Televisi dan Naturalisasi Penyimpangan Seksual
Televisi dan Naturalisasi Penyimpangan Seksual
oleh: Muh. Nurhidayat
SELAMA Februari 2016, sudah 2 selebritis tersandung kasus dugaan kejahatan seksual. Pedangdut Saipul Jamil ditangkap polisi karena diduga mencabuli seorang remaja–yang juga berjenis kelamin laki-laki. Sebelumnya, presenter yang sering tampil ‘kemayu’ di layar kaca, Indra Bekti juga dilaporkan ke polisi atas tuduhan pelecehan seksual kepada beberapa lelaki.
Beberapa bulan sebelumnya, seorang pedangdut kawakan juga ditangkap polisi setelah diketahui mencabuli bocah balita di toilet sebuah mal Jakarta.
Kasus kejahatan seksual kepada sesama jenis ibarat gunung es. Sedikit yang terungkap namun yang tidak ketahuan jauh lebih banyak lagi jumlahnya. Apalagi sebagian besar korban–beserta keluarga mereka–enggan melapor ke polisi karena malu. Seperti serangkaian kasus sodomi terhadap beberapa bocah di Jakarta Internarional School (JIS), hanya ada 1 orangtua korban yang melapor ke polisi. Malah tidak sedikit korban dari kalangan bocah laki-laki yang tidak bisa melapor karena keduluan dibunuh pelaku, seperti para korban sodomi oleh Robot Gedek, Baikuni, Riyan, dan Emon.
Maraknya kejahatan seksual sejenis, secara langsung maupun tidak langsung turut dipicu oleh televisi. Selama beberapa tahun terakhir ini layar kaca telah menjadi agen naturalisasi penyimpangan seksual. Sejumlah sinetron dan komedi situsional banyak menampilkan dan seolah mendukung para banci. Beberapa talkshow dam kuis pun dipandu oleh laki-laki bergaya mirip perempuan. Yang paling memprihatinkan adalah sebuah kuis pendidikan–yang banyak diikuti anak sekolah dan mahasiswa–dipandu oleh lelaki ‘kenes’. Lebih menyedihkan lagi, beberapa tayangan ceramah pun diisi oleg komedian ‘kemayu’ yang dipanggil ‘ustadz’.
Naturalisasi penyimpangan seksual (terutama penyakit homoseks) oleh layar kaca terbukti telah mengorbitkan nama-nama selebritis bergaya ‘hombreng’ seperti Tessy, Dorce, Avi, Ivan Gunawan, Ruben Onsu, Indra Bekti, Aming, serta Orga Syahputra. Artis Irfan Hakim dan Sule pun–karena alasan tuntutan skenario–mau tampil ‘kemayu’ dalam berbagai program acara.
Berpenampilan ‘kemayu’, entah karena pelakunya sudah menderita penyakit transgender (banci), atau hanya sekedar memenuhi tuntutan skenario acara televisi, adalah suatu dosa besar. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Sesungguhnya Allah melaknat orang laki-laki yang menyerupai perempuan dan orang perempuan yang menyerupai laki-laki.”(HR.Bukhari)
Agenda Setting Neo-Sodomis
Dalam siaran berita dan talkshow, ada stasiun televisi yang secara terselubung mengkampanyekan naturalisasi penyimpangan seksual. Penyakit jiwa seperti lesbian, homoseks, biseks, serta transgender (LGBT) dipaksakan sebagai hal yang natural atau alamiah. Malah istilah LGBT dikampanyekan sebagai gaya hidup (life syile) orang modern, padahal aslinya adalah penyakit berbahaya yang harus dijauhi masyarakat.
Naturalisasi penyakit jiwa ini bukanlah terjadi begitu saja. Televisi sadar misi untuk mempopulerkan perilaku neo-sodomis. Pengelola layar kaca memanfaatkan agenda setting mereka dalam melaporkan berita. Realitas fakta bahwa disorientasi seksual sebagai penyakit, diubah menjadi realitas hasil konstruksi mereka yang melaporkan bahwa seks menyimpang sebagai gaya hidup.
Mc.Combs & Shaw, penggagas teori agenda setting media, mengemukakan bahwa di antara berbagai topik (isu) yang dimuat media massa, topik (isu) yang mendapat lebih banyak perhatian media (dengan seringnya diberitakan) akan menjadi lebih akrab dan dianggap penting di mata khalayak. (Senjaya dkk., 2007)
Dengan demikian, ekspose berita secara terus menerus bahwa penyimpangan seksual sebagai hsl natural diharapkan mereka dapat mempengaruhi opini khalayak bahwa lesbian, homoesksual, biseks, serta transgender adalah perilaku wajar.
Di era kemajuan internet ini, televisi pembela neo-sodomis memanfaatkan kerjasama dari situs berita internasional dan jaringan media sosial mainstream untuk semakin gencar ‘menghujani’ khalayak dengan isu-isu ‘kehalalan’ seks menyimpang. Maka tidak mengherankan jika beberapa jaringan medsos ‘mainstream’ seperti Facebook dan Line pun antusias mendukung keburukan neo-sodomis.
Padahal perilaku yang dipelopori kaum Sodom (musuh Nabi Luth as.) membuat Allah Subhanahu Wata’ala menurunkan adzab- Nya berupa gempa tekto-vulkanik dahsyat sehingga menimbulkan hujan batu. Malah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda,“Jika kalian (pemerintah muslim) melihat pelaku homoseks, maka bunuhlah (hukum matilah) dia dan bunuh (hukum mati) pila pasangan homoseksnya.” (HR.Muslim)
Sangat wajar sejumlah televisi ‘mainstream‘ du Indonesia ikut andil dalam naturalisasi penyimpangan seksual. Sebab jaringan layar kaca swasta kita tidak bebas dari pengaruh (modal) dari para Yahudi pemilik jaringan televisi dunia seperti Soros, Rotschild, dan Murdoch. Malah ada pula bos televisi komersial kita yang bersahabat erat dengan Donald Trumph, konglomerat penyokong zionisme yang terang-terangan berlaku sangat rasis, termasuk kepada warga muslim.
Yahudi memang punya kepentingan dalam penyebarluasan penyakit disorientasi seksual kepada masyarakat dunia. Sebab jika warga planet ini terjangkit penyakit berbahaya ini, maka Yahudi dapat dengan mudah menguasainya. Dan bisnis unggulan Yahudi berupa industri pornografi dan prostitusi akan laku keras.
Pasca Perang Dunia II, Yahudi berusaha mengkondisikan secara bertahap naturalisasi seks menyimpang di seluruh dunia. Sasaran pertama mereka adalah Eropa Barat dan sudah berhasil. Dengan naturalisasi ini, sudah menjadi ‘kenormalan’ jika banyak pemuda (laki-laki) di kawasan Eropa Utara bersaing ketat dengan adik perempuannya dan ibunya dalam berdandan ala penampilan kaum Hawa. Mereka banyak bermunculan karena dilegalisasi pemerintahnya. (Arrifa’i, 1995)
Pertengahan 2015 Yahudi berhasil menggolkan secara resmi pernikahan homoseks di AS, negara yang dianggap paling super power (meskipun realitasnya di ambang keruntuhan).
Kini Yahudi dengan berbagai jaringannya (terutama televisi) berusaha menaturalisasi penyimpangan warisan kaum sodom di Indonesia. Jika negara ini takluk oleh penyimpangan ini, maka Yahudi akan dengan ‘lenggang kangkung’ menaturalisasi seks menyimpang di dunia muslim lainnya.
Maka sudah semestinya bagi seluruh masyarakat yang masih berpegang teguh pada agama untuk melawan naturalisasi penyakit berbahaya tersebut. Media massa yang masih berpegang teguh pada etika dan hukum positif negara kita yang melarang kampanye homoseks dan seks menyimpang lainnya untuk tetap giat menyuarakan bahwa disorientasi seksual tetaplah penyakit.Pakar etika komunikasi Universitas Diponegoro, Turnomo Rahardjo (2014) menegaskan, ada prinsip etika the caterogical imperative yang perlu diikuti jurnalis, yaitu hendaknya bertindak sesuai aturan umum, sehingga benar adalah benar dan seharusnya dilakukan, tidak menjadi persoalan apapun resikonya.
Dalam aturan Islam, sangat jelas bahwa seks menyimpang (meskipun berusaha dinaturalisasi) tetaplah kemungkaran yang luar biasa. Sehingga penyeru kemungkaran haruslah dilawan dan ditampakkan bukti-bukti kemungkarannya agar mereka tidak mempengaruhi dan meracuni masyarakat.
Al Mawardi meriwayatkan sebuah hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, “Umumkanlah orang fasik (senang dengan kemunkaran) dengan (membuktikan) kondisi (kemungkaran) yang ada padanya, agar masyarakat mewaspadainya.” (Husaini, 2002).Wallahua’lam.*
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ichsan Gorontalo
sumber:
http://www.hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2016/02/23/89952/televisi-dan-naturalisasi-penyimpangan-seksual.html