Wow, BPK Sebut Beras Indonesia Termahal Ketiga di Asia
Ilustrasi. foto: Kumparan
MUSTANIR.COM, Jakarta – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut harga beras di Indonesia merupakan yang termahal ketiga di Asia. Dengan rata-rata harga sebesar US$0,79 per kilogram (kg), harga beras di Indonesia hanya lebih murah dari China dan Filipina dengan angka masing-masing US$0,96 per kg dan US$0,87 per kg.
Anggota IV BPK Rizal Djalil mengatakan data itu dihimpun dari Food and Agricultural Organization (FAO), yang merupakan badan pangan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di tahun 2017. Ia menyayangkan kondisi ini, mengingat beras adalah salah satu kebutuhan pangan utama masyarakat sehingga harganya seharusnya terjangkau.
Saat ini, harga beras di Indonesia terus merangkak naik. Data Pusat Informasi Harga Pangan Nasional (PIHPS) mencatat harga beras medium per 21 Mei 2018 sebesar Rp11.700 per kg. Padahal, di periode yang sama tahun lalu, harga beras dengan kualitas yang sama dibanderol sebesar Rp11.250 per kg.
“Saat ini memang harga beras Indonesia adalah yang termahal di Asia. Selain itu, juga ada disparitas harga antara pedagang eceran kecil dan besar karena sirkulasi pedagang besar tentu lebih cepat adaptasi terhadap perubahan harga,” ujar Rizal, Senin (21/5).
Ia mengatakan sejauh ini harga beras yang ideal memang sulit diketahui karena banyak kealpaan meyangkut administrasi beras. Pertama, menyangkut data konsumsi beras. Menurutnya, selalu terdapat perbedaan data antara yang dikeluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) dan Badan Pusat Statistik (BPS), di mana hal ini sudah diaudit oleh BPK di tahun 2015 silam.
Rizal melanjutkan, BPS melakukan pendataan berdasar survei, sementara BKP masih melakukan pendataan dengan metode 2.100 kalori dikali jumlah penduduk. Karena banyak data yang berserakan, maka pemerintah juga kelimpungan dalam menghitung kebutuhan beras seharusnya.
“Data konsumsi beras ini selalu tidak akurat. BPS yang seharusnya memang jadi satu-satunya sumber data, makanya tidak heran anggarannya ditambah, regulasi diperbaiki, dan kami pun sudah bicara bagaimana pentingnya data ini. Tapi speed-nya pun juga harus dipercepat,” jelas dia.
Tak hanya konsumsi, data produksi pun disebutnya masih tak beres. Di dalam audit yang sama, BPK menemukan bahwa jumlah luas lahan tidak diganti meski terdapat alih fungsi lahan, seperti di Indramayu dan Maros.
Karena datanya tidak akurat, maka kadang kebijakan pemerintah juga tidak tepat. Salah satunya adalah kebijakan impor beras.
Menurut audit BPK di semester I 2017, BPK menemukan bahwa kebutuhan dan produksi nasional di tahun 2016 memiliki selisih 46 ribu ton. Hanya saja, saat itu rekomendasi impor beras yang dilakukan sebesar 1 juta ton. Perbedaan angka impor dan kebutuhan riil itu sampai sekarang masih bikin BPK bertanya-tanya.
“Banyak alokasi impor ini tidak memperhatikan data. Penetapan angka impor ini kami anggap tidak prudent dan akuntabel karena tidak dipertimbangkan sepenuhnya. Kalau pemerintah memutuskan impor silahkan saja karena itu domain pemerintah. Tapi apakah itu efektif dalam menurunkan harga?” pungkas dia.
Pengumuman Harga Beras di Radio
Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo mengatakan pemerintah harus kembali lagi mengumumkan harga pangan di radio demi mencegah spekulasi harga pangan. Ia mencontohkan Menteri Penerangan zaman orde baru Harmoko yang disebutnya selalu rajin mengumumkan harga pangan di media massa setiap pagi.
“Saya kadang linglung dengan pengumuman pemerintah yang bjasanya dianggap sepele tapi bisa memgendalikan harga. Padahal, dulu Harmoko sampai mengumumkan harga hingga cabai sekali pun demi menutup peluang spekulasi di pasar,” imbuh dia.
(cnnindonesia.com/21/5/18)