Demokrasi Sistem Mafia
Dewan Perwakilan Rakyat adalah bagian penting dari konsep trias politica demokrasi ala Montesqieu yang banyak dianut negara-negara di dunia. Sebagai perwujudan institusi legislatif, selain menciptakan checks and balances dalam skema politik demokrasi, DPR juga melegislasi berbagai undang-undang yang (seharusnya) merupakan aspirasi masyarakat. Mereka dipilih oleh masyarakat dan terikat dengan kontrak politik untuk menjalankan aspirasi konstituen.
Namun, identitas DPR sebagai perwakilan rakyat, di negeri demokrasi manapun, patut diragukan. Hal ini tercermin dari dua hal sederhana. Pertama: kepada siapa anggota DPR berpihak. Kedua: untuk kepentingan siapa undang-undang dilegislasi oleh DPR.
Bukan untuk Rakyat
Pertanyaan pertama tentu harus dikembalikan pada konsep demokrasi perwakilan yang kini dianut di Tanah Air. Sayang, harapan kaum Muslim di Tanah Air bahwa demokrasi dapat membawa kepentingan mereka tampaknya musykil untuk diwujudkan. Thomas Jefferson, pendiri negara Amerika Serikat, sejak awal telah menyangsikan demokrasi berpihak kepada rakyat. Ia malah menyebut demokrasi sebagai aturan mafia (mob rule). “A democracy is nothing more than mob rule, where fifty-one percent of the people may take away the rights of the other forty-nine,” kata Thomas Jefferson.
Demokrasi disebut oleh Thomas Jefferson sebagai mob rule (aturan mafia). Pasalnya, 50+1 % orang dapat mengklaim diri mereka sebagai rakyat dan merampas hak 49 persen lainnya.
Gaya mob rule seperti ini makin signifikan pada lembaga legislatif. DPR yang secara de jureadalah lembaga perwakilan rakyat, dalam tataran praktis tidak benar-benar mewakili rakyat. Anggota DPR dan DPRD adalah perwakilan parpol yang disodorkan kepada publik untuk dipilih secara taken for granted. Sebagian besar tak dikenal pemilih dan diragukan pernah berkontribusi pada kepentingan publik. Alhasil, label ‘wakil rakyat’ yang disandang DPR lebih bersifat klaim ketimbang kenyataan.
Akuntabilitas parpol sebagai lembaga politik yang dapat menyuarakan kepentingan publik juga patut diragukan. Pada tahun 2008 Soegeng Sarjadi Institute menyatakan, tak adanya perbaikan pola perekrutan anggota parpol membuat parpol dikuasai oleh jawara, aristokrat dan saudagar. Aristokrat adalah orang yang memiliki kekuatan pengaruh tradisional untuk menarik massa. Saudagar adalah orang yang memiliki kekuatan finansial untuk memodali partai. Jawara adalah orang yang memiliki kekuasaan di jalur ilegal.
Komposisi kepengurusan parpol semacam itu terlihat pada hampir semua parpol besar di Tanah Air. Ada Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla dan keluarga Ratu Atut di Golkar; Hashim Djojohadikusumo di Gerindra; juga sejumlah konglomerat cina di PDIP. Parpol-parpol lainnya juga sama; berebut mencari dukungan finansial dan kekuasaan dari kaum pengusaha, jawara dan aristokrat. Dari kondisi seperti inilah lahir persoalan yang berlarut-larut, termasuk lahirnya politisi busuk dan korup. Kasus Hambalang, PLTU Lampung, skandal Kementerian ESDM, dan skandal impor sapi, baru sebagian cerminan perilaku anggota dewan yang korup.
Meski para pendukung demokrasi berulang menyeru publik agar tidak memilih parpol dan politisi busuk, seruan itu seperti angin lalu. Pada Pilkada dan Pemilu publik kembali memilih parpol dan politisi yang bermasalah. Ironinya, walaupun sejumlah lembaga survey mengeluarkan daftar parpol dan politisi korup dan bermasalah, parpol-parpol itu kembali mendulang banyak suara. Partai Golkar, PDIP dan Demokrat yang termasuk dalam peringkat tiga besar yang kadernya banyak tersangkut korupsi tetap meraup suara lebih besar dibandingkan parpol lain. Kader-kader mereka kembali banyak duduk di kursi parlemen dan sebagian lagi menjadi kepala daerah.
Ketidakpedulian parpol akan buruknya integritas moral kader mereka terjadi pada Pemilu Legislatif 2014. Berdasarkan temuan ICW, ada 48 tersangka korupsi yang akan dilantik menjadi anggota DPRD dan DPR-RI. Anehnya, meski sudah mengetahui kadernya terjerat kasus korupsi, parpol yang bersangkutan tetap memasukkan dan memperjuangkan kadernya sebagai caleg.
Ini mempertegas bahwa bukan aspirasi rakyat yang jadi pertimbangan perjuangan parpol, tetapi semata kepentingan parpol, terutama faktor vote getter dan kontribusi finansial mereka demikian signifikan bagi parpol. Bila sudah begitu, berlakulah kaidah: uang bicara, suara rakyat terlupa.
Melawan Rakyat
Siapapun tak bisa memungkiri bahwa demokrasi itu berbiaya tinggi. Dibutuhkan uang hingga miliaran rupiah bagi seorang politisi untuk menjadi anggota DPR RI dan puluhan hingga ratusan juta untuk bisa menjadi anggota DPRD.
Biaya politik tinggi dan terbukanya kesempatan menerima sumbangan dana dari berbagai pihak membuka celah terjadinya investasi politik mulai dari caleg, parpol hingga capres-cawapres. Di sinilah terjadi kontrak politik parpol, caleg dengan para pengusaha. Pada tahapan ini integritas seorang caleg untuk menyuarakan rakyat makin diragukan.
Apalagi bila individu caleg telah menganut ideologi sekularisme-liberalisme, keberpihakan pada rakyat lebih diragukan lagi. Dengan ideologi seperti itu keberpihakan anggota dewan kelak bukanlah kepada konstituen mereka, tetapi kepada kalangan kapitalis lokal maupun asing.
Berbagai produk perundang-undangan DPR terbukti merugikan publik. Sebutlah UU Migas yang dikatakan oleh mantan Menteri Perekonomian Rizal Ramli dibiayai oleh USAID. UU ini telah diperjuangkan sejak era Menteri Pertambangan Kuntoro Mangkusubroto. “Begitu sukses digolkan di DPR, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia dengan bangga melapor ke Washington keberhasilan mengegolkan UU Migas dan kepentingan Amerika Serikat terlindungi,” kata Rizal.
Perlahan publik mulai merasakan DPR tidak berpihak kepada masyarakat. Pada bulan September 2012 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), misalnya, mencatat ada 22 undang-undang yang merugikan rakyat. Di antaranya; UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, RUU tentang Pangan, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, dan Putusan MK tentang Status Anak di Luar Nikah.
Ketua PP Muhammadiyah Prof. Din Syamsuddin juga berpendapat serupa. Sejumlah UU yang dihasilkan oleh DPR tidak berdampak positif bagi rakyat. Din mencontohkan di antaranya UU Minyak dan Gas Bumi, UU Mineral dan Batu Bara, UU Sumber Daya Air dan UU Panas Bumi. “Semua produk undang-undang tersebut tidak berpihak kepada rakyat. Sebab kekayaan yang ada di dalam tanah Indonesia justru dijual ke asing. UU tersebut jelas menguntungkan asing,” tegas Din.
“Kesejahteraan rakyat Indonesia sulit diwujudkan jika Pemerintah masih berpihak kepada kaum pemodal dan Pemerintah tidak mengutamakan rakyat kecil,” pungkasnya.
Contoh lain undang-undang yang merugikan rakyat adalah UU Perdagangan yang telah disahkan DPR pada awal tahun ini. Padahal isi UU Perdagangan tersebut amat liberal dan tidak melindungi kepentingan dalam negeri. Menurut Monitoring dan Riset Manager Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hartanti, pengesahan UU Perdagangan oleh DPR dan Pemerintah pada dasarnya tidak mengubah wajah kolonialisme dari undang-undang perdagangan terdahulu. Sebagian materi UU Perdagangan dituding sebagai adopsi ketentuan perjanjian perdagangan internasional, yakni World Trade Organization (WTO). “Ketentuan WTO merupakan suatu bentuk aturan neo-kolonialisme yang mendorong liberalisasi perdagangan sehingga mengakibatkan hilangnya kedaulatan negara dalam mempertahankan kepentingan nasionalnya akibat komitmen yang diikatkannya,” kata Rachmi.
Atas dasar tersebut, IGJ menilai UU Perdagangan berpotensi melanggar Konstitusi. Ada beberapa pasal dalam UU Perdagangan yang dinilai melanggar Konstitusi dan telah menimbulkan perlakuan yang tidak adil bagi pelaku usaha kecil seperti petani, nelayan dan UMKM.
Masih ada sejumlah undang-undang lain yang meski tidak berdampak secara material, tetapi merugikan kepentingan umat Islam seperti: UU Terorisme, UU Keamanan Nasional, UU Kesetaraan Jender, gugatan UU Pernikahan dan upaya legalisasi homoseksual. Semua itu adalah bukti ketidakberpihakan DPR kepada mayoritas Muslim di negeri ini. Undang-undang dan RUU tersebut menyiratkan besarnya pesanan asing kepada DPR untuk mengegolkan kepentingan mereka.
UU Terorisme dan RUU Keamanan Nasional isinya ditujukan untuk memberangus kelompok Islam yang memperjuangkan syariah dan anti-liberalisme serta neo-kolonialisme. Dengan undang-undang itu pihak asing memiliki payung hukum untuk mendiktekan kehendaknya kepada Pemerintah agar menjinakkan apa yang mereka sebut sebagai kelompok ‘garis keras’.
Kepentingan asing untuk menciptakan tatanan masyarakat liberal tercermin dari bermunculannya RUU Kesetaraan Jender, Legalisasi Homoseksual dan yang terakhir adalah gugatan UU Pernikahan. Aneh bila anggota Dewan yang katanya representasi rakyat justru merancang—apalagi bila mengesahkan—undang-undang yang isinya justru merugikan dan merusak konstituen mereka sendiri.
Selain tidak berpihak pada kepentingan rakyat, DPR juga dituding ‘rajin’ menghabiskan anggaran secara boros. Untuk menyusun satu RUU usulan DPR, anggaran yang digunakan sekitar Rp 1,8 miliar pada tahun 2011 dan meningkat menjadi Rp 5,2 miliar pada tahun 2012. Padahal kinerja DPR periode 2009-2014 dinilai buruk. Sepanjang lima tahun bekerja DPR hanya menghasilkan 59 UU.
Spirit Sekularisme-Liberalisme
Semestinya umat sadar bahwa sampai kapan pun DPR musykil memperjuangkan aspirasi publik, apatah lagi kepentingan umat Islam. Pasalnya, demokrasi yang ditegakkan di manapun akan selalu mensyaratkan sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan, dan pemisahan agama dari pemerintahan. Kehadiran parpol Islam di gedung bundar tidak banyak memberikan pengaruh signifikan kepada umat karena mereka juga terbelenggu dengan syarat ini. Pertimbangan penyusunan dan pengesahan RUU bukanlah asas Islam, tetapi kepentingan. Mekanisme pengambilan-nya pun acap menggunakan pemungutan suara. Cara seperti ini jelas batil untuk menetapkan sesuatu itu haram atau halal.
Karena itu UU Pornografi yang telah disahkan DPR bak pisau majal, tak berdaya menghadapi gelombang pornografi dan pornoaksi yang bertebaran di masyarakat. Begitu pula ajaran-ajaran sesat tak bisa dicegah dengan undang-undang. Alasanya, karena demokrasi menetapkan kebebasan beragama, termasuk menafsirkan dan membuat agama baru. Selama konstitusional, negara wajib menjamin keberadaannya sekalipun amoral, sesat dan merusak.
Spirit sekularisme dan liberalisme inilah yang dibawa oleh mayoritas parpol-parpol yang mendudukkan kader mereka di Gedung DPR. Sejak awal unsur agama (Islam) tak menjadi misi perjuangan mereka meski mayoritas negeri ini adalah Muslim dan mereka juga Muslim. Bagi mereka Islam hanyalah unsur spiritual, bukan asas perjuangan partai dan bernegara. Agama hanya komplementar, bukan asas kehidupan dan asas pemerintahan.
Spirit sekularisme ini yang juga mendorong munculnya sikap liberalisme di segala bidang: kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan dan kebebasan beragama. Munculnya kepala daerah yang bermasalah termasuk pernah tersangkut skandal seksual adalah cerminan parpol dan DPR serta DPRD telah mengabaikan aspek moralitas. Mereka tak peduli kader mereka pernah tersangkut berbagai kasus, termasuk berperilaku amoral.
Semangat liberalisme juga mendorong lahirnya berbagai undang-undang yang berpihak pada berbagai kepentingan asing, termasuk perusahaan raksasa transnasional. Lolosnya UU Migas, UU Perbankan, UU Sumberdaya Air, dll adalah sekian bukti bahwa DPR memang mengusung semangat liberalisme, bukan membela kepentingan rakyat. Karena itu, seperti yang dikatakan oleh Rizal Ramli dari Econit, tak ada gunanya MPR bicara bolak-balik tentang empat pilar kebangsaan jika UU pesanan asing masih bercokol. Faktanya, yang mengkhianati bangsa dan rakyat bukan siapa-siapa, melainkan legislatif itu sendiri bersama eksekutif.
Perubahan Mendasar
Semestinya umat Islam sudah merasa cukup diperdaya oleh sistem demokrasi dan para pendukungnya. Mendudukkan anggota legislatif Muslim ke gedung parlemen tak kunjung juga membuahkan perbaikan yang signifikan. Yang ada malah keterpurukan. Pasalnya, selama ini umat hanya memilih orang Islam, tetapi bukan memilih sistem Islam. Arang Islam yang terpilih malah membawa visi sekularisme-liberalisme.
Kondisi yang tak jauh beda juga diprediksi bakal menimpa DPR kali ini. Ini karena sebagian besar anggota dewan adalah muka lama yang dulu melahirkan UU pro kepentingan asing. Mengharapkan DPR baru akan memberikan angin segar kepada rakyat adalah bak pungguk merindukan rembulan. Sia-sia.
Satu-satunya perubahan yang harus dilakukan—dan ini adalah perubahan terbaik—adalah melakukan perubahan secara mendasar dan menyeluruh. Hapus pola pikir sekularisme dan liberalisme. Jadikan Islam sebagai satu-satunya spirit dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seluruh kepentingan rakyat harus diatur hanya dengan syariah Islam. Hanya Islam yang memiliki aturan yang lengkap dan paripurna. Islam tidak memiliki tendensi kepada kelompok manapun selain ketaatan kepada Allah SWT.
Dalam Islam parpol dan Majelis Ummat ada untuk beramar makruf nahi mungkar dalam koridor syariah; bukan untuk mendesakkan kepentingan mereka, apalagi pihak asing, kepada negara; apalagi memanipulasi rakyat untuk keuntungan kaum imperialis. Kondisi ini hanya akan tercipta dengan memasukkan sekularisme dan liberalisme ke dalam tong sampah peradaban.
[Iwan Januar]