Sukarno Ingin Jadi Waliyyul Amri dan Menangkap Kartosuwiryo

MUSTANIR.net – Kartosuwiryo, nama yang sering disematkan setiap ada peristiwa yang dinilai radikal, intoleran, dan ekstremis oleh pemerintah. Sidney Jones, seorang Yahudi Amerika dan pengamat politik yang getol mengampanyekan Islamophobia ini mengutarakan bahayanya Islam syari’at atau Darul Islam terhadap aksi terorisme. Di mana pembahasan terorisme pasti bermuara pada tokoh Kartosuwiryo yang merupakan pemimpin Darul Islam.

Kartosuwiryo dikenal dengan kiprahnya membuat Negara Islam Indonesia (Darul Islam) dan membentuk pasukan Tentara Islam Indonesia (TII). Setelah dieksekusi, lajur politik NII terdapat penyelewengan. Upaya jahat atas penyelewengan ini dilakukan oleh Totok Abdussalam alias Abu Totok alias Panji Gumilang pemimpin Ma’had al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat dengan payung doktrinnya NII KW 9 (Komandemen Wilayah 9).

Irfan S Awwas merinci kesesatan NII KW 9 yang tidak bisa ditoleransi karena sangat ushul. Di antaranya; mengingkari sunnah/hadits dalam metodologi tafsir al-Quran, menafsirkan al-Quran sesuai kehendak sendiri, menghalalkan harta kaum muslimin (menganggap fa’i), dan mengafirkan di luar golongan NII KW 9.

Kita kesampingkan dulu pembahasan NII KW 9 karena ada hal yang lebih menggelitik, yaitu politiknya Sukarno yang ingin menumpas DI/TII dengan melegitimasi bahwa dirinya adalah waliyyul amri. Menariknya, langkah ini diprakarsai NU. Sukarno yang sudah berambisi ingin merancang Nasakom, mendekat pada NU yang dianggap sebagai perwakilan Islam.

Sukarno melihat gerakan DI/TII amat merugikan strategi Sukarno yang ingin paham Nasakom di kemudian hari dan membubarkan sistem parlementer. Pasalnya, orang-orang pedesaan yang sulit menerima paham sinkretisme Sukarno dan lebih memilih DI/TII sebagai pijakan ideologi yang jelas membuat Sukarno mesti bergerak cepat meruntuhkan politik DI/TII.

Pada 2-7 Maret 1954, Sukarno mengumpulkan sejumlah ulama NU dalam suatu konferensi di Cipanas, Jawa Barat. Maksud pertemuan tersebut terabadikan dalam sebuah wawancara KH Masykur dengan majalah Amanah, berikut liputannya;

Kita memang ekstra hati-hati, karena masalah ini menyangkut fanatisme agama, dari sudut ini saja Kartosuwiryo dapat dukungan atau simpati masyarakat awam yang tahunya hanya negara Islam. Bahkan negara-negara Arab, ketika itu secara tak langsung memberikan simpatinya dan mempersoalkannya pada pemerintah Indonesia.

Karena itu dalam upaya menghadapinya harus digunakan tata cara keislaman. Dalam prinsip keislaman, negara dapat dianggap sah dan dituruti bila pemimpinnya memenuhi syarat waliyyul amri. Yaitu, ia seorang yang jujur mempunyai kekuatan dan kewibawaan. Dan dia muslim yang ta’at. Apabila negara dipimpin oleh seorang waliyyul amri, ada pihak lain yang menentang dan memberontak, maka hukumnya bughat, wajib dibasmi.

Persoalannya, apakah Sukarno memenuhi syarat sebagai waliyyul amri? Ketika hal ini saya kemukakan pada Bung Karno dan apakah ia sanggup diuji? Bung Karno menjawab sanggup. Maka selama tiga hari, para ulama (NU) seluruh Indonesia berkumpul di Cipanas membawa kitab-kitab kuning membicarakan soal ini. Dari pertemuan ulama itu dan dialog dengan Bung Karno, akhirnya disimpulkan bahwa Bung Karno memang seorang yang jujur, berwibawa dan seorang muslim.

Tapi Bung Karno shalat Jum’at di mana? Mendapat pernyataan demikian, Bung Karno lalu mendirikan masjid di istana negara. Sebelumnya memang masjid tersebut belum ada. Dari penilaian tersebut, Bung Karno dianggap memenuhi syarat sebagai ‘waliyyul amri ad-dharuri bisy syaukah’. Dengan demikian, usaha Kartosuwiryo dengan DI-nya dan pemberontakan lainnya dianggap sebagai bughat, harus diperangi dan dibunuh.

Efek dari justifikasi bahwa Sukarno adalah waliyyul amri, Persatuan Islam (Persis) mempertanyakan status waliyyul amri karena istilah ini hanya dapat dipakai pada negara berdasarkan Islam. Oleh karena itu, pernyataan tadi menyebut para ulama yang berkonferensi di Cipanas itu sebagai orang-orang yang tidak mampu mengambil hukum dari hukum ajaran Islam, Qur’an dan hadits. Apalagi pernyataan itu melanjutkan, keputusan tersebut dapat disalahgunakan secara politis.

Aruji Kartawinata dari PSII juga menanggapi keputusan ulama itu secara negatif. Ia bukan mengatakan bahwa keputusan ulama itu melanggar UUD. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap kepala negara dalam Islam, termasuk waliyyul amri, harus bertanggung jawab kepada rakyat atau lembaga perwakilan rakyat. Islam, katanya, tidak mengenal kepala negara konstitusional yang dianut oleh UUD —sementara— 1950.

Oleh sebab itu presiden Indonesia tidak bisa menjadi waliyyul amri ad-dharuri. Juga kabinet tidak dapat dianggap demikian, katanya tidak berdasar Islam. Tambahan lagi, presiden mengangkat sumpah untuk setia kepada Pancasila dan bukan pada Islam. Ia (presiden) juga tunduk kepada hukum yang tidak tunduk kepada hukum Islam.

Kartosuwiryo akhirnya tertangkap dan pasukan DI/TII kalah setelah Jendral AH Nasution mengambil alih dan melakukan strategi Pagar Betis (Pasukan Gabungan Rakyat Berantas Tentara Islam). Pada 14 Juni 1962, Kartosuwiryo tertangkap di gunung Geber dan pada 14-16 Agustus tahun yang sama diadakan sidang tertutup yang berujung pada keputusan eksekusi mati pada Kartosuwiryo. []

Sumber: Rulian Haryadi

Referensi:
• Delia Noer – Partai Islam di Pentas Nasional
• Irfan S Awwas – Jejak Jihad SM Kartosuwiryo: Mengungkap Fakta yang Disudutkan
• Majalah Amanah – Februari 1989

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories