Tafsir Ayat Tentang Puasa
Tafsir Ayat Tentang Puasa
(Tafsir QS al-Baqarah[2]: 85)
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(Yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Siapa saja di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah dia berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa saja yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itulah yang lebih baik bagi dirinya. Berpuasa itu lebih baik bagi kalian jika saja kalian tahu (QS al-Baqarah [2]: 85).
Dalam ayat sebelumnya Allah SWT memerintah kaum Mukmin untuk berpuasa. Diberitakan pula, ibadah puasa juga pernah diperintahkan kepada umat-umat sebelum mereka. Kesamaan tersebut hanya dari segi kewajibannya, bukan dari jumlah hari dan penetapan bulannya. Pada akhir ayat tersebut disebutkan, dengan melaksanakan ibadah puasa itu diharapkan dapat membuat mereka menjadi orang-orang bertakwa.
Kemudian dalam ayat ini diterangkan beberapa hal tentang pelaksanaan puasa, termasuk ketentuan khusus yang berlaku bagi orang-orang yang mendapatkan uzur.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Ayyâm[an] ma’dûdât[in] ([yaitu] dalam beberapa hari tertentu). Kataayyâm[an] merupakan bentuk jamak dari kata yawm yang berarti hari. Dalam ayat ini, kata tersebut berkedudukan sebagai zharf zamân (keterangan waktu) dari kata kerja yang dihilangkan, yang diperkirakan berbunyi: Shûmû ayyâm[an] (Berpuasalah beberapa hari).1 Adapun ma’dûdâtmerupakan sifat dari kata ayyâm.2
Frasa ayyâm[an] ma’dûdât[in] dapat diartikan sebagai hari-hari tertentu dengan jumlah yang telah diketahui. Dari bentuk jamak yang digunakan—yakni jumû’ al-qillah—dapat pula dipahami bahwa itu isyarat yang menunjukkan sedikitnya hari yang diperintahkan untuk berpuasa itu.3 (Lihat pula kata ma’dûdât dengan makna qalîlah (sedikit) dalam: QS Yusuf [12]: 20).
Frasa ayyâm[an] ma’dûdât menunjuk padab hari-hari bulan Ramadhan. Demikian menurut kebanyakan mufassir, seperti Ibnu Abbas, al-Hasan, Abu Muslim;4 ath-Thabari, al-Qurthubi, asy-Syaukani dan lain-lain.5 Kesimpulan tersebut dikuatkan dengan ayat berikutnya yang menegaskan bahwa siapa saja yang menjumpai bulan Ramadhan hendaklah dia berpuasa. Ramadhan memang beberapa hari, yakni dua puluh sembilan atau tiga puluh hari. Jika dibandingkan dengan setahun yang berjumlah 354 hari, jumlah tersebut tentu sedikit.
Kemudian Allah SWT berfirman: Faman kâna minkum marîdha[an] aw ‘alâ safar[in] (Siapa saja di antara kalian sakit atau dalam perjalanan [lalu ia berbuka]). Frasa ini menjelaskan ketentuan orang yang mengalami dua keadaan, yakni marîdh: (sakit) dan a’lâ safar[in] (dalam perjalanan).
Menurut jumhur ulama, sakit yang dibolehkan untuk berbuka adalah sakit yang parah, yang mengantarkan pada bahaya jiwa, atau menambah parah penyakitnya, atau dikhawatirkan tertunda kesembuhannya. Demikian juga dengan perjalanan, yang dibolehkan berbuka adalah perjalanan yang panjang, yang umumnya mengantarkan pada masyaqqah (kesulitan dan kepayahan).6
Selain faktor jarak, perjalanan yang diberikan rukhshah adalah perjalanan dalam rangka menjalankan ketaatan seperti haji, jihad, menyambung silaturahmi dan mencari penghidupan pokok. Menurut al-Qurthubi, tidak ada perbedaan di antara ulama tentang hal ini. Adapun perjalanan untuk perdagangan dan mubah, terdapat perbedaan antara melarang dan membolehkan. Menurut al-Qurthubi, yang lebih rajih adalah yang membolehkan. Sebaliknya, jika perjalanan maksiat, yang lebih rajih adalah yang melarang.7
Mereka yang berbuka karena uzur tersebut wajib meng-qadha’ puasanya pada hari lain di bulan yang lain. Ini diterangkan dalam firman Allah SWT selanjutnya: fa ‘iddatun] min ayyâm[in] ukhar(maka [wajiblah bagi dia berpuasa] sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain). Kata ‘iddah merupakan bentuk fi’lah dari kata al-‘idd, artinya al-ma’dûd (jumlah). Adapun ukharmerupakan bentuk jamak dari kata ukhrâ (yang lain).8
Dalam kalimat ini terdapat kata yang dihilangkan. Lengkapnya: Siapa pun di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan, lalu berbuka, wajib meng-qadha’ puasanya,9 setelah bulan berlalu, sejumlah hari yang ditinggalkannya.10
Dijelaskan oleh Syaikh Atha’ Abu Rasytah, ketetapan meng-qadha’ pada hari lainnya ini menjadiqarinah bahwa perintah puasa yang disebutkan dalam ayat sebelumnya merupakan perintah wajib, arrtinya perintah yang yan bersifat jazim. Jika ditinggalkan akan mendapatkan doa.
Kemudian Allah SWT berfirman: wa ‘alâ al-ladzîna yuthîqûnahu (dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa [jika mereka tidak berpuasa]). Kata ath-thâqah, bentuk mashdar dari kata yuthîqûna, menurut az-Zuhaili berarti memikul sesuatu dengan berat dan susah-payah. Artinya, orang-orang yang memikul beban yang amat berat.11 Tak jauh berbeda, alshShabuni juga menafsirkan kalimat tersebut sebagai yashûmûnahu bi masyaqqah wa ‘usr (mereka berpuasa dengan berat dan susah payah).12
Dalam konteks ayat ini, sebagaimana dikatakan juga oleh al-Jazairi, yuthîqûnahu berarti memikul beban berat karena tua-renta atau sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya.13 Ibnu ‘Athiyah juga berkesimpulan, pengertian al-ladzîna yuthîqûnahu adalah orang-orang yang lanjut usia dan lemah.14
Dengan demikian, setelah sebelumnya diterangkan ketentuan orang yang sakit yang masih dapat diharapkan kesembuhannya, frasa ini menjelaskan tentang orang-orang yang sakit dan tidak dapat diharapkan kesembuahnnya; atau orang-orang yang sangat tua sehingga fisiknya tidak mampu berpuasa.
Tentu mereka tidak bisa meng-qadha’ pada hari lainnya karena makin hari makin tua dan lemah sehingga tidak mungkin bisa meng-qadha’. Orang yang mengalami keadaan demikian diberi ketentuan: fidyat[un] tha’âm miskîn (membayar fidyah [yaitu] memberi makan seorang miskin). Kata al-fidyah berarti sesuatu yang digunakan oleh manusia untuk menebus dirinya, baik harta maupun lainya, disebabkan adanya kealpaan dalam menunaikan salah satu ibadah. Ini serupa dengan kaffarah dari satu sisi.15
Mereka yang tidak bisa menunaikan ibadah puasa kecuali dengan amat berat dan susah-payah wajib membayar fidyah atau dengan memberi makan kepada satu orang miskin sebanyak hari yang ditinggalkan.
Memang ada yang berpendapat bahwa ayat ini telah mansukh. Menurut mereka, pada awal Islam boleh untuk memilih antara puasa dan membayar fidyah. Namun, pendapat yang kuat, ayat ini tidak mansukh. Ibnu Abbas berkata, “Ini tidak mansukh. Ini untuk orang yang tua renta, laki-laki maupun perempuan, yang tidak mampu berpuasa. Mereka harus memberi makan satu orang miskin setiap hari sebagai penggantinya.”16
Kemudian Allah SWT berfirman: Faman tathawwa’a khayr[an] fahuwa khyr][un] lahu (Siapa saja yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itulah yang lebih baik bagi diriya). Menurut al-Alusi, yang dimaksud adalah menambah dari ukuran yang telah ditetapkan. Menurut Mujahid, menambah dari jumlah yang diwajibkan. Dia memberi makan dua orang miskin atau lebih.17
Allah SWT berfirman: Wa an tashûmu khayr[un] lakum in kuntum ta’lamûn (dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika saka kalian tahu). Ini memberikan pengertian bahwa siapa saja yang diberirukhshah untuk berbuka, seperti musafir dan orang sakit, maka berpuasa lebih baik bagi dirinya, dengan catatan, sakit atau bepergiannya tidak berat baginya, dan dia mampu berpuasa tanpa kesulitan. Namun, jika puasanya memberatkan dia, baik karena sakit atau dalam perjalanan, maka berbuka lebih utama bagi dirinya. Ini di dasarkan pada Hadis Nabi saw.:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِى سَفَرٍ، فَرَأَى زِحَامًا، وَرَجُلا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: مَا هَذَا، فَقَالُوا: صَائ. فَقَالَ: لَيْسَ مِ ن الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ
Rasulullah saw. pernah berada dalam satu perjalanan. Lalu beliau melihat kerumunan dan seorang laki-laki yang diteduhi. Beliau bersabda, “Ada apa ini?” Mereka berkata, “Dia sedang berpuasa.” Lalu beliau bersabda, “Bukanlah termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan.” (HR al-Bukhari).
Dalam riwayat lainnya Rasulullah saw. bersabda:
لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَاقْبَلُوهَا
Bukan termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan. Kalian harus mengambil rukhshah yang diberikan Allah ‘Azza wa Jalla dan terimalah rukhshah itu (HR an-Nasa’i).
Dengan demikian, menerima rukhshah dalam konteks ini adalah lebih utama.18 Ini juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi’i dan Imam Malik. Menurut mereka, puasa lebih utama bagi yang kuat untuk berpuasa. Bagi yang tidak kuat, berbuka bagi dia lebih utamanya. Yang pertama dalilnya ayat ini. Yang kedua dalilnya ayat berikutnya:
اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian (QS al-Baqarah [2]: 185).19
Beberapa Ketentuan dalam Ayat ini
Pertama: kewajiban ibadah puasa. Dalam ayat sebelumnya telah disebutkan kata kutiba ‘alaykum al-shiyâm. Dijelaskan Atha’ Abu Rasytah, kalimat tersebut mengandung makna thalab (tuntutan). Adanya keharusan meng-qadha’ puasa ketika tidak berpuasa bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan merupakan qarinah (indikasi) yang jazm atau kepastian tuntutan tersebut. Seandainya bukan merupakan thalab jâzim (tuntutan yang pasti), niscayatidak akan ada keharusan meng-qadha’ puasa. Oleh karena itu, thalab (tuntutan) untuk melakukan puasa merupakan thalab jâzim(tuntutan yang pasti) sehingga berhukum wajib.20
Kedua: adanya rukhsah untuk tidak berpuasa. Dalam ayat ini diterangkan tentang dua jenisrukshah: (1) Orang yang tidak mampu melaksanakan puasa yang sifatnya hanya sementara. Ini adalah orang yang berada dalam perjalanan dan sakit yang masih diharapkan bisa sembuh. Mereka diberi rukhshah tidak berpuasa dengan kewajiban meng-qadha’-nya pada hari lain di bulan yang lain dengan jumlah yang sama dengan hari yang ditinggalkan. (2) Orang yang tidak mampu secara permanen. Mereka adalah orang-orang yang tua-renta dan menderita sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya. Mereka boleh berbuka dan tidak wajib meng-qadha’puasanya. Sebagai gantinya, mereka wajib membayar fidyah, berupa memberi makan satu orang miskin setiap hari.
Ketiga: jarak minimal perjalanan yang dibolehkan tidak berpuasa. Perjalanan yang dibolehkan berbuka adalah perjalanan jauh. Hanya saja, di antara ulama berbeda pendapat tentang jarak perjalanan minimalnya. Di antara pendapat yang dapat diikuti adalah perjalanan yang dibolehkan meng-qashar shalat. Pendapat ini didasarkan pada perkataan Ibnu Abbas saat ditanya tentang perjalanan yang dibolehkan shalat qashar. Beliau berkata, “Dari Asfan ke Thaif atau Jeddah ke Thaif.” Dalam nas lainnya dikatakan, “Tiga farsakh, sedangkan satu farsakh sama dengan empat barid.” Ukuran jarak sekarang adalah sekitar sembilan puluh kilometer.21
Keempat: ukuran fidyah yang dibayarkan oleh orang yang tidak mampu berpuasa secara permanen. Al-Malikiyah dan asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa fidyah yang dibayarkan sebesar satu mud setiap hari. Demikian pula pendapat Thawus, Said bin Jubair, ats-Tsauri, dan al-Auza’i. Al-Hanafiyah berpendapat satu sha’ dari kurma, atau satu sha’ gandum, atau setengah sha’ sya’îr(biji gandum). Itu diberikan kepada orang miskin setiap hari ketika dia tidak berpuasa. Adapun menurut al-Hanabilah adalah satu mud burr (gandum jenis lain), atau setengah sha’ kurma atausya’îr.22
Menurut Abdul Lathif Uwaidhah, semua itu adalah ijtihad dan bukan nas-nas syariah. Syariah tidak menetapkan ukuran makanan yang akan diberikan kepada orang miskin. Karena itu menurut beliau, kita tidak wajib menetapi ukuran-ukuran tersebut. Kita cukup berhenti pada firman Allah SWT: fidyah tha’âm miskîn (memberi makan orang miskin). Wewenang penentuan ukuran fidyahdiserahkan kepada manusia. Apalagi memberi 1 mud, 2 mud, atau 4 mud gandum atau kurma tidak lagi bermanfaat bagi orang miskin. Karena itu yang diterima dan diikuti pada masa kini adalah memberi satu kali makan makanan yang telah dimasak atau menyerahkan sejumlah harta yang bisa memenuhi kebutuhannya.23
Demikianlan beberapa ketentuan puasa yang didasarkan pada ayat ini.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Al-‘Akbari, At-Tibyân fî I’râb al-Qur`ân, vol. 1, 149.
2 Mahmud Shafi, Al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 2 (Damaskus: Dar al-Rasyid, 1998), 367.
3 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 1 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 19994), 207; al-Qinuji,Fat-h al-Bayân, vol. 1 (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 262.
4 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 454.
5 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl a-Qur‘ân, vol ; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 1 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 276; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 1 (Damaskus: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 207.
6 Ash-Shabuni, Rawâi’u al-Bayân fî Tafsîr آyât al-Ahkâm, vol. 1 (Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1980), 202.
7 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 1, 277.
8 Ash-Shabuni, Rawâi’u al-Bayân fî Tafsîr آyât al-Ahkâm, vol. 1, 189.
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 1, 281.
10 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 110; sl-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1, 121
11 Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr…
12 Ash-Shabuni, Rawâi’u al-Bayân fî Tafsîr آyât al-Ahkâm, vol. 1, 189.
13 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 1(Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2003), 160.
14 Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 252.
15 Ash-Shabuni, Rawâi’u al-Bayân fî Tafsîr آyât al-Ahkâm, vol. 1, 189.
16 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 1.
17 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 1, 454.
18 Atha’ Abu Rasytah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (Beirut: Dar al-Ummah, 2006), 217.
19 Ash-Shabuni, Rawâi’u al-Bayân fî Tafsîr آyât al-Ahkâm, vol. 1, 207.
20 Atha’ Abu Rasytah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr, 212.
21 Atha’ Abu Rasytah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr, 214.
22 Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaituyyah (Kuwait: Dar al-Salasil, 2006), 67.
23 Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jâmi’ li Ahkâm ash-Shiyâm (tt: Muassasah al-Risalah, tt), 237.