Arab Spring: Cermin Kegagalan Demokrasi dan People Power

Arab-Spring

Arab Spring (Musim Semi Arab) merujuk pada proses perubahan politik di Dunia Arab sejak tahun 2011.Arab Spring ditandai dengan demonstrasi massa secara masif dan diakhiri dengan tumbangnya beberapa rezim yang sudah berkuasa selama puluhan tahun.

 Arab Spring Gagal

Kegagalan Arab Spring ditunjukkan dengan harapan rakyat Timur Tengah yang tidak terwujud. Keinginan lepas dari kediktatoran rezim (dictatorship regime) yang zalim justru menghadirkan rezim diktator baru sebagaimana yang terjadi di Mesir. Harapan kehidupan islami dapat terwujud justru malah mengokohkan rezim sekular sebagaimana yang terjadi di Tunisia. Belum lagi konflik yang berkepanjangan di Libya, pembantaian rakyat yang menjadi tontonan dunia internasional sebagaimana yang terjadi di Suriah, ancaman disintegrasi di Irak sampai pertarungan adidaya dunia sebagaimana yang terjadi di Yaman. Itulah buah dari Arab Spring. Proses perubahan sosial ini terjadi secara spontan tanpa arah, yang melahirkan kekecewaan dan kekecewaan.

 1.         Diktator Baru di Mesir.

Mesir awalnya mengalami perubahan sosial yang signifikan. Gelombang protes massa yang dilakukan di Lapangan Tahrir (Tahrir Square) melibatkan semua kelompok massa dan akhirnya dapat menumbangkan rezim yang berkuasa, Hosni Mubarak. Inilah revolusi jilid I, yang mereka sebut Revolusi 25 Januari 2011.

Mubarak tumbang dan kemudian ditahan di Penjara Torah di Kairo. Arab Spring di Mesir ditindaklanjuti dengan proses demokratisasi. Muncullah berbagai partai politik. Lalu Pemilu diselenggarakan dan dipandang demokratis.

Ikhwanul Muslimin, yang pada masa Mubarak mengalami penindasan politik, akhirnya dapat memenangkan Pemilu dan menjadi penguasa baru di negeri piramid ini. Namun demikian, presiden terpilih Muhammad Mursi gagal melakukan konsolidasi politik. Hal ini dimanfaatkan oleh kelompok oposisi yang didukung oleh militer untuk menggalang revolusi jilid II, yang mereka sebut Tamarrud, 30 Juni 2013.

Presiden Mursi yang terpilih secara demokratis kemudian dikudeta oleh militer dengan alasan demi menjaga stabilitas negara. Jenderal Abdel Fatah As-Sisi, yang sebenarnya diangkat oleh Mursi untuk menopang kekuasannya yang pro Islam, justru menunjukkan wajah aslinya sebagai militer binaan AS yang akan terus menjaga kepentingan AS di negara yang berbatasan langsung dengan Israel ini.

Dengan manipulasi demokrasi yang dilakukan, Jenderal As-Sisi kini mengokohkan dirinya sebagai diktator baru Mesir. Hal ini juga menunjukkan bahwa tujuan-tujuan Arab Spring di Mesir telah mengalami kegagalan.

2.         Penguasa Sekular Kembali di Tunisia.

Tunisia adalah negeri tempat awal Arab Spring. Proses perubahan sosial di Tunisia relatif lebih tenang (pacific), jauh dari kekerasan. Tumbangnya rezim Ben Ali yang pemerin-tahannya penuh korupsi dan represi, melahirkan proses demokratisasi di Tunisia. Ben Ali kemudian melarikan diri ke pengasingan di Arab Saudi. Demokrasi tetap dipilih karena dianggap dapat menjadi jalan yang partisipatif (participatory tools) bagi semua kalangan untuk memuluskan cita-cita politiknya ke ranah kekuasaan. Partai-partai yang sebelumnya diberangus penguasa mulai unjuk gigi dan berupaya meraih dukungan rakyat dalam proses Pemilu.

Pada Pemilu pertama, Partai Islam moderat, Ennahda, dapat mengalahkan saingannya dari aliansi sekular, Nida Tounes, dan kemudian menjadi partai penguasa. Namun, selama pemerintahannya, negara itu dibayangi masalah pekerjaan, peluang ekonomi dan konflik pemerintah Tunisia dengan militan Islam. Pemerintahnya terpaksa mundur setelah krisis terjadi terkait pembunuhan dua pemimpin oposisi tahun lalu.

Tunisia lalu menyetujui konstitusi baru pada awal tahun ini. Hal ini dihargai oleh dunia internasional sebagai contoh untuk perjuangan melawan kekacauan dan kekerasan.

Pada Pemilu kedua Oktober 2014 lalu, justru Partai sekular Tunisia, Nida Tounes, memenangi lebih dari 85 kursi dalam pemilihan parlemen beranggota 217 orang. Hanya sebanyak 69 kursi diraih Partai Islam, Ennahda.

Bahkan  Beji Caid Essebsi, kandidat dari partai sekular Tunis, dinyatakan sebagai pemenang dalam Pilpres Tunisia pada hari Senin, 22 Desember dengan meraih 55,68% suara mengalahkan presidenincumbent dari Islamis, Moncef Marzouki (44,32%). Kemenangan politisi Tunisia yang berusia 88 tahun ini dikritisi akan menandai kembalinya kekuatan rezim sekular sebelum Arab Spring.

3.         Konflik Berkepanjangan di Libya.

Hingga terjadi Arab Spring di Libya pada tahun 2011, AS tidak memiliki pengaruh apapun di negeri yang kaya minyak ini. Qaddafi adalah agen setia Inggris. Dengan datangnya Musim Semi Arab serta jatuhnya Hosni Mubarak di Mesir dan Zainal Abidin Ben Ali di Tunisia, perubahan sosial dengan cepat meluas melintas batas hingga ke Libya. Memahami bahwa Qaddafi tidak diinginkan lagi oleh rakyat Libya, Inggris memutuskan berlepas tangan dari Qaddafi dan menyiapkan pengganti.

Dengan adanya justifikasi stigma bahwa “ada pelanggaran HAM berat” dilakukan oleh Qaddafi, terbitlah Resolusi PBB Nomor 1973 tentang Zona Larangan Terbang (No Fly Zone). Bahkan bukan sekadar larangan terbang belaka, tetapi Barat dalam hal ini AS dan sekutunya North Atlantic Treaty Organization (NATO) justru balik membombardir Libya.

Puluhan negara yang tergabung dalam NATO menggempur Libya hingga porak-poranda. Qaddafi dinyatakan “tewas”. Pemerintahan (definitif) bubar. Pemerintah sementara tak digubris. Perampokan harta Qaddafi berkedok pembekuan aset-asetnya di luar negeri pun menjadi fenomena. Pergolakan senjata bermotif saling klaim SDA di internal negeri terus berlanjut. Libya kini ibarat ladang yang ditinggal pemiliknya, menjadi rebutan banyak orang. Libya berubah menjadi (failed state) negara gagal yang berantakan.

Kontrol Pemerintah atas produksi minyak kini telah beralih ke tangan milisi yang didukung Barat. Libya benar-benar terpecah menjadi serpihan kekuatan yang dibagi-bagi ke beberapa kelompok milisi atas nama suku, daerah, golongan islamis dan non-islamis. Mereka setidaknya mengerucut pada dua faksi besar sehingga ibaratnya Libya memiliki dua pemerintahan dengan Perdana Menteri, parlemen dan angkatan bersenjatanya sendiri-sendiri.

AS justru mulai mendukung kekuatan ketiga: aset lama CIA, Jenderal Khalifa Haftar. AS berupaya menempatkan dia sebagai diktator baru Libya. Haftar memutuskan hubungan dengan Gaddafi pada tahun 1980 dan tinggal bertahun-tahun di Langley, Virginia, dekat kantor pusat CIA. Di sana ia dilatih oleh CIA, dan telah mengambil bagian dalam berbagai upaya perubahan rezim Libya oleh Amerika, termasuk batalnya upaya penggulingan Gaddafi pada tahun 1996.

Pada tahun 1991 New York Times melaporkan bahwa Haftar ditengarai menjadi salah satu di antara 600 tentara Libya yang dilatih oleh pejabat intelijen Amerika dalam bidang sabotase dan keterampilan gerilya lainnya. Ia dengan rapi sedang dipersiapkan sesuai kebutuhan Amerika, dibarengi antusiasme Presiden Reagan untuk menggu-lingkan Kolonel Gaddafi.

Kini, pasukan Haftar sedang berlomba-lomba dengan kelompok Al Qaeda Ansar al-Sharia untuk menguasai kota terbesar kedua Libya, Benghazi. Ansar al-Sharia adalah kelompok islamis yang dipersalahkan oleh Amerika atas pembunuhan brutal Duta Besar AS Stevens.

Dengan demikian, kekuatan bersenjata di Libya terdistribusi di antara Haftar dan Konferensi Nasional.

Intervensi militer NATO mungkin bisa dianggap sukses besar bagi elit militer dan perusahaan minyak Amerika, tetapi tidak untuk Libya. Sebaliknya hal itu menciptakan negeri penuh konflik, Libya.

4.         Suriah Masih Membara.

Di Suriah, fenomena Arab Spring masih membara. Perjuangan revolusi rakyat belum juga usai. Demonstrasi massa di berbagai kota besar Suriah belum mampu menggulingkan simbol otoritarisme Suriah, Bashar Assad, dari kursi presiden. Bahkan sebaliknya, ia bersikeras untuk tetap bertahan pada jabatannya dan menggunakan segala cara guna menggagalkan revolusi rakyat, bahkan dengan jalan kekerasan.

Upaya intervensi asing pun, dengan berbagai alasan hingga kini tidak dilakukan. Betapa militer negara lain hingga saat ini tidak diperkenankan masuk secara terang-terangan karena belum ada mandat PBB. Upaya untuk menerbitkan resolusi oleh AS dan sekutu senantiasa diganjal oleh veto Cina dan Rusia setiap kali diajukan draft resolusi di forum DK-PBB.

Kini berbagai unjuk rasa sudah berubah menjadi revolusi militer. Terbentuk berbagai kelompok militer yang terus melakukan perlawanan terhadap rezim Bashar Assad. Kelompok milisi tersebut antara lain Pasukan Pembebasan Suriah (FSA), Daulah Islamiyah Iraq dan Syam (ISIS), Jabhah Nusrah, Liwa Al Haq, Ahrar Al-Sham, Jabhah Islamiyah, Jaisyul Mujahidin, Jabhah Tsuwar Suriah, dan banyak lagi. Yang terbaru adalah Jamaah Ahadun Ahad. Milisi ini kebanyakan anggotanya adalah mujahidin dari negeri tetangga.

Namun, perjuangan para milisi ini tidaklah mulus. Dengan jumlah yang sedemikian banyak, ideologi yang berbeda, atau ada perbedaan misi, tidak jarang, terjadi konflik di antara para mujahiddin itu sendiri.

5.         Yaman Masih Jadi Rebutan AS dan Inggris.

Sejak dekade 60-an, pertarungan sengit terjadi antara Amerika Serikat dan Inggris di Yaman. Yaman, secara historis adalah negara yang berada dalam pengaruh Inggris. AS mulai kepincut menanamkan pengaruhnya di Yaman setelah menjadi otak dalam kudeta as-Salal tahun 1962. Republik Yaman lalu diumumkan. Inggris terus berusaha mengendalikan daerah selatan Yaman hingga kemudian didirikanlah republik di sana pada 30 Nopember 1967.

Inggris berusaha mengambil alih kembali apa yang sudah direbut oleh AS dengan mendatangkan agennya, Ali Abdullah Saleh pada 1978 di Yaman Utara. Pada akhirnya Inggris dapat mengontrol Yaman sepenuhnya melalui unifikasi Yaman oleh Ali Abdulah Saleh pada 22 Mei 1990.

Lepas dari pengaruh AS sekian lama, akhirnya AS mendapatkan momentum untuk kembali menanamkan pengaruhnya di Yaman ketika meletus berbagai protes rakyat di Yaman dan tuntutan revolusi pada tahun 2011 untuk menjatuhkan rezim Ali Abdullah Saleh yang loyal kepada Inggris yang sudah lama berkuasa.

Jatuhnya rezim Ali Abdullah Saleh tentunya menggembirakan AS. Berikutnya AS memandang adanya kemungkinan melemah-kan pengaruh Inggris di Yaman setelah lepas dari anteknya, Ali Abdulah Saleh.

6.         Ancaman Disintegrasi di Irak.

Kondisi di Irak sebenarnya tidak tersangkut paut dengan Arab Spring. AS sudah menduduki Irak secara langsung sejak 2003. AS telah mempersiapkan Irak yang baru sejak saat itu. Arab Spring yang terjadi di belahan Dunia Arab yang lain, tidak akan mengganggu rancangan ini, bahkan menjadi kesempatan untuk memuluskan implementasi rencana besar ini.

Rancangan AS terhadap Irak adalah menyiapkan Irak untuk disintegrasi. Konstitusi baru Irak yang disiapkan oleh Bremer pun berdasarkan asas kelompok sektarian menurut kuota kelompok dan sekte; membagi kekuasaan untuk Presiden, ketua parlemen dan perdana menteri. Selain pembagian kekuasaan, Irak juga dibagi berdasarkan wilayah; Kurdi di utara Irak, Sunni di barat dan utara, Syiah di selatan, sementara Baghdad di antara bagian-bagian ini. Ke depannya mereka akan menjadi negara terpisah sehingga Irak mengalami disintegrasi.

Pembagian ini sudah ditetapkan dan akan terus di kawal sehingga ketika terjadi konflik Irak, munculnya perseteruan di antara sekte dan kelompok di Irak, AS berdiam diri. AS tidak mau tahu dengan kejadian-kejadian berdarah di wilayah Sunni antara suku-suku, ISIS, Ba’ats dan Naqsabandiyah. AS tidak menilai itu sebagai gangguan keamanan meski pembantaian terjadi selama persengketaan dan peperangan tersebut terjadi di dalam satu wilayah yang sama. AS pun tidak memandang sampainya ISIS ke Mosul pada 10 Juni 2014 atau Tikrit atau yang lain sebagai gangguan keamanan, genosida dan tidak pula dianggap melampaui batas kemanusiaan. Karena hal itu adalah peperangan di satu wilayah yang sama.

Namun, AS menilai mendekatnya ISIS dan jamaah-jamaah Sunni lainnya yang mengancam Baghdad sebagai gangguan keamanan. Atas dasar itu, jika ISIS melewati wilayah Sunni dan mendekat ke wilayah Kurdistan yang merupakan bentuk ancaman wilayah Kurdistan, maka bagi Amerika hal tersebut merupakan gangguan keamanan, pelanggaran HAM dan genocida. Hal itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Presiden AS Barrack Obama dalam wawancara New York Times pada 9 Agustus 2014 terkait intervensi militer AS melalui serangan pesawat di utara Irak.

Sebab utama intervensi AS adalah menghalangi serangan apapun dari ISIS terhadap wilayah Kurdistan sesuai strategi Amerika untuk memecah-belah Irak menjadi tiga wilayah, dan supaya satu wilayah tidak mencaplok wilayah lainnya. AS tidak ingin Irak kembali menjadi satu negara. AS ingin Irak terpecah belah menjadi wilayah-wilayah yang pada akhirnya berujung pada disintegrasi secara riil konstitusional sesuai dengan rencana AS.

Jalan Sesat Demokrasi

Arab Spring sekali lagi menunjukkan bahwa jalan demokrasi untuk perubahan yang hakiki sangatlah tidak kompatibel, Jalan demokrasi  meniscayakan jalan kompromi. Semua pihak diberikan kesempatan berpartisipasi tanpa mengindahkan apapun, termasuk di dalamnya rasionalitas. Sepintas terlihat adil, namun di dalamnya mengandung racun yang mematikan. Jalan kompromi, bukan jalan kebenaran, namun jalan kesepakatan. Dengan kompromi tidak ada benar salah, yang ada adalah kesempatan.

Mesir, menjadi tumbal kedua dari demokrasi. Padahal sebelumnya sudah ada Aljazair yang mengalami ‘penipuan’ demokrasi. Presiden yang terpilih secara demokratis tidak mengapa dikudeta oleh militer untuk mempertahankan kekuatan rezim lama. Inilah yang dipersoalkan oleh Mursi dalam pidatonya, yang banyak mengandalkan legitimasinya sebagai presiden terpilih lewat Pemilu yang demokratis.

Demokrasi menjadi alat legitimasi. Dengan ‘pura-pura’ mundur, diselenggarakan Pemilu yang seolah demokratis. Lalu rezim lama akan berkuasa kembali dengan mengklaim mendapatkan dukungan rakyat melalui Pemilu.

Demokrasi juga hanya melahirkan solusi parsial. Perubahan sosial yang terjadi tidak menyentuh asasnya. Perubahan konstitusi negara menjadi hal yang tabu, dan kalaupun dilakukan, menjadi sangat kompromistis.

Pemilu dalam sistem demokrasi sangat mudah untuk ditunggangi oleh pihak-pihak yang menjadi pahlawan kesiangan. Dengan modal ikatan emosional dan popularitas, dengan mudah mereka mendapatkan suara dari rakyat yang dininabobokan dengan kampanye sesaat.

Dari realitas tersebut semestinya kita memahami apa yang diungkapkan oleh Mattair (2011 dalam Cordesman, 2011: 1), “In the broadest sense, they are demands for the economic and political change, but they are also protests against regimes that have very different record of governance and very different kinds of relations with the United States.”

Arab Spring adalah gelombang demokratisasi yang merupakan desain dari Amerika Serikat.

Menyoal People Power

Arab Spring juga menunjukkan bahwa perubahan tidak sekadar revolusi massa (people power). Awalnya histeria massa yang massif dapat membangun opini tentang harusnya rezim yang berkuasa ditumbangkan. Faktanya, beberapa dari para penguasa tersebut akhirnya tumbang setelah didesak massa yang jumlahnya jutaan dan bergerak secara massif di seantero negeri. Namun, revolusi massa tidak lahir dari kesadaran bersama. Rakyat yang turun ke jalan hadir dengan persepsi sendiri-sendiri. Tidak ada ide (fikrah) dan metode (thariqah) yang sama, terakumulasi dan terinternalisasi dari para penggerak perubahan tersebut. Jadilah, tumbangnya rezim tidak melahirkan solusi yang mendasar. Tanpa kesiapan konsep, penguasa baru yang terpilih akan mengalami kegagalan dalam mengatur masyarakat.

Revolusi massa juga sifatnya emosional. Apalagi bila kemudian revolusi massa berubah menjadi revolusi fisik. Massa yang memiliki senjata akhirnya akan cenderung represif terhadap lawan politiknya. Akibatnya, bukan perubahan ke arah yang lebih baik yang diraih, namun konflik  fisik berkepanjangan sebagaimana yang terjadi di Suriah.

WalLahu a’lam bi ash-shawab [Dari berbagai sumber]

(H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si; Dosen Ilmu Hubungan Internasional UNIKOM Bandung, Mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional Unpad Bandung

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories