Tragedi Tolikara, Antara Intoleransi Dan Permainan Asing Untuk Disintegrasi
Tragedi Tolikara, Antara Intoleransi Dan Permainan Asing Untuk Disintegrasi
Mustanir.com – Pengamat kontra terorisme Harits Abu Ulya menilai aksi terror yang dilakukan umat Kristen pengikut Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) di Tolikara tidak sekedar intoleransi dan kebencian kafir terhadap Islam saja.
Menurutnya ini muara dari kepentingan-kepentingan politis yang dibungkus dengan sentimen agama dan ekonomi sebagai pemicunya.
“Tragedi biadab ini produk simbiosis dari jejaring OPM yang berkolaborasi dengan anasir Asing melalui gereja dan misionarisnya di tambah bobroknya Pemda setempat yg terindikasi banyak kasus korupsi, serta tidak sigap dan seriusnya aparat keamanan plus intelijen untuk mengambil tindakan preventif berdasarkan data awal yang cukup akurat tentang potensi gangguan keamanan tersebut,” terang Harits Selasa (21/7/2015).
Pemerintah dinilainya tampak gagap untuk bertindak tegas menghadapi realita. Ini, kata Haris, mengindikasikan kompleksitas kepentingan politik berbagai pihak terhadap Papua. Justru sikap pemerintah melalui instansi terkait mencoba membela unsur-unsur Kristen yang secara faktual melakukan tindak kriminal yang biadab.
“Sangat aneh dan blunder jika pemerintah tidak cekatan dan tegas, padahal masyarakat muslim saat ini mayoritas melihat fakta permukaan bahwa telah terjadi intoleransi sangat biadab, perlu tindakan tegas,” kata Direktur CIIA ini.
Jika tidak tegas, imbuh Haris, justru menyisakan tanda tanya besar; apakah sekedar ingin membela tirani minoritas di Indonesia atau karena tidak ingin ada tekanan asing kepada pemerintah saat ini.
“Umat Islam menunggu solusi kongkritnya!” pungkasnya. (arrahmah/adj)
Tokoh Intelijen Otaknya Berada di Jakarta
Mustanir.com – Direktur Eksekutif Pusaka Trisakti, Fahmi Habsyi menilai ada operasi intelijen tingkat tinggi yang sedang dilakukan dalam peristiwa kerusuhan di Kabupaten Tolikara, Papua, hingga berdampak pada terbakarnya sebuah mushala.
Politikus PDIP tersebut mengingatkan, bahwa situasi di Papua tidak bisa dilihat berdiri sendiri dari satu insiden satu dengan apa yang digerakkan di Jakarta. “Kita harus gunakan pendekatan ‘helicopter view’, jangan simptomian per kejadian. Nanti terlihat otaknya siapa yang mendanai memprovokasi dan menggerakkan. Operasi intelijen ini, seperti tukang bakarnya tidak terlihat, tapi asap dan bau nya terasa, ” katanya di Jakarta, Ahad (20/7).
Namun, Fahmi menyayangkan, sikap aparat keamanan dan intelijen yang seharusnya memantau gerak pihak-pihak tersebut, bukan sibuk mengawasi masyarakat Papua. Jika sudah seperti ini masyarakat Papua yang Muslim dan non-Muslim yang jadi korban.
“Ini melibatkan intelijen asing dan seorang tokoh intelijen pada masa lalu. Otaknya di Jakarta. Tapi apakah ada buktinya? Yach susah untuk ditunjuk aktor intelektualnya. Cukup Jokowi kasih ‘pesan politik’ yang jelas dan tegas kepada yang coba bermain di Papua bahwa Presiden mengetahui dan akan gebuk balik.”
Fahmi menyarankan aparat keamanan perlakukan rakyat Papua dengan lembut dan persuasif dalam merespon baik pelaku maupun korban insiden. “Pendapat saya tidak usah dibentuk Tim Mediasi atau Tim Dialog macam-macam seperti disampaikan Yenis Lagoya itu, karena masalahnya bukan masyarakat Papua, tapi kekuatan lain lebih dari itu yang bermain. Lingkaran Istana Presiden nampaknya tidak memberikan informasi utuh pada pak Jokowi,” tegas Fahmi.
Dikatakannya ada pihak yang mencoba buat ‘penyakit’ dan sekaligus menawarkan ‘obatnya’ dengan kepentingan yang lain untuk dikompromikan. “Ini gaya lama. Mudah-mudahan saja Pak Jokowi sudah tahu siapa otaknya? Atau memang tidak ada yang mengingatkan dan menginfokan ke Pak Jokowi untuk waspada situasi Papua setelah aksi minta referendum,” ujarnya.
“Jangan dianggap remeh, ingat kasus kerusuhan Ambon 1999 hanya perkelahian pemuda di terminal, yang di Papua lebih serius dari itu,” katanya. (rol/adj)