kenapa tidak langsung jawab hadits shahihnya apa, hukumnya bagaimana. Jadi jelas kita mengikuti sunnah” Sergah bapak yang bertanya tadi.
Ada beberapa hal yang ingin saya jelaskan terkait pertanyaan tadi. Sepertinya pertanyaan model begitu juga sering kita temukan saat ini. Pertama, terkait gelar Lc. Kedua, terkait belajar ushul fiqih dan taklid.
Pertama, Gelar Lc Bukan Jaminan Mutu Ustadz
Memang saat ini tak jarang yang menjadikan gelar Lc sebagai jaminan produk mutu seorang ustadz. Seolah jika sudah Lc berarti ahli dalam bidang agama. Banyak ustadz kondang yang memiliki gelar Lc di belakang namanya.
Hal ini perlu dijelaskan lebih lanjut. Lc adalah singkatan dari Licence yang dalam bahasa Arab disebut dengan (الليسانس). Asalnya bukanlah dari Bahasa Arab, tetapi dari Bahasa Perancis. Ia adalah gelar akademik untuk setingkat strata satu jurusan Ilmu nadzari atau teoritis; seperti keagamaan, adab dan sastra, bahasa serta hukum perundang-undangan.
Jadi, tidak semua Lc itu lulusan jurusan keagamaan. Ditambah lagi, tak semua Lc fakultas keagaaman juga jurusannya syariat. Bisa jadi jurusannya adalah bahasa dan sastra. Maka, menganggap semua Lc adalah ahli syariah adalah kurang tepat. Apalagi dianggap gelar Lc sudah bisa menjadi modal menjadi mujtahid yang haram untuk bertaklid, itu sebuah kekeliruan.
Kedua, Sudah Belajar Ushul Fiqih (Tidak) Haram Taklid
Buat apa belajar di fakultas kedokteran jika masih berobat di tempat orang lain? Begitulah kira-kira analogi berpikir tentang ushul fiqih dan taklid tadi.
Memang benar, Imam Syamsuddin Ad-Dzahabi (w. 748 H), dalam kitabnya Zaghlul Ilmi, h. 20 pernah berujar:
ولا فائدة في أصول الفقه إلا أن يصير مُحصِّلُه مجتهدا، فإذا عرفه و لم يَفُكَّ تقليدَ إمامه لم يصنع شيئا بل أتعب نفسه و ركب على نفسه الحجّة في مسائل
“Faedah dari belajar ushul fiqih adalah menjadikan orang yang mempelajarinya menjadi seorang mujtahid. Ketika seorang mengetahuinya tetapi tidak melepaskan diri dari taklid kepada imamnya, maka dia tidak berbuat apa-apa. Kecuali hanya melelahkan diri saja”
Pemahaman sekilas dari perkataan Imam ad-Dzahabi (w. 748 H) diatas adalah buat apa belajar ushul fiqih, jika masih taklid. Karena tujuan belajar ushul fiqih adalah menjadikan seorang menjadi mujtahid.
Tetapi jika kita lebih dalami lagi, ketika seorang belajar ilmu ushul fiqih, malah seharusnya yang terjadi adalah sebaliknya. Karena ushul fiqih yang harus diketahui oleh mujtahid sangatlah banyak, luas dan mendalam.
Terlebih, orang yang diharapkan tidak lagi taklid dan menjadi mujtahid oleh ad-Dzahabi (w. 748 H) adalah “al-Muhasshil” atau orang yang menghasilkan produk teori ushul fiqih, bukan orang yang hanya menikmati hasil teori ushul fiqih dari orang lain. Artinya, ketika seorang sudah sampai bisa merumuskan sendiri teori dan kaedah ushul fiqih, maka untuk apa lagi dia bertaklid kepada orang lain.
Jika belum bisa merumuskan sendiri teori ushul fiqih, kenapa harus malu untuk bertanya dan bertaklid kepada ulama yang lebih tau dan kompeten.
Ushul Fiqih yang Wajib Diketahui Mujtahid
Sebut saja Imam as-Syaukani (w. 1250 H), salah seorang ulama yang cukup keras mengkritisi taklid dan muqallid, dalam kitabnya al-Qaul al-Mufid fi Adillati al-Ijtihad wa at-Taklid. Ketika beliau menyebutkan salah satu syarat mujtahid adalah harus mengetahui ushul fiqih, dalam kitab beliau yang lain beliau berkata:
الشرط الرابع: أن يكون عالما بعلم أصول الفقه، لاشتماله على ما تمس حاجة إليه، وعليه أن يطول الباع فيه، ويطلع على مختصراته، ومطولاته، بما تبلغ إليه طاقته، فإن هذا العلم هو عماد فسطاط الاجتهاد، وأساسه الذي تقوم عليه أركان بنائه، وعليه أيضا أن ينظر في كل مسألة من مسائله نظرا يوصله إلى ما هو الحق فيها، فإنه إذا فعل ذاك تمكن من رد الفروع إلى أصولها، بأيسر علم، وإذا قصر في هذا الفن صعب عليه الرد، وخبط فيه وخلط.
Syarat keempat (dari seorang mujtahid) adalah mengetahui ilmu ushul fiqih, karena di dalamnya termuat hal yang sangat dibutuhkan seorang mujtahid. Seorang harus mengatahui secara mendalam dan komprehensif, membaca kitab ringkas dan yang panjang dalam ushul fiqih, semaksimal batas kemampuannya.
Karena ilmu ini adalah tiang dan pondasi dari ijtihad, seorang mujtahid juga harus benar-benar mengetahui semua masalah terkait ushul fiqih, sehingga bisa menyimpulkan mana yang benar. (as-Syaukani w. 1250, Irsyad al-Fuhul, h. 2/ 209).
Maka ketika seorang baru membaca satu atau dua kitab ushul fiqih, tentu belum bisa dikatakan mujtahid yang harus tidak taklid. Apalagi jika belajar ushul fiqihnya hanya membaca-baca sendiri, lalu menyomot perkataan-perkataan ulama, disusun sendiri tanpa ada guru yang jelas, lantas keluar ruang belajarnya dan berujar secara tidak langsung pada dunia, “hum rijal wa nahnu rijal”, kalo mereka para ulama bisa berijtihad, saya juga bisa, tentu yang seperti itu jauh untuk disebut mujtahid.
Belum lagi ada syarat-syarat yang lain seorang mujtahid, semisal mengetahui al-Qur’an dan hadits secara mendalam, mengetahui masalah ijma’ dan masalah khilaf para ulama, mengetahui Bahasa Arab dan sastranya secara mendalam, mengetahui dalalah lafadz, dan lain sebagainya.
Analaogi ushul fiqih dan mujtahid diatas mungkin kita bisa ganti. Orang yang sekolah di jurusan teknik mesin motor, tak harus membuat sendiri motornya untuk dinaiki. Orang yang kuliah di jurusan farmasi, tak harus membuat obat dengan tangannya sendiri. Begitu juga, orang yang belajar ilmu ushul fiqih tak lantas menjadi mujtahid yang harus menggali hukum sendiri dalam mengamalkan agamanya.
Ushul Fiqih, Usaha Melindungi Nash Agama
Sebagaimana ilmu musthalah hadits muncul sebagai usaha melindungi otentisitas hadits, adanya ilmu ushul fiqih adalah sebagai usaha dalam melindungi dalil nash agama dari pemahaman yang keliru.
Syarat yang cukup ketat dalam menjadi mujtahid, tidak lain adalah usaha agar tidak sembarangan orang boleh menafsiri dan menyimpulkan hukum dari nash dalil al-Qur’an dan Hadits. Membiarkan setiap orang boleh berijtihad, sama halnya membiarkan setiap orang boleh mengendarai mobil di jalan. Maka yang terjadi adalah kekacauan.
Termasuk diantara usaha melindungi nash agama dari kekacauan istinbath adalah dengan adanya madzhab fiqih.
Membiarkan orang awam berijtihad sendiri dari al-Qur’an dan hadits itu, bisa jadi lebih bahaya daripada membiarkan mereka beribadah dengan taqlid kepada ulamamuktabarah.
Membiarkan orang yang belum ahli dalam menyetir, untuk menyetir sendiri mobilnya, bisa jadi lebih bahaya daripada membiarkan mereka untuk duduk manis di dalam mobil, mengikuti sopirnya yang sudah ahli. Menjadi penumpang yang cerdas, tentu harus tahu kemana mobil itu akan menuju. Dan itulah pentingnya belajar Ushul Fiqih.
waAllahua’lam bisshawab