Tragedi Siyono dan Qidam al-Farizki
MUSTANIR.net – Tragedi dalam penegakan hukum sangat mungkin terjadi mana kala dalam menegakkan hukum aparat justru melakukan pelanggaran hukum dan apalagi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hukum sebagaimana karakternya mempunyai sifat mengatur sesuai dengan pakem yang ditentukan, biasanya dituangkan dalam kitab hukum acara sehingga due process of law menjadi sangat penting dalam upaya hukum untuk melindungi HAM serta menghadirkan keadilan di tengah masyarakatnya (bringing justice to the people).
Ada dua fakta hukum yang dijadikan sandaran analisis singkat artikel ini, yaitu terbunuhnya terduga teroris Siyono warga Klaten pada tahun 2016 dan Qidam al-Farizki warga Poso Sulawesi Tengah yang ditembak mati pada tanggal 9 April 2020 oleh aparat kepolisian RI. Dua fakta hukum tersebut memiliki kemiripan terkait dengan pemberantasan terorisme di tanah air Indonesia. Kemiripan itu terletak pada pelakunya, yakni sama-sama masih berstatus terduga teroris.
Kedua terduga teroris, yakni Siyono dan Qidam al-Farizki meregang nyawa sebelum ada vonis pengadilan untuk menentukan salah benar perbuatannya. Apakah hal tersebut dapat dibenarkan dari sisi hukum, moral dan HAM? Apakah kedua fakta hukum tersebut menunjukkan bahwa dalam proses penanganan dugaan terorisme telah terjadi pembunuhan di luar peradilan (extrajudicial killings)?
A. Beberapa Fakta Adanya Terduga Teroris yang Terbunuh Sebelum Proses Peradilan
1. Kasus Terbunuhnya Terduga Teroris Siyono (Klaten), 2016
Mungkin para netizen masih ingat terbunuhnya terduga teroris di Klaten Jawa Tengah. Tepat tanggal 11 maret 2020, sudah 4 tahun berlalu Siyono, warga Klaten terbunuh di tangan aparat Detasemen Khusus 88 (Densus 88) karena diduga menjadi anggota kelompok teroris. Terdapat dugaan kuat bahwa Siyono terbunuh sebelum proses pembuktian di pengadilan. Siyono terbunuh di tangan anggota Densus 88 dengan dalih melakukan perlawanan.
Siyono adalah warga Desa Brengkungan, Cawas, Klaten ditangkap Densus 88 dalam kondisi sehat atas dugaan terkait terorisme. Namun, tak lama kemudian dia dipulangkan dalam kondisi tak bernyawa. Hasil autopsi yang dilakukan tim independen Komnas HAM dan Muhammadiyah menyebutkan, Siyono meninggal karena sejumlah patah tulang di bagian dada yang menyebabkan pendarahan di jantung.
Ditengarai ada 2 anggota Densus 88 yang terlibat langsung dalam terbunuhnya Siyono. Kedua anggota Densus 88 tersebut adalah AKP H dan AKBP MT. Adapun sanksi yang dituntut kepada dua anggota Densus 88 tersebut adalah kewajiban untuk menyatakan permohonan maaf atas kekeliruan mereka kepada institusi Polri dan masyarakat. Sanksi lain yang juga diusulkan adalah pemberhentian dengan tidak hormat. Selain itu, ada pula opsi untuk memutasikan dua anggota tersebut ke satuan lain.
Pada akhirnya, kedua anggota Densus 88 yang terbukti bersalah akhirnya diberikan sanksi internal dari kepolisian berupa mutasi dan dibebastugaskan dari kesatuan Densus 88. Dalam hal ini, Komnas HAM menilai bahwa hukuman tersebut belum setimpal melihat dampaknya yang menghilangkan nyawa seorang warga negara Indonesia. “Jadi selama ini yang sudah dilakukan negara kan, baru melakukan sanksi dan pertanggungjawaban dari anggota Densus secara internal. Idealnya, pasca reformasi itu siapapun polisi yang melakukan kriminal juga dilakukan pengadilan pidana di pengadilan umum, seperti masyarakat lainnya,” ungkap Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution saat dihubungi Kiblat.net, Rabu (08/03/2017) di Depok.
Sebelumnya, Republika memberitakan bahwa cara-cara penindakan dan pencegahan terorisme yang dilakukan Densus 88 menjadi sorotan publik. Hal ini terjadi setelah terduga teroris dari Klaten, Jawa Tengah, Siyono (34 tahun) tewas di tangan pasukan antiteror itu pada waktu itu.
Pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya mengatakan, kasus yang menimpa Siyono bukanlah yang pertama kali terjadi. Menurutnya, penangkapan yang dilakukan aparat Densus 88 seringkali tidak sesuai dengan prosedur.
Dia pun tak heran kematian terduga teroris bisa sering terjadi karena personil pasukan khusus itu bertindak secara tidak profesional. “Setidaknya sudah 120 terduga teroris yang tewas dalam proses penangkapan. Padahal, ini jelas prosedur hukumnya penangkapan, berarti mereka tidak profesional” kata Harits kepada Republika.co.id, Rabu (16/3/2016).
2. Kasus Terbunuhnya Terduga Teroris Qidam al-Farizki (Poso), 2020
Terbunuhnya terduga teroris baru saja juga terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. Qidam al-Farizki Mowance, pada tanggal 9 April 2020 bertempat di Desa Tobe Kec. Poso Pesisir Utara Kab. Poso. Qidam ditembak mati oleh polisi dengan status terduga teroris.
Kabid Humas Polda Sulteng, Kombes Pol Didik Supranoto, yang dikonfirmasi salah satu media online di Palu, membenarkan adanya kejadian tersebut. Saat dilakukan pengejaran, dan terjadi kontak tembak dan akhirnya sasaran terkena tembak. Didik menegaskan, informasi Satgas Tinombala, warga yang tertembak itu sudah bergabung dengan kelompok sipil bersenjata, saat turun gunung dan mendatangi rumah warga.
Di sisi lain, Solidaritas Ummat Islam Kabupaten Poso, Sulteng mengeluarkan surat pernyataan sikap terkait tewasnya warga Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara yakni Qidam al-Farizki Mowance. Sementara melalui pernyataan sikap itu, bahwa melihat secara fisik korban almarhum Qidam al-Farizki Mowance meninggal dalam kondisi tidak wajar, di mana diduga terjadi penganiyaan ditandai dengan adanya luka jahitan dari paha kiri sampai melewati kemaluan, adanya dugaan luka tusuk pada leher, bahu dan sekitar rusuk kiri, adanya dugaan patah bagian paha kanan, adanya pembengkakan pada leher yang diduga patah serta adanya memar pada belakang leher.
Sebagaimana diberitakan oleh Kiblat.net, Senin 13 April 2020, Solidaritas Umat Islam Poso menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mengecam dengan keras tindakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian atas diri Qidam al-Farizki Mowance.
2. Bahwa kami yakinkan, bahwa Qidam al-Farizki Mowance bukan merupakan anggota kelompok manapun yang dihubungkan dengan teroris.
3. Bahwa tindakan kepolisian sangat bertolak belakang dengan prinsip praduga tak bersalah di mana korban diperlakukan tanpa melalui proses hukum yang jelas.
4. Meminta pihak kepolisian dalam hal ini Polda Sulawesi Tengah menarik pernyataan di media yang menyatakan almarhum Qidam al-Farizki Mowance adalah jaringan MIT Pimpinan Ali Kalora, karena korban sama sekali tidak terlibat dalam jaringan apapun.
5. Bahwa Qidam al-Farizki Mowance adalah masyarakat biasa yang tidak ada hubungannya dengan pergerakan terorisme dimanapun juga.
6. Meminta kepada pihak kepolisian untuk menjelaskan secara transparan persoalan ini kepada keluarga, karena kami yakin Qidam al-Farizki Mowance tidak bersalah.
7. Meminta agar ditegakkan hukum seadil-adilnya agar dikemudian hari anak bangsa tidak menjadi korban kebrutalan sepihak tanpa bukti awal yang jelas.
Mana yang benar, pernyataan dari instansi Polda Sulawesi Tengah ataukah keyakinan tim advokasi dan keluarga almarhum? Seluruh upaya pembuktian masih terus dilakukan untuk menentukan keterangan pihak mana yang benar, tetapi fakta hukum yang nyata adalah adanya seorang warga negara –Siyono maupun Qidam al-Farizki– yang terbunuh di luar proses peradilan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan keadilan.
B. Dugaan Telah Terjadi Extrajudicial Killings di Tengah Praktik Industri Hukum: Benarkah?
Pertanyaan besar yang perlu diajukan atas kedua fakta hukum terbunuhnya seseorang di luar peradilan yaitu: Dapatkah fakta hukum terbunuhnya Siyono dan Qidam al-Farizki itu dikategorikan sebagai tindakan extrajudicial killing?
Dalam khazanah hukum, pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) atau penghukuman mati di luar hukum (extrajudicial execution) dimaknai sebagai pembunuhan yang dilancarkan oleh pemerintah tanpa melalui proses hukum terlebih dahulu. Dalam versi bahasa Inggris diartikan:
“An extrajudicial killing (also known as extrajudicial execution) is the killing of a person by governmental authorities or individuals without the sanction of any judicial proceeding or legal process. Extrajudicial killings (EJKs) is also synonymous with the term ‘extralegal killings’ (ELKs). Extrajudicial killings often target leading political, trade union, dissident, religious, and social figures.”
Extrajudicial killings dianggap sebagai tindakan yang melanggar HAM karena telah mengabaikan hak seseorang untuk memperoleh proses hukum secara adil. Hak korban untuk hidup juga dilanggar, terutama di negara-negara yang sudah menghapuskan hukuman mati. Untuk negara yang belum menghapuskan jenis hukuman mati, penghukuman mati hanya boleh dilakukan setelah melalui proses hukum yang adil dan hanya untuk kejahatan-kejahatan yang paling serius (seperti yang diatur oleh Pasal 6 ICCPR), sehingga pembunuhan di luar hukum sama sekali tidak diperbolehkan.
Pembunuhan di luar hukum seringkali menimpa tokoh-tokoh politik, serikat buruh, keagamaan, atau sosial yang dianggap sebagai musuh negara, juga termasuk terduga teroris. Pemerintah dianggap telah melakukan pembunuhan di luar hukum apabila tindakan tersebut dilancarkan oleh aparatus negara, seperti tentara atau polisi tanpa proses peradilan yang didasarkan pada nilai kebenaran dan keadilan.
Kemudian, pertanyaan yang perlu diajukan adalah, apakah ada hubungan antara extrajudicial killings dengan proyek penegakan hukum di suatu negara yang tidak mengutamakan dasar keadilan dan kebenaran tetapi lebih didasarkan pada kepentingan tertentu yang lebih menguntungkan dari sisi ekonomi maupun politik. Penegakan hukum macam itu dapat disebut sebagai industri hukum.
Menyimak praktik hukum yang tengah terjadi, mungkin ada benarnya tentang industri hukum yang sempat viral seperti yang kalau tidak salah disebutkan oleh Menko Polhukam belum lama ini. Saya kemudian berkhayal, mungkinkah dalam industri hukum ini kita peroleh justice dalam proses trial-nya atau justru yang akan muncul adalah trial without justice?
Sebagai seorang guru besar di bidang hukum, saya juga prihatin melihat buruknya penegakan hukum di negara hukum ini. Trial by the press dan informasi sepihak terkesan lebih dipercaya dibandingkan dengan trial by the rule of law, sehingga yang muncul adalah trial without truth, sebagaimana dikatakan oleh William T Pizzi. Keadaan ini akhirnya akan berakhir dengan trial without justice.
Dalam dunia hukum itu dipercayai dalil: berani menuduh harus berani membuktikan. Jangan menuduh tanpa bukti yang bisa dipertanggungjawabkan dan belum diuji kebenaran tuduhan itu. Di mana tempat menguji dan mempertanggungjawabkan tuduhan? Tidak lain di pengadilan melalui due process of law, yang dimulai dari penyelidikan oleh polisi.
Di negara hukum itu pemali menggunakan sarana vandalisme: hantam dulu, urusan belakangan. Tindak tegas dulu dan berikan sanksi dulu, urusan belakangan. Itu namanya eigenrichting. Hal itu akan menjadikan pemerintah sebagai extractive institution sebagai lambang negara kekuasaan, bukan negara hukum. Dan hal itu sekaligus menunjukkan bahwa cara berhukum kita (rule of law) masih berada di tahap paling tipis (the thinnest rule of law) di mana rezim penguasa hanya menggunakan perangkat hukumnya sebagai sarana untuk legitimasi kekuasaan sehingga kekuasaannya cenderung bersifat represif.
Sebenarnya keadaan penegakan hukum yang ‘bopeng’ itu dapat terjadi dimulai dari cara menjalankan pekerjaan polisi yang memiliki berbagai karakteristik, misalnya:
1. Polisi berada di garda terdepan dalam penegakan hukum. In optima forma.
2. Polisi sebagai hukum yang hidup, di tangannya suatu peraturan hukum mengalami perwujudannya.
3. Polisi bekerja di antara law and order sehingga ia memiliki diskresi yang sangat luas.
4. Polisi bekerja disertai dengan dibolehkannya penggunaan kekerasan yang terukur, bukan abuse of power.
5. Pekerjaan polisi itu berpotensi menjadi pekerjaan yang bersifat tainted occupation (pekerjaan yang berlumuran noda).
Karakteristik pekerjaan polisi tersebut bila tidak dijalankan dengan benar dan menjadikan ‘good behavior‘ menjadi ukuran utama, maka langkah menyingkirkan kebenaran dan keadilan dalam due process of law tahap awal sudah dimulai. Dan hal itu disinyalir akan merembet ke jenjang peradilan selanjutnya. Bahkan, sekalipun advokat itu seharusnya memperjuangkan pula keadilan klien, mereka bisa terjebak dalam perangkap pragmatis dunia kepengacaraan yakni: maju tak gentar membela yang bayar, bukan maju tak gentar membela yang benar untuk access to justice.
Akhirnya sesuai kata Marc Galanter bahwa “a good advocate is like a good prostitution, if the price is right, he will warm client completely.” Apa yang dikhawatirkan oleh Menko Polhukam tentang tercerabutnya nilai keadilan dalam penegakan hukum di negeri ini sangat mungkin telah dan menjadi kenyataan. Industri kejam di dunia penegakan hukum telah berdiri sekalipun itu di bagian tubuh pemerintah negara sendiri.
Berdasar pemberitaan yang dimuat oleh Kompas.com tanggal 9 Desember 2019 diperoleh data bahwa Menko Polhukam Mahfud MD pernah menyebutkan bahwa industri hukum sebagimana diuraikan di muka masih terjadi dalam praktik penegakan hukum. Mahfud MD menyebut masih ada praktik di mana orang yang benar dibuat bersalah, begitu juga sebaliknya.
Industri hukum yang dimaksud Mahfud yaitu penegakan hukum yang tidak berdasarkan asas keadilan, equality before the law dan presumption of innocence. Sindiran ini dilontarkan Mahfud kepada penegak hukum yakni kepolisian, kejaksaan, dan hakim.
Kalau ada industri hukum, maka berarti ada:
1. Police corporation.
2. Prosecutor corporation.
3. Court corporation.
4. Prison corporation.
5. Advocate corporation.
Yang terakhir akan terjadi: Indonesia corporation. Bila demikian, maka sesungguhnya negara ini telah menjelma menjadi perusahaan raksasa yang berwajah dingin tetapi bengis terhadap rakyatnya sendiri. Hilang karakter diri sebagai negara benevolent. Yang tersisa boleh jadi tinggal hubungan bisnis antara produsen dan konsumen. Produsennya negara dan swasta, sedang konsumennya adalah rakyatnya sendiri. Akhirnya kepengurusan negara ini hanya sebatas profit, bukan benefit. Itukah maunya negara hukum kesejahteraan sosial kita akan bermetamorfosis menjadi negara industri hukum?
Terakhir, saya berharap kasus Qidam al-Farizki dapat diusut tuntas dan berjalan secara transparan, dan proses penembakan terduga teroris bukan atas pesanan ‘jahat’ pihak atau oknum tertentu sehingga tidak terkesan bahwa kasus ini seolah telah dipaksakan menjadi kasus terorisme. Mestinya sejak awal harus ada keyakinan polisi bahwa proses hukum bisa dilakukan bila terdapat bukti yang kuat dengan prinsip praduga tak bersalah, prinsip due process of law serta equality before the law. Kita tidak ingin extrajudicial killings yang diduga terjadi pada kasus Siyono dan Qidam al-Farizki ini justru memicu keresahan di tengah masyarakat.
Polisi sebagai garda terdepan penegakan hukum pun tidak boleh menjadi agen industri hukum ini karena ketika polisi telah menjadi agen industri penegakan hukum maka sejak di garda ini pun penegakan hukum sudah dipenuhi pertimbangan profit oriented (untung rugi) atau lebih berorientasi pada industri hukum, bukan pertimbangan kebenaran dan keadilan. Jika bukan lagi dua hal itu yang menjadi pertimbangan polisi dalam melaksanakan pekerjaannya, bahkan jika polisi sudah mau menjadi alat pemerintahan negara untuk mewujudkan ‘kejahatan-kejahatan politiknya’, maka di saat itulah negara ini telah menjadi police state. Kita tentu tidak menghendaki keadaan ini terjadi, bukan?
Penutup
Kita tidak menyangkal bahwa hingga hari ini kita tetap menyatakan menolak tindakan terorisme.
Kita tetap menentang bahkan berperang melawan terorisme (war on terorism) tetapi memberantas terorisme dengan eigenrichting, misalnya melalui pembunuhan di luar pengadilan (extrajudicial killings), adalah cara vandalisme negara yang seharusnya dijauhkan dari praktik penyelenggaraan prinsip Indonesia sebagai negara, bukan sebagai negara kekuasaan.
Jika terbukti ada oknum polisi yang patut diduga apalagi yang terbukti telah melakukan pembunuhan di luar proses peradilan (extrajudicial killings), maka oknum polisi tersebut harus diproses hukum dan diberikan sanksi berat karena telah melakukan pelanggaran HAM dan juga pembunuhan. Berharap ke depan, penegakan hukum kita semakin menjauhkan diri dari konsep industri hukum yang cenderung menindas rakyat secara bengis. Kita mengarahkan peran negara semakin baik yaitu negara menjadi ‘bapak’ dari warga negara yang berwatak welas asih (pemurah) terhadap warganya (negara benevolent). []
Sumber: Prof. Suteki, Pakar Hukum dan Masyarakat