Batasan Bertaklid dalam Satu Masalah
Tanya :
Ustadz, mohon penjelasan mengenai hukum bertaklid, bahwa tidak boleh seorang muqallid bertaklid kepada lebih dari satu orang mujtahid jika masih dalam satu masalah?
Fatih, Jakarta
Jawab :
Taqlid menurut pengertian syariah adalah mengamalkan pendapat orang lain tanpa dalil yang bersifat mengikat (bighairi hujjah mulzimah), misalnya seorang muqallid yang mengambil pendapat seorang mujtahid, atau seorang mujtahid yang mengambil pendapat mujtahid lainnya. (‘Atha Abu Rasytah, Taisir Al Wushul Ila Al Ushul, hlm. 272; Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 1/230).
Jika seorang muqallid bertaqlid kepada seorang mujtahid (misal Imam Syafi’i) dalam satu masalah (misal shalat), bolehkah muqallid itu bertaklid kepada mujtahid lainnya (misal Imam Abu Hanifah)? Jawabannya ada rincian (tafshiil) sebagai berikut: Pertama, jika muqallid itu sudah mengamalkan pendapat mujtahid yang ditaklidinya dalam satu masalah, tidak boleh muqallid itu mengikuti pendapat mujtahid lainnya. Sebab dengan pengamalannya itu maka hukum Allah yang berlaku baginya adalah hukum syara’ yang digali oleh mujtahid yang ditaklidinya. Jadi, kalau seseorang sudah mengamalkan masalah shalat menurut madzhab Imam Syafi’i, tidak boleh dia bertaklid dalam masalah shalat menurut madzhab Imam Abu Hanifah.
Kedua, jika muqallid itu belum mengamalkan pendapat mujtahid yang ditaklidinya dalam satu masalah, maka dia boleh mengikuti pendapat mujtahid lainnya dalam masalah itu. Misalkan orang yang mengikuti madzhab Syafi’i belum naik haji, maka boleh baginya pada saat dia naik haji mengikuti madzhab lain dalam masalah haji, seperti madzhab Abu Hanifah atau Ahmad bin Hanbal. (Taqiyuddin An Nabhani, Nizhamul Islam, hlm. 77; Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 1/234-235; ‘Atha Abu Rasytah, Taisir Al Wushul Ila Al Ushul, hlm. 272; Imam Al Amidi, Al Ihkam fi Usul Al Ahkam, 4/357; Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul, hlm. 272; Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, 2/1166).
Hanya saja untuk ketentuan kedua di atas, perlu diperhatikan batasan “masalah”. Menurut Syaikh ‘Atha Abu Rasytah, yang dimaksud “masalah” di sini, adalah satu perbuatan atau beberapa perbuatan yang berdiri sendiri (munqathi’ah), artinya perbuatan-perbuatan lain tidak bergantung pada perbuatan itu dalam keabsahannya. Misalnya shalat, disebut satu masalah, karena perbuatan lain misalnya haji, sah dan tidaknya haji itu tidak bergantung pada shalat.
Istilah “masalah” ini berbeda dengan istilah “bagian masalah” (juz’un min al mas`alah) yaitu satu perbuatan yang wajib diwujudkan demi keabsahan perbuatan lainnya, seperti perbuatan yang menjadi syarat atau rukun bagi perbuatan lainnya. Misalnya wudhu, tak disebut masalah, tapi bagian masalah, karena wudhu menjadi salah satu syarat shalat. Contoh lain, membaca al Fatihah, yang menjadi salah satu rukun shalat. Perbuatan yang seperti ini disebut perbuatan yang muttashilah (terkait dengan perbuatan lainnya). (‘Atha Abu Rasytah,Taisir Al Wushul Ila Al Ushul, hlm. 275; Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 1/235).
Jika seseorang bertaklid kepada seorang mujtahid dalam satu “masalah”, dia wajib bertaklid kepada mujtahid yang sama dalam seluruh “bagian masalah”. Tapi dia boleh bertaklid kepada mujtahid lain dalam “masalah” yang lain. Maka muqallid yang bertaklid kepada seorang mujtahid dalam masalah shalat, wajib baginya bertaklid kepada mujtahid yang sama dalam seluruh bagian-bagian masalah shalat, seperti wudhu, mandi janabah, tayammum, menghadap kiblat, dan rukun-rukun shalat. Jadi tidak boleh misalnya seorang laki-laki yang mengikuti madzhab Syafi’i dalam shalat, tapi mengikuti madzhab Abu Hanifah yang mengatakan menyentuh perempuan tak membatalkan wudhu, atau bahwa membaca Al Fatihah bukan rukun sholat. Namun demikian, dia boleh bertaklid kepada mujtahid lain dalam masalah lain, seperti haji. (‘Atha Abu Rasytah, Taisir Al Wushul Ila Al Ushul, hlm. 275; Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 1/235). Wallahu a’lam.