Adilkah Hukum Kita?
Adilkah Hukum Kita?
Sopir Taksi Di Hukum 102 Juta Karena Keluar Rute
Seorang sopir taksi di Jakarta berinisial DS dihukum Rp 102 juta karena keluar rute sesuai kesepakatan dengan penumpang. Denda itu ditanggung renteng dengan perusahaan taksi saat membawa penumpang perempuan berinisial HJP.
Kejadian itu terjadi pada 10 Agustus 2011 pukul 19.00 WIB saat HJP naik taksi dari Dukuh Atas, Jakarta Pusat dengan tujuan Cibubur. Sesuai kesepakatan awal, jalur yang akan dilalui adalah lewat Semanggi-Cawang-Jagorawi-Cibubur. Usai naik, penumpang lalu tertidur.
Saat terbangun, HJP kaget karena taksi sudah berada masuk jalur JORR mengarah ke Jatiasih. DS lalu meminta maaf dan beralasan taksi terseret arus lalu lintas di tol Taman Mini karena mengambil lajur kiri, bukan lajur kanan. Di sinilah majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menilai DS bersalah.
“Seorang sopir taksi tentu tahu bahwa jalur Cawang-Cibubur melalui lajur kanan dan bukannya mengambil lajur kiri sehingga terseret arus masuk ke lajur JORR arah Jatiasih, ” putus majelis yang diketuai Mathius Samiaji dengan anggota Yonisman dan Suko Harsono sebagaimana dikutip detikcom dari website Mahkamah Agung (MA), Senin (20/4/2015).
Lalu sopir menawarkan alternatif apakah kembali ke tol Jagorawi atau menuju Cibubur lewat jalan umum. Dalam situasi ini, HJP memilih menggunakan jalan umum yaitu keluar tol Situ-Cilangkap-Cibubur.
“Karena sudah menjadi rahasia umum lagi bahwa kecenderungan sopir taksi pada umumnya adalah sering menggunakan ketidaktahuan pengguna jasa taksi untuk mengambil rute jalan yang jauh,” ujar majelis dengan suara bulat.
Ketika taksi lewat jalur kecil dekat RS Melia, Cibubur, kendaraan melaju pelan dengan kecepatan 10 km/jam dan HJP tiba-tiba loncat keluar taksi. Sang sopir lalu menghentikan kendarannya dan mencoba mendekati penumpang dan menanyakan sebab musabab meloncatnya HJP. Bukannya menjawab, HJP malah ketakutan mengira dirinya akan dijahati oleh sopir. HJP lalu menyetop sepeda motor dan kabur.
Dua bulan setelahnya, HJP melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dan menggugat sopir taksi dan perusahaaanya sebesar Rp 1 miliar ditambah biaya berobat. Majelis hakim mengabulkan gugatan dengan menyatakan sopir dan perusahaan taksi telah melakukan perbuatan melawan hukum.
“Dengan demikian di satu sisi adalah kewajiban dari pengemudi taksi dan di pihak lain bagi penumpang taksi adalah sebagai haknya mengenai kenyamanan-keamanan dan tidak diputar-putarkan sewaktu dirinya sebagai tamu penumpang taksi,” tegas majelis hakim.
Lalu bagaimana dengan tuntutan ganti rugi? Majelis hakim menyitir Pasal 1367 ayat 3 KUHPerdata yang menyatakan seorang majikan (perusahaan taksi) ikut bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh karyawannya, yaitu DS. Selain itu, berdasarkan bukti-bukti, HJP mengalami kerugian materiil sebesar Rp 2.008.000 yaitu biaya berobat yang harus dikeluarkan akibat ia meloncat dari taksi.
“Selain itu, penggugat juga menuntut ganti rugi kerugian immateriil yang dialami berupa rasa takut, trauma dan penderitaan rasa sakit dan hingga saat ini praktik peradilan yang mengikuti yurisprudensi mempergunakan kriteria dan ukuran status dan kedudukan sosial para pihak berperkara dalam menentukan besarnya kerugian immateril secara layak yang diderita seseorang,” ucap majelis.
Lantas majelis meyakini yaitu penumpang yang tinggal di kawasan Cibubur merupakan kategori kelas menengah, sedangkan perusahaan taksi kenamaan, besar dan terkenal maka layak dihukum dengan nominal Rp 100 juta.
“Tergugat I adalah perusahaan angkutan besar dan bonafit sehingga tidak logis akan mengasingkan atau mengalihkan harta dan assetnya karena diwajibkan membayar ganti kerugian kepada penggungat, sehingga tuntutan peletakan sita atas aset harta tergugat I harus ditolak,” papar majelis lagi.
Majelis hakim juga menghukum penumpang membayar argo taksi sebesar Rp 100 ribu dan Rp 16 ribu untuk tiket tol yang belum dibayarnya.
“Menghukum Tergugat I dan Tergugat II membayar ganti rugi materiil Rp 2.008.800 dan kerugian immateril sebesar Rp 100 juta,” putus majelis.
Atas putusan yang diketok pada 7 Mei 2012 itu, perusahaan taksi tidak terima dan mengajukan banding. Kasus ini masih diperiksa di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta.
Lantas, adilkah sopir harus dihukum Rp 102 juta karena semata-mata keluar rute?
Adilkah Hukum Kita? (detik/adj)
Komentar
Hukum Indonesia tak pernah benar-benar adil kepada rakyat kecil. Karena definisi adil adalah ketika uang yang berbicara. Hukuman koruptor milyaran rupiah disamakan dengan pelaku pencuri sendal. Inilah hukum Indonesia yang bobrok. Berbeda dengan hukum Islam yang mendefinisikan adil sebagai ketaatan yang sesuai dengan Quran dan Sunnah. Mari kembali kepada hukum Islam dan mari pelajari hukum Islam agar tak salah sangka dengannya.