Arti Perumpamaan Dalam Al-Qur’an
Arti Perumpamaan Dalam Al-Qur’an
al-Qur’anul karim sebagai kitab pedoman berisi berbagai pembahasan bermanfaat yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam segala kondisi. Misalnya, dalam metode pembelajaran dan cara menanamkan sebuah nilai dalam hati seseorang. Metode yang dipakai adalah metode yang simpel dan paling jelas. Diantara metodenya yaitu dengan membuat perumpamaan-perumpamaan. Metode ini dipakai untuk menyampaikan masalah-masalah yang sangat urgen dan krusial, seperti masalah tauhid dan kondisi orang-orang yang mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla, masalah syirik dan kondisi kaum musyrik, dan berbagai amalan besar lainnya. Tujuannya tentu untuk memahamkan dan menanamkan nilai-nilai luhur yang abstrak dengan cara menggambarkannya dengan sesuatu yang kongkrit sehingga seakan-akan terlihat mata. Oleh karena itu, merupakan suatu keharusan bagi seorang hamba untuk memperhatikannya dan berusaha untuk memahami maksud perumpamaan-perumpamaan itu.
WAHYU DAN ILMU DIUMPAMAKAN DENGAN AIR HUJAN
Allâh Azza wa Jalla telah mengumpamakan wahyu dan ilmu yang Allâh Azza wa Jalla turunkan kepada para rasul-Nya dengan hujan, sementara hati diumpamakan dengan bumi dan lembah. Pengaruh ilmu dan wahyu pada hati diumpakan dengan pengaruh hujan pada tanah bumi. Diantara tanah itu ada yang subur yang bisa menyerap air dan menumbuhkan rerumputan, sebagaimana hati yang bisa memahami wahyu Allâh Azza wa Jalla dan merealisasikannya dalam kehidupan.
Diantara tanah itu juga ada tanah yang bisa menampung air akan tetapi tanaman tidak bisa tumbuhdi atasnya. Orang bisa memanfaatkan air yang ditampung ini untuk memenuhi kebutuhan mereka, seperti minum, mandi, makan dan lain sebagainya. Ini merupakan permisalan bagi hati orang yang bisa menghafal wahyu lalu dia juga menyampaikanya ke orang lain, cuma dia tidak bisa memahaminya secara mendalam. Orang seperti ini masih baik, namun derajatnya berada dibawah derajat hati orang pada golongan pertama.
Kemudian ada juga tanah yang tidak bisa menampung air dan tidak bisa menumbuhkan resumputan. Ini adalah perumpamaan bagi hati yang tidak bisa mengambil manfaat sama sekali dari wahyu, baik secara ilmu, hafalan atau pun praktek.
Sisi persamaan antara antara hati dan tanah atau bumi dalam perumpamaan di atas nampak begitu jelas, begitu juga sisi persamaan antara hujan dan wahyu. Hujan merupakan sumber kehidupan fisik manusia dan sumber rezeki, sebagaimana wahyu dan ilmu merupakan sumber kehidupan ruhani atau hati manusia.
KALIMAT TAUHID DIUMPAMAKAN DENGAN POHON YANG BAIK
Allâh Azza wa Jalla juga mengumpamakan kalimat tauhîd dengan pohon yang baik yang senantiasa berbuah setiap waktu.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ﴿٢٤﴾تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. [Ibrahim/14 : 24-25]
Begitu juga pohon tauhîd yang tertanam dalam hati seseorang. Dia juga akan senantiasa mendatangkan buah atau manfaat. Diantara buah tauhîd yaitu niat yang baik, akhlaq mulia serta amal shalih. Manfaat ini tidak hanya dirasakan oleh orang yang bertauhid, tapi juga dirasakan oleh orang lain.
KAUM MUSYRIKIN DISAMAKAN DENGAN LABA-LABA
Allâh Azza wa Jalla mengumpamakan syirik dan kaum musyrik yang mencari perlindungan kepada selain Allâh Azza wa Jalla seperti laba-laba yang merajut sarangnya. Karena sarang laba-laba adalah sarang yang paling lemah [2], sehingga tindakannya membuat sarang hanya akan membuatnya semakin lemah.
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا ۖ وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ ۖ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. [al-Ankabut/29 : 41]
Begitu juga kaum musyrikin yang mengambil pelindung selain Allâh Azza wa Jalla. Tindakan itu hanya akan semakin memperlemah diri mereka sendiri, karena hatinya sudah putus hubungan dengan Allâh Azza wa Jalla . Hati seperti ini akan sangat rapuh dari semua sisi, ditambah dengan ketergantungannya kepada makhluk, maka dia akan semakin rapuh. Dia mengira makhluk bisa memberikan manfaat dan menyelamatkannya dari bahaya, padahal sama sekali tidak.
Kondisi jelas sangat berbeda dengan kondisi hati kaum Muslimin yang hanya bergantung kepada Allâh Azza wa Jalla. Hatinya tangguh sesuai dengan kekuatan imannya, tauhidnya dan ketergantungannya kepada Allâh Azza wa Jalla yang mengatur segala sesuatu. Seperti hati kaum Muslimin yang istiqâmah di atas aturan agamanya. Perkataan dan perbuatannya tetap baik, terbebas dari perbudakan makhluk, tidak bergantung dengan mereka sama sekali.
Ini berbeda dengan kaum musyrikin yang diibaratkan dengan orang bisu lagi tuli, yang hanya menjadi beban. Dia tidak bisa mendatangkan kebaikan, meskipun diberi berbagai pengarahan. Hatinya akan sentiasa bergantung dengan makhluk, sehingga secara tidak langsung telah diperbudak dan tidak memiliki kebebasan. Juga diperumpamakan oleh Allâh Azza wa Jalla dengan orang yang terjatuh dari ketinggian lalu disambar burung dan selanjut dicabik-dicabik sampai tidak berbentuk.
حُنَفَاءَ لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ
Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. [al-Hajj/22 : 31]
Seandainya semua yang mereka anggap tuhan itu berkumpul untuk membuat makluk yang paling kecil yaitu lalat mereka tidak akan bisa melakukannya. Lalu bagaimana kalau mereka seorang diri ? Jangankan menciptakan lalat, mengembalikan dan merebut kembali makanan yang diambil lalat pun mereka tidak bisa. Adakah kelemahan yang lebih parah dari ini ? Adakah kedunguan yang lebih buruk dibandingkan kedunguan kaum musyrikin ? Kondisi ini diperparah lagi dengan banyaknya tuhan sesembahan mereka yang menyebabkan mereka tidak mungkin meraih ridha dari semuanya. Orang seperti ini senantiasa dirundung nestapa dan diterpa penderitaan yang bertubi-tubi.
Seandainya kaum musyrikin menyadari sebagian dari keburukan ini, tentu dia akan berupaya menyelamatkan dirinya dari berbagai keburukan itu. Dia juga akan menyadari bahwa selama ini dia telah menyia-nyiakan akal pikiran mereka setelah tidak peduli dengan agama mereka. Ini sangat bertolak belakang dengan kaum Muslimin yang hanya menghambakan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Hati mereka tenang di atas agama yang haq. Mereka juga menyadari bahwa buah yang akan didapatkannya jauh lebih baik yaitu kebahagian abadi dalam kehidupan yang juga abadi.
AMAL SEORANG HAMBA IBARAT KEBUN
Dalam perumpamaan lain, Allâh Azza wa Jalla mengumpamakan amal perbuatan seperti kebun.
وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. [al-Baqarah/2 : 265]
Allâh Azza wa Jalla menyebutkan suatu amalan yang dilakukan dengan ikhlas, bersih dari segala yang bisa merusaknya ibarat kebun yang berlokasi ditempat terbaik, cukup angin dan sinar matahari serta tidak kekuarangan pasokan air. Tanah seperti ini meskipun tidak terkena hujan lebat, misalnya hanya gerimis maka itu sudah cukup untuk menjadikannya media tanam yang subur. Kalau unsur-unsur ini sudah terpenuhi, maka tentu buah yang dihasilkannya akan sangat memuaskan, daunnya lebat dan rindang serta udaranya sejuk. Sang pemilik akan senantiasa memetik hasilnya tanpa merasa khawatir.
Namun jika mereka ditimpa musibah atau tertimpa kekeringan lalu terbakar.
أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ لَهُ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَأَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهُ ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاءُ فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ فِيهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya. [al-Baqarah/2 : 266]
Maka itu merupakan perumpamaan orang yang melakukan suatu amalan lalu dia melakukan sesuatu yang merusak dan menghancurkan apa yang telah diperbuatnya, seperti kesyirikan, nifâq atau perbuatan maksiat lainnya yang bisa melenyapkan pahala. Alangkah ruginya !
Dari perumpamaan ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa orang yang tidak memiliki iman sama sekali ibarat orang yang tidak memiliki kebun sama sekali.
Sisi persamaan antara amal dan kebun yaitu kwalitas sebuah lahan sangat dipengaruhi oleh kecukupan air, kesuburan lahan dan kebaikan tempat. Begitu juga dengan amal perbuatan. Amal perbuatan itu sangat dipengaruhi wahyu yang diturunkan sebagai nutrisi hati. Kemudian si pelaku juga sudah melengkapi semua syarat diterimanya amal sehingga membuahkan hasil yang memuaskan.
Dan masih banyak sekali perumpaman yang dibawakan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’an. Berbagai perumpamaan ini hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang berakal. Ketika perumpamaan-perumpamaan ini diterapkan pada suatu yang diperumpamakan, maka semuanya akan nampak jelas maksudnya.
(Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di, Kaidah ke-22)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]