
Rekontekstualisasi Ayat Jihad Penting untuk Kebinekaan, Benarkah?
MUSTANIR.net – Mantan narapidana terorisme (napiter) Muhammad Saifuddin Umar alias Abu Fida, menyebut penting untuk melakukan rekontekstualisasi semangat berjihad dalam ajaran Islam untuk merawat kebinekaan Indonesia.
“Rekontekstualisasi ini penting untuk merawat kebinekaan di Indonesia sehingga ayat-ayat jihad tidak dimaknai dengan kondisi yang tidak sesuai kenyataan,” ujarnya sebagaimana keterangan tertulis Pusat Media Damai (PMD) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) diterima di Jakarta, Kamis.
Menurutnya, pemelintiran tafsir dalil agama sering kali disebabkan oleh seseorang yang tertekan atau dipolitisasi pihak tertentu. Penafsiran firman Allah dan sabda Rasulullah harus dikembalikan kepada ulama yang kompeten.
“Sebagai manusia, kita hanya mampu menilai yang terlihat; dan hanya Allah yang mengetahui yang tidak terlihat. Indonesia dengan segala kebinekaannya harus terus dirawat dan dijaga dengan segenap kekuatan bangsa, termasuk umat Islam. Sinergi semua pihak dalam mencapai rida Allah subḥānahu wa taʿālā. adalah kunci untuk mewujudkan Indonesia yang damai dan harmonis,” katanya.
Selanjutnya, ia mengakui bahwa orang yang memiliki “ideologi kekerasan” memerlukan proses berkesinambungan untuk mengubahnya menjadi “terbuka terhadap perbedaan”. Ia percaya bahwa menghilangkan pemahaman berbahaya ini memerlukan kerja sama dengan berbagai pihak. Salah satunya dengan melibatkan masyarakat untuk memperjuangkan keadilan dan kebersamaan sehingga lingkungan tempat tinggal bisa menerima kembali para mantan napiter.
Selain itu, sambungnya, mantan napiter juga perlu membentuk kesadaran diri tentang pentingnya toleransi dan moderasi beragama melalui berdiskusi dan berdialog untuk menemukan kebenaran sejati.
“Ini semua dilakukan agar mantan napiter tidak kembali terjebak pada pola kekerasan sebelumnya yang hanya menjadikan agama sebagai pembenaran atas agenda atau tindakan brutalnya,” katanya.
Menurutnya pula, perlu adanya rekontekstualisasi penafsiran al-Qur’an agar sesuai dengan kebinekaan, dan penafsiran terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah harus dikembalikan kepada ulama yang kompeten.
“Memang benar penafsiran ayat jihad dikembalikan kepada ulama yang kompeten, yaitu mufasir yang menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kaidah penafsiran yang benar berdasarkan akidah Islam, bukan berdasarkan akal manusia,” ujarnya. (Harakatuna, 12-7-2024).
Perlukah Ada Rekontekstualisasi Ayat Jihad?
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai istilah “rekontekstualisasi” dan “tafsir” al-Qur’an dan hadis. Secara terminologi, “rekontekstualisasi” adalah upaya untuk menafsirkan kembali teks (nas) yang ada dalam al-Qur’an dan hadis agar sesuai dengan konteks/realitas sosial budaya sekarang.
Ada pun “tafsir” adalah ilmu untuk mengetahui pemahaman yang terdapat dalam al-Qur’an yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, menjelaskan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmahnya. (Syekh Muhamad Ali ash-Shabuni, at-Tibyan fi Ulumi al-Qur’an, hlm. 65).
Dari sini, bisa dipahami bahwa “rekontekstualisasi” berbeda dengan “tafsir” al-Qur’an. Tafsir al-Qur’an menjadikan al-Qur’an dan hadis sebagai sumber penetapan hukum, sedangkan rekontekstualisasi menjadikan fakta sebagai sumber penetapan hukum.
Berkaitan dengan landasan, maka rekontekstualisasi berdasarkan akal manusia, sedangkan tafsir al-Qur’an berdasarkan akidah Islam karena merupakan bagian terpenting dari tsaqafah (ilmu-ilmu) Islam. (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz I).
Terdapat larangan keras penafsiran berdasarkan akal manusia. Dari Jundab bin Abdillah berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa berkata tentang al-Qur’an (menafsirkan al-Qur’an) dengan akalnya, ternyata benar, maka sungguh ia telah berbuat salah.” (HR Tirmidzi No. 2876 dan Abu Dawud No. 2167)
Dengan meneliti dan mengkaji secara benar, mendalam, detail, dan teliti, akan kita temukan hasil bahwa ayat-ayat jihad tidak perlu direkontekstualisasi, bahkan haram. Ini karena merekontekstualisasi ayat jihad akan menghilangkan makna jihad secara syar’i, yakni perang (qital) di jalan Allah melawan kaum kafir.
Bahkan, beliau ﷺ saja beberapa kali memimpin peperangan secara langsung. Ketika jihad digaungkan, umat Islam bisa dipersatukan di bawah kepemimpinan Islam. Dengan demikian, umat Islam harus paham bahaya rekontekstualisasi ayat jihad, yaitu menghilangkan jihad sebagai bagian dari ajaran Islam.
Rekontekstualisasi ini jelas opini sesat yang sengaja digaungkan untuk menjauhkan umat dari pemahaman bahwa jihad itu perang sebagaimana dicontohkan oleh baginda Nabi ﷺ. Bukankah sepanjang hidup beliau ﷺ terus menyerukan jihad sebagai perang, sekaligus menjauhkan umat dari perpecahan, disintegrasi, dan permusuhan yang disebabkan oleh dorongan asabiah dan ananiah (kecintaan pada golongan dan sifat individualistis)?
Jihad bermakna “perang” juga merupakan kemuliaan, yakni memuliakan agama Islam, memuliakan pelakunya, memuliakan kaum muslim dan negerinya. Bayangkan seandainya tidak ada kewajiban jihad ini, negeri-negeri Islam tidak akan bisa merdeka dari penjajah, termasuk Indonesia. Jadi, sudah seharusnya Indonesia berterima kasih kepada Islam yang mengajarkan jihad, selain pahala jihad yang luar biasa besar, yaitu masuk surga tanpa hisab. Inilah yang mendorong kaum muslim mampu untuk mengusir penjajah.
Ada pun tentang kebinekaan, Islam tidak mempermasalahkan, bahkan mewajibkan persatuan. Islam membolehkan adanya perbedaan bangsa, suku bangsa, bahasa, tetapi tetap bersatu. Islam mengharamkan permusuhan, pertengkaran, tawuran, berpecah belah, dan disintegrasi.
Berkaitan dengan kekerasan yang sering terjadi, seperti penyerangan, bom bunuh diri, dan sebagainya, semua ini bukan karena penafsiran jihad dengan makna perang, dan tidak ada kaitannya sama sekali, dekat maupun jauh. Bahkan, Islam sendiri mengecam bom bunuh diri, penganiayaan, melarang penyerangan, perusakan fasilitas umum, rumah ibadah, pasar, dan lain-lain.
Makna Tekstual (Mantuq) dan Kontekstual (Mafhum)
Dalam menafsirkan makna al-Qur’an, terdapat bermacam-macam makna, antara lain tekstual atau mantuk (mantuq), yaitu penunjukan suatu khithab pada suatu hukum melalui lafaz; dan kontekstual (mafhum), yaitu penunjukan suatu khithab pada suatu hukum melalui makna yang ditunjuk oleh lafaz. (Syekh Atha bin Khalil, Ushul Fikih).
Memang benar bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an, ada makna tekstual dan kontekstual. Akan tetapi, perlu memperhatikan dilalah lafaz yang menunjukkannya sehingga penggunaan maknanya tepat. Dilalah lafaz inilah yang menentukan kapan harus memakai makna tekstual dan kapan memakai makna kontekstual.
Kesalahan dalam menggunakan makna yang tidak tepat akan berakibat fatal dalam menetapkan hukum. Misalnya, tentang jihad, makna yang ditunjukkan dalam lafaz tersebut atau tekstualnya adalah perang. Akan tetapi, jihad dengan makna ini justru dinilai tidak sejalan dengan kebinekaan sehingga harus dilakukan kontekstualisasi dengan hanya mengambil esensinya atau spiritnya, yaitu mengambil makna bahasa yang artinya “bersungguh-sungguh”. Wajar jika jihad yang relevan dengan hari ini dan dipandang sejalan dengan kebinekaan adalah sebatas “bersungguh-sungguh dalam aktivitas kebaikan, damai, dan harmonis”, tidak harus “berperang atau berjuang meninggikan agama Allah”.
Sedangkan sangat gamblang di dalam al-Qur’an bahwa jihad itu bermakna “perang”. Perhatikan firman Allah dalam QS al-Hajj: 7, “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” Imam Tsa’labi menafsirkan ayat ini, “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya, maksudnya bersungguh-sungguh dalam memerangi orang kafir.”
Jihad, Kemuliaan Islam dan Kaum Muslim
Jihad fi sabilillah merupakan kemuliaan bagi Islam dan kaum muslim. Firman Allah dalam QS al-Baqarah: 193, “Dan perangilah mereka itu sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”
Jihad merupakan kemuliaan dan kewajiban bagi kaum muslim. Tujuan jihad adalah untuk mengantarkan manusia dari kegelapan kezaliman menuju cahaya Islam. Target jihad adalah memuliakan suatu bangsa dengan Islam, yaitu membebaskan dari berbagai kezaliman berupa menyembah/taat kepada manusia, menuju taat pada Allah semata.
Jihad bukan untuk menjajah dan menguasai SDA suatu negeri. Buktinya, khilafah Islamiah melakukan fatah (penaklukan) di negeri yang kaya maupun miskin (seperti di Afrika). Kemuliaan jihad ini sebagaimana disebutkan dalam QS al-Baqarah: 193, “Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata.”
Imam ath-Thabari menafsirkan, “Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, yakni sehingga tidak ada yang menyekutukan Allah; atau tidak ada yang disembah, kecuali Allah; atau tidak ada ibadah kepada berhala, Tuhan-Tuhan, dan sekutu-sekutu yang lain. Yang ada hanyalah ibadah dan taat kepada Allah semata, tanpa yang lain, sebagaimana dikatakan Qotadah, Mujahid, dan Ibnu Abbas.” (Abu Ja’far Muhammmad bin Jarir ath-Thabari, al-Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, QS al-Baqarah: 193, Beirut: Dar al Kutub ‘Imiyah, 1999).
Imam Jalaluddin menafsirkan, “Jika mereka berhenti (dari kemusyrikan), janganlah engkau melampaui batas. Tidak ada permusuhan (lagi), baik dengan perang atau lainnya, kecuali terhadap orang-orang yang zalim. Dan barang siapa berhenti, tidak ada kezaliman dan permusuhan atasnya.” (Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain, QS al-Baqarah: 193, Surabaya: Syarikah Maktabah wa Mathbaah Ahmad bin Said).
Demikianlah al-Qur’an berbicara tentang jihad. Ini baru penafsiran tentang kemuliaan jihad dalam satu ayat. Masih banyak ayat dan hadis lainnya, bahkan tentang kehidupan Rasulullah ﷺ yang senantiasa berjihad. Ulama ada yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ mengikuti perang 27 kali, ulama lain mengatakan 26 kali, dan ada yang mengatakan 28 kali. Kalau dihitung rata-rata, Rasulullah ﷺ melakukan perang hingga 2-3 kali per tahun.
Oleh karenanya, sesungguhnya merekontekstualisasi adalah upaya menghilangkan sebagian ajaran Islam, sedangkan mendefinisikan jihad sebagai “bukan perang” adalah penyesatan yang berbahaya karena bertentangan dengan al-Qur’an, hadis, ijmak sahabat, dan pendapat para ulama dan fakih.
Khatimah
Setelah mengkaji secara mendalam, bisa kita simpulkan bahwa makna “jihad” adalah memerangi kekufuran dan kezaliman untuk meninggikan agama Allah. Secara empiris telah terbukti bahwa dengan kewajiban jihad, kemuliaan Islam tidak hanya dimiliki kaum muslim di Madinah, tetapi meluas ke orang-orang di jazirah Arab yang sebelumnya menyembah berhala dan diatur dengan hukum jahiliah. Mereka menjadi mulia dengan memeluk agama Islam dan diatur dengan hukum Islam. Fatah itu terus meluas hingga hampir dua pertiga dunia diterangi dengan cahaya Islam.
Bisa dibayangkan, seandainya jihad dimaknai sebatas “bersungguh-sungguh dalam beraktivitas” dan disebut menjamin adanya perdamaian dalam kebinekaan, tidak dimaknai sebagai “perang’”, tentu Indonesia tidak akan pernah merdeka dari penjajah Belanda. Begitu pula hari ini ketika Zionis Israel menduduki Palestina, tidak akan mampu terselesaikan, kecuali dengan jihad untuk mengusir penjajah.
Walakhir, makna “jihad adalah perang” telah terbukti merupakan penafsiran yang sesuai dengan ajaran Islam dan yang mampu mengantarkan pada kemuliaan Islam dan kaum muslim sehingga tidak perlu ada rekontekstualisasi ayat jihad. []
Sumber: Ustazah Rahmah
