Tragedi Memilukan Pengungsi Wilayah Konflik, Salah Siapa ?
Tragedi Memilukan Pengungsi Wilayah Konflik, Salah Siapa ?
“Mereka memperlakukan kami seperti binatang. Mereka membawa kami dengan bus besar dan menempatkan kami di kamar kecil.”
Sebanyak 71 orang pengungsi Suriah ditemukan tewas di dalam truk di jalan bebas hambatan Austria. Para pengungsi yang diperkirakan dari Suriah tersebut terdiri atas 59 orang laki-laki, delapan wanita, dan termasuk empat orang anak. Mereka meninggal diduga karena sesak napas di dalam sebuah truk.
Yang menyedihkan, truk itu dibiarkan begitu saja di jalan tol. Para pengungsi ini meninggal di dalam kendaraan pendingin yang dirancang untuk membawa makanan beku. Mayat-mayat itu dikemas dengan begitu ketat dan membusuk sehingga polisi pada awalnya tidak dapat menghitungnya secara akurat. Truk itu ditemukan di dekat perbatasan timur Austria dengan Hungaria.
Hal ini menunjukkan bagaimana berbahayanya perjalanan para pengungsi lewat Eropa timur dan tenggara, setelah mereka berhasil menyeberangi Laut Tengah. Tahun ini saja, lebih dari 2.300 orang pria, wanita dan anak-anak telah tenggelam di Laut Tengah, setelah kapal bobrok yang disediakan penyelundup manusia karam.
Ratusan ribu pengungsi dari kawasan krisis seperti Suriah, Afghanistan, Pakistan atau Eritrea berbondong menuju Eropa untuk meminta perlindungan. Tidak semua berhasil mencapai tanah Eropa. Ribuan tewas tenggelam di laut tengah atau ketika berusaha mencapai perbatasan darat Eropa.
Seperti yang dilansir BBC, Jumat (28/8), ratusan orang dikhawatirkan meningal dunia setelah dua kapal yang membawa 500 pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika tenggelam di lepas pantai Libya. Perahu pertama terbalik pada Kamis lalu dengan mengangkut 50 orang dan perahu kedua mengangkut sekitar 400 penumpang.
Diperlakukan Buruk
Para pengungsi yang sebagian besar dari negeri Muslim ini, bukan hanya menempuh perjalanan yang berbahaya. Mereka juga kerap mendapatkan perlakuan yang buruk dari negara-negara yang mereka lewati, baik aparat maupun penduduknya.
Nawras, seorang pengungsi dari Suriah, menceritakan pengalamannya saat melintasi perbatasan di Makedonia, demikian dilansir CNN pada Sabtu (22/8/15). Ia menuturkan banyak pengungsi dipaksa untuk menunggu dalam cuaca dingin dan hujan deras. Petugas setempat juga menggunakan granat setrum dan gas air mata untuk mengawasi perempuan dan anak.
Kisah yang sedih juga terjadi pada Februari 2014, sekelompok orang berusaha mencapai Ceuta dan gagal. Sekitar 200 orang yang berasal dari kawasan Sub-Sahara menunggu di laut di daerah Al Tarajal yang masih masuk wilayah Maroko.
Mereka berharap bisa berenang mengelilingi pagar perbatasan yang dibangun sampai ke laut. Namun di balik pagar sudah menunggu penjaga keamanan Spanyol dengan perlengkapan anti kerusuhan, termasuk peluru karet dan gas air mata. Ketika berada di laut, pengungsi panik sehingga sedikitnya 15 orang tenggelam.
Pasha, seperti diberitakan CNN, Rabu (19/8), adalah satu dari ratusan ribu warga Suriah yang mengungsi akibat konflik Suriah. Yilmaz Pasha harus melalui perjalanan panjang dari Suriah menuju Eropa, menjadi pelarian perang yang mencari aman di negeri orang. Kelaparan, kedinginan dan kelelahan yang mewarnai perjalanan tersebut tidak serta merta memberikan kepastian akan nasib baik di akhir cerita.
Seperti pengungsi lainnya, perjalanan dimulai dengan mengarungi Laut Aegean menuju Yunani dari Turki. Ada 55 orang berdesakan di perahu sempit itu. Tidak ada rompi pelampung, padahal banyak yang tidak bisa berenang. Selama sejam perjalanan menuju Pulau Lesbos di Yunani, beberapa pengungsi tidak lepas memegang ban penyelamat di perahu.
Dari Lesbos mereka naik feri ke Athena, dilanjutkan dengan kereta menuju perbatasan dengan Makedonia. “Kami berlari sepanjang jalur rel kereta menuju hutan. Kami menunggu sampai terbentuk kelompok besar. Kami saat itu berjumlah 1.000 orang,” lanjut Pasha.
Di Makedonia, pengungsi dilarang menggunakan transportasi umum, akhirnya mereka beralih ke sepeda. Mereka tidur beratapkan langit atau menggunakan bangunan-bangunan kosong sepanjang perjalanan. Dari Makedonia, berbekal peta di layar ponsel pintar, mereka jalan kaki menuju Serbia.
Di Serbia mereka ditangkap polisi dan diperintahkan meninggalkan negara itu dalam waktu 72 tahun. Saat memohon untuk dilepaskan, Pasha ditampar. “Sangat memalukan. Saya ingat kelakuan mereka sama seperti tentara Suriah,” kenang Pasha.
Pemerintah Hungaria punya kebijakan, yang diadopsi oleh para warganya, bahwa pengungsi tidak diterima di negara ini. Ada papan iklan besar di negara itu, bertuliskan: “Jika kalian datang ke Hungaria, jangan mencuri pekerjaan warga.”
Kebijakan ini hanya mendorong warga Hungaria bertindak kasar terhadap pengungsi, mengusir mereka dan melempari mereka dengan batu. Pasha dan rombongannya sempat tersesat di hutan Hungaria selama dua hari tanpa air dan makanan. Tidur pun beralaskan tanah. Di tengah kegelapan malam hutan, tidak ada yang berani menyalakan api atau senter, khawatir tertangkap. Mereka berhasil keluar dari hutan tersebut, namun tertangkap polisi di kota Szeged.
“Mereka memperlakukan kami seperti binatang. Mereka membawa kami dengan bus besar dan menempatkan kami di kamar kecil, padahal ada 40 orang, saya kira, kami tidak bisa bernafas,” lanjut Pasha. Pasha melalui tujuh negara dalam 32 hari sebelum tiba di tempat tujuannya: Freyung, kota di selatan Jerman. Sekarang dia tinggal menunggu nasib apa yang menantinya.
Buah Konflik
Meledaknya jumlah pengungsi menuju Eropa sebagian besar akibat konflik yang terjadi di negeri mereka. Hingga Juni 2014, jumlah pengungsi paling banyak berasal dari Afghanistan, Suriah dan Somalia. Jika disatukan, jumlah pengungsi dari tiga negara itu lebih dari 50 persen jumlah pengungsi di seluruh dunia.
Terkait dengan konflik ini, negara-negara Barat turut bertanggung jawab. Berbagai konflik yang terjadi di negeri Islam tidak bisa dilepaskan dari kebijakan imperialisme negara-negara Barat. Penjajahan Barat di di Afghanistan, telah menyeret rakyat negara itu dalam penderitaan.
Hal ini diperparah dengan dukungan negara-negara Barat terhadap penguasa-penguasa bengis di negeri-negeri konflik, yang tidak segan-segan membantai rakyatnya sendiri. Seperti yang terjadi di Suriah. Tentu, faktor kesejahteraan yang buruk, akibat kegagalan sistem kapitalisme di beberapa negara Afrika seperti Somalia,Eriteria, menjadi faktor penyebab.
Tragedi yang menimpa pengungsi yang sebagian besar Muslim ini, semakin menunjukkan , begitu butuhnya umat Islam akan pelindung umat. Ketiadaan khilafah telah membuat umat kehilangan pemimpin dan pelindung mereka, akibatnya nasib umat Islam sungguh menyedihkan harus melarikan diri dari negerinya sendiri.