Wali Allah SWT vs Wali Setan
Alquran membagi manusia menjadi dua golongan: mereka yang termasuk para wali Allah SWT (awliya’ulLah) dan mereka yang tergolong para wali setan (awliya’usy-syayathin). Dua golongan ini tentu berbeda dan saling bertentangan satu sama lain. Terkait dua golongan ini Allah SWT berfirman (yang artinya): Sebagian manusia ada yang mendapat hidayah, sementara sebagian yang lainnya disesatkan karena mereka sesungguhnya telah menjadikan setan-setan sebagai wali selain Allah, sementara mereka mengira bahwa mereka mendapatkan hidayah (TQS al-A’raf [7]: 30).
Allah SWT juga berfirman (yang artinya): Orang-orang beriman itu berperang di jalan Allah, sementara orang-orang kafir berperang di jalan thaghut. Maka dari itu, perangilah para wali setan karena sesungguhnya tipudaya setan itu benar-benar lemah (TQS an-Nahl [16: 98).
Tentang wali Allah SWT, Allah SWT berfirman (yang artinya): Ingatlah sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada ketakutan dalam diri mereka dan mereka tidak merasa khawatir. Mereka beriman dan bertakwa (kepada Allah) (TQS Yunus [10]: 62).
Dalam ayat di atas tegas, Allah SWT menyatakan bahwa para wali-Nya adalah siapa saja yang beriman dan bertakwa. Sebaliknya, para wali setan, menurut Ibn Taimiyah, adalah siapa saja yang kafir kepada Allah, para malaikat-Nya kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan Hari Akhir. Demikian pula orang yang mengimani sebagian ayat-ayat Allah tetapi mengingkari sebagian ayat-ayat lainnya. Mereka adalah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya. Dengan demikian menurut Ibn Taimiyah, keimanan dan ketakwaan termasuk dalam makna kewalian. Karena itu, orang-orang kafir, munafik atau fasik bukanlah wali Allah SWT (Ibn Taimiyah, t.t.: 20).
Tentang betapa mulianya kedudukan para wali Allah SWT, ada sebuah hadits qudsi yang terkenal. Disebutkan bahwa Baginda Rasulullah SAW pernah bersabda: Allah SWT telah berfirman, “Siapa saja yang memusuhi wali-Ku, dia berarti telah memaklumkan agar Aku memerangi dirinya. Tidaklah seseorang bertaqarrub kepada Diri-Ku yang lebih Aku sukai seperti saat dia menunaikan apa saja yang telah Aku wajibkan kepada dirinya. Seorang hamba senantiasa bertaqarrub kepada Diri-Ku dengan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintai dirinya. Jika Aku telah mencintai dirinya, Aku menjadi pendengarannya yang dengan itu dia mendengar; menjadi penglihatannya yang dengan itu dia melihat; menjadi tangannya yang dengan itu dia menyerang; menjadi kakinya yang dengan itu dia melangkah. Jika dia memohon kepada Diri-Ku, niscaya Aku mengabulkan doanya. Jika dia memohon perlindungan kepada Diri-Ku, pasti Aku akan melindungi dirinya.” (HR al-Bukhari).
Menurut Ibn Taimiyah, hadits di atas adalah hadits paling shahih yang menjelaskan ihwal wali Allah SWT.
Lalu apa yang dimaksud dengan perwalian (wilayah)? Perwalian (wilayah) adalah lawan dari permusuhan (‘adawah). Asal wilayah adalah cinta dan kedekatan. Asal permusuhan (‘adawah) adalah kebencian dan kerenggangan. Sering dikatakan, “Sesungguhnya seorang wali disebut wali karena dia berwali kepada Alah di dalam ketaatan atau mengikuti seluruh aturan-Nya.” (Ibn Taimiyah, t.t.: 44). Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya para waliku adalah orang-orang yang bartakwa, siapapun mereka dan di mana pun mereka berada.” (HR Ahmad).
Ada sebagian orang yang menyangka, bahwa wali Allah itu adalah orang yang memiliki keistimewaan di luar kebiasaan (khawariq al-‘adah). Memang, tidak dipungkiri di tengah-tengah kaum Muslim ada orang-orang yang bersungguh-sungguh di dalam ilmu, kezuhudan dan ibadah. Pada saat yang sama mereka memiliki kemampuan di luar kebiasaan seperti kemampuan mukasyafah (menyingkap perkara-perkara gaib). Tentu, keistimewaan di luar kebiasaan atau kemampuan mukasyafah bukanlah ukuran kewalian seseorang. Sebab, sebagian orang kafir atau munafik pun kadang memiliki kemampuan yang sama seperti halnya dukun, tukang sihir dll. Kemampuan ini datang dari setan.
Yang jadi ukuran kewalian seseorang adalah sejauh mana mereka menempuh manhaj Rasulullah SAW. Karena itu, tidak boleh terlintas dalam benak siapapun bahwa para wali itu, misalnya memiliki thariqah sendiri menuju Allah SWT yang berbeda dengan para nabi; atau bahwa para nabi hanya teladan bagi orang-orang kebanyakan, bukan untuk orang-orang khusus. Tidak boleh juga terlintas dalam benak seorang Muslim bahwa seseorang yang telah mencapai derajat wali Allah atau makrifat kepada Allah boleh meninggalkan syariah-Nya. Bahkan seandainya ia memiliki sejumlah keistimewaan seperti bisa terbang di udara atau shalat di atas air, tetapi meninggalkan syariah-Nya, maka ketahuilah, sebagaimana kata Ibn Taimiyah pula, ia bukan wali Allah, tetapi wali setan (Ibn Taimiyah, t.t.: 62). WalLahu a’lam