MUSTANIR.net – Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, adalah salah satu ulama yang selalu konsisten menjelaskan Islam sebagai sistem. Misalnya bagaimana beliau menjelaskan bangunan Islam yang tersusun atas pandangan hidup rasional (al-aqidah al-aqliyah), serta aturan kehidupan integral yang dibangun di atasnya (an-nizham al-Islam). Semuanya selaras dalam tujuan menggapai ridha Allah.

Atau ketika beliau menjelaskan bangunan syariah Islam sebagai kesatuan komprehensif. Sebagai sebuah tatanan harmonis yang saling berkait kelindan satu dengan lainnya; antara aturan interaksi individu dengan Tuhannya (ibadah), aturan interaksi dengan dirinya (akhlaqiyah), dan aturan interaksi dengan sesamanya (muamalah).

Atau saat beliau mendefinisikan masyarakat. Bahwa masyarakat tidak hanya terdiri dari sekumpulan individu saja, sebagaimana yang jamak dipahami kebanyakan orang. Tapi terdapat interaksi (berdasarkan aturan tertentu) yang secara terus-menerus berlangsung antar individu-individu tadi. Sehingga ketika kita ingin mengubah masyarakat, tidak cukup mengubah individu-individunya saja, tanpa mengubah interaksi serta aturan yang berlangsung di dalamnya.

Pendapat an-Nabhani yang terakhir ini, acap kali dianggap sebagai pendapat yang tak acuh serta kurang peduli terhadap nasib negeri. Karena menolak terlibat dalam pemilihan umum yang sekadar mengubah orang saja, tanpa mengubah sistem serta interaksi yang berlaku. Tidak sedikit yang menuduh sikap seperti ini kurang jantan, pengecut serta lari dari gelanggang pertempuran politik.

Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah buku bestseller yang berjudul Thinking in Systems, yang ditulis oleh Donella Meadows. Dalam bukunya, Meadows menjelaskan banyak problem-problem kontemporer saat ini tidak terselesaikan karena kita tidak memiliki disiplin berpikir secara sistemik. Menurut Meadows, sebuah sistem haruslah terdiri dari elemen-elemen penyusunnya, interaksi-interaksi yang terjadi, serta tujuan berdirinya sistem itu sendiri.

Meadows memberikan sebuah analogi sederhana. Bermain basket adalah sebuah sistem. Ia memiliki elemen-elemen seperti pemain, lapangan, bola dan ring. Ia memiliki seperangkat aturan. Dan yang paling penting ia memiliki tujuan; tim yang paling banyak memasukkan bola ke ring lawan akan keluar menjadi pemenangnya.

Masih menurut Meadows, mengubah sebuah sistem hanya dengan mengubah elemen-elemennya saja, seperti mengganti pemain dalam permainan basket tadi, adalah cara mengubah sistem yang paling naif. Karena yang akan berlangsung tetaplah sebuah permainan bola basket. Tidak peduli seberapa sering Anda mengganti pemainnya.

Namun ketika Anda mengubah tujuan permainan, misalnya yang paling sedikit memasukkan bola ke ring lawan menjadi pemenangnya, maka permainan akan berubah total. Sekali pun para pemainnya tidak diganti. Atau ketika aturan permainannya diubah, misalnya alih-alih wajib memasukkan bola menggunakan tangan, diubah wajib menggunakan kaki, maka permainan akan berubah menjadi futsal. Adalah naif ketika Anda bosan dengan permainan basket, tapi Anda hanya mengganti para pemainnya saja, tanpa mengubah aturan dan tujuan permainannya.

Demikian pula ketika Anda merasa lelah dan bosan dengan “permainan politik” yang materialistik dan kompromistik saat ini, terlalu naif jika Anda menginginkan perubahan namun hanya mengubah para pemainnya saja, tanpa mengubah interaksi serta tujuan yang berlaku di dalamnya. Lebih-lebih kita sebagai seorang muslim, memiliki kewajiban untuk menjalankan aturan kehidupan ini berdasarkan syariah Islam.

Sumber: Yudha Pedyanto

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories