Beda Murid Salaf dengan Murid Sok Salaf
Beda Murid Salaf dengan Murid Sok Salaf
Oleh: Ali Shodiqin, Lc
Tidak diragukan lagi jika para pendahulu kita yang shalih (Salafuna Shalih) adalah generasi yang memang pantas untuk diikuti dan diteladani. Mereka adalah generasi yang masih dekat dengan masa Rasulullah SAW dimana ajaran Islam masih murni. Bahkan tiga masa mendapatkan pujian khusus dari Rasulullah SAW.
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah masaku, kemudian masa setelah mereka, kemudian masa setelah mereka”. (Muttafaq ‘Alaih)
Ya, tiga zaman itu adalah zaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Kemudian masa-masa seesudah ketiga masa emas itu akan menjadikan tiga masa ini sebagai acuan dalam mempelajari agama Islam.
Fenomena Penuntut Ilmu Zaman Sekarang
Semakin air mengalir menjauhi sumber aslinya, maka air itu akan semakin keruh. Demikian juga dengan ajaran Islam. Semakin jauh sebuah masa dengan masa Rasulullah SAW maka semakin jauh masa tersebut dengan kemurnian ajaran Islam.
Untuk mendapatkan ajaran islam yang murni, maka tidak ada jalan lain kecuali harus mengikuti para Salafus Shalih kita. Itulah yang coba untuk dilakukan oleh para penuntut ilmu di zaman sekarang. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengikuti dan menempuh jalan para Salafus Salih.
Namun masing-masing kelompok saling mengklaim bahwa kelompoknya adalah yang paling mengikuti ulama salaf. Tidak cukup sebatas klaim, bahkan terkadang ada yang menjadikan kata ‘salaf’ sebagai nama kelompoknya. Namun benarkah klaim tersebut?
Fenomena yang sering terjadi akhir-akhir ini adalah banyaknya penuntut ilmu yang baru mulai belajar ilmu tapi gayanya sudah seperti ahli ilmu. Karena merasa dirinya sebagai ahli ilmu, maka dia mensejajarkan dirinya satu level dengan ahli ilmu atau bahkan lebih tinggi dari ahli ilmu. Tidak heran jika dia mulai mengkritik dan menyalahkan pendapat-pendapat para ulama ahli ilmu. Tidak sekedar mengkritik, bahkan terkadang dia membid’ahkan pendapat para ahli ilmu yang tidak sama dengan pendapatnya. Sungguh sikap meremehkan dan tidak menghormati ulama ahli ilmu adalah musibah besar. Ada istilah populer di kalangan para ulama dan para penuntut ilmu.
إِنَّ لُحُوْمَ الْعُلَمَاء مَسْمُوْمَةٌ
“Sesungguhnya dagingnya para ulama itu beracun”
Sudah selayaknya sikap yang harus dimiliki oleh para penuntut ilmu adalah menghormati para ulama. Bukan malah meremehkan dan menjelek-jelekkan para ulama. Disamping hal tersebut akan menghilangkan keberkahan ilmunya, bahkan hal tersebut bisa menimbulkan bencana, atau istilah para santri adalah mendatangkan ‘kualat’.
Karena sudah hilang penghormatannya terhadap para ulama, biasanya model penuntut ilmu seperti ini sangat suka jika ada ulama yang berselisih pendapat dengan ulama lainnya. Bukannya mencari titik temu, biasanya mereka malah membenturkan pendapat ulama yang satu dengan ulama lainnya. Jelas mereka akan mendukung pendapat ulama dari kelompoknya dan menjelek-jelekkan ulama dari kelompok lainnya. Bahkan yang sangat keterlaluan, mereka biasanya memberikan gelar-gelar yang tidak pantas pada ulama yang menyelisihi kelompoknya.
Beginilah Ulama Salaf Menuntut Ilmu
Muwaffaq al-Makki meriwayatkan sebuah riwayat dari Abdullah ibn al-Mubarak, dia berkata: Saya pergi ke Syam untuk mendatangi Imam al-Auza’i dan saya mendapatinya berada di kota Beirut. Dia berkata: Wahai orang Khurasan, siapakah ahli bid’ah yang ada di kota Kufah yang dikenal sebagai Abu Hanifah?
Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh Abdullah ibn al-Mubarak ketika Imam al-Auza’i menyebut Imam Abu Hanifah sebagai ahli bid’ah? Apakah dia akan menggunakan perkataan Imam al-Auza’i itu untuk meremehkan dan menjelek-jelekkan Imam Abu Hanifah? Tidak. Bukan itu yang beliau lakukan.
Beliau lantas pulang kemudian membuka kiitab-kitab Imam Abu Hanifah. Beliau pilih beberapa permasalahan dari kitab-kitab itu. Tiga hari beliau melakukan itu. Setelah tiga hari beliau mendatangi Imam al-Auza’i dengan membawa kitab Imam Abu Hanifah.
Imam al-Auza’i membaca kitab tersebut kemudian bertanya kepada Abdullah ibn al-Mubarak: Wahai orang Khurasan, Siapakah an-Nu’man ibn Tsabit? Beliau menjawab: Dia adalah seorang syaikh yang saya temui di Iraq. Imam al-Auza’i berkata: Dia adalah salah seorang syaikh yang mulia, pergilah dan belajarlah banyak kamu darinya! Abdullah ibn al-Mubarak berkata: Dia adalah Imam Abu Hanifah yang engkau melarangku belajar kepadanya.
Ibnu Hatim al-Jurjani juga meriwayatkan hal yang sama dari Abdullah ibn al-Mubarak dengan tambahan di akhir riwayatnya bahwa imam Abu Hanifah bertemu dengan Imam al-Auza’i di lota Makkah, kemudian keduanya mengadakan pertemuan.
Abdullah ibn al-Mubarak menuturkan: Maka saya melihatnya berdiskusi dengan Imam Abu Hanifah tentang beberapa permasalahan yang sudah saya tulis di sebuah kertas. Dan saya juga melihat Imam Abu Hanifah menjawab permasalahan-permasalahan itu lebih banyak dari apa yang sudah saya tulis.
Ketika keduanya berpisah, saya menghampiri Imam al-Auza’i kemudian dia mengatakan: Saya kagum terhadap banyaknya ilmu orang ini dan kekuatan akalnya. Saya juga meminta ampun kepada Allah karena saya telah salah, ikutilah orang itu karena kabar yang sampai kepadaku tidak seperti yang sebenarnya.
Itulah akhlak para ulama salaf dalam menuntut ilmu. Mereka tidak suka untuk mengadu sesama ulama. Bahkan mereka berusaha mencari titik temu untuk meluruskan berita tentang seorang ulama dan mendamaikan di antara keduanya. Adakah akhlak para penuntut ilmu yang katanya mengikuti salaf seperti itu?
Kesalahan Urutan dalam Menuntut Ilmu
Kebanyakan para penuntut ilmu hanya fokus mempelajari ilmu tapi tidak belajar bagaimana adab menuntut ilmu dan akhlak sebagai seorang penuntut ilmu. Bahkan terkadang oleh sebagian ustadznya memang tidak diajarkan adab dan akhlak sebagai penuntut ilmu, tetapi malah langsung diajari perbedaan pendapat yang ujung-ujungnya memenangkan kelompoknya sendiri dan menjelek-jelekkan kelompok lainnya. Itulah beda penuntut ilmu di kalangan ulama salaf dengan penuntut ilmu yang ‘sok salaf’.
Memang seharusnya adab menuntut ilmu itu harus dikuasai dulu oleh para penuntut ilmu. Berikut saya kutipkan bagaimana proses belajar para ulama salaf. Beginilah ibu Imam Malik menyiapkan anaknya untuk menjadi seorang ulama besar. Imam Malik menuturkan: Dahulu ibuku menyiapkan imamahku ketika aku masih kecil sebelum aku pergi ke halaqoh-halaqoh ilmu. Maka ibuku mengatakan:
يَا مَالِك، خُذْ مِنْ شَيْخِكَ الْأَدَبَ قَبْلَ الْعِلْمِ
“Wahai Malik, ambillah dari syaikhmu adabnya sebelum ilmunya!”
Memang seharusnya waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari adab sebagai penuntut ilmu lebih panjang dari waktu untuk menuntut ilmu. Beginilah Abdullah ibn al-Mubarak menuturkan pengalamannya yang dinukil dalam kitab Ghayatun Nihayah Fii Thabaqatil Qurra’.
طَلَبْتُ الْأَدَبَ ثَلَاثِيْنَ سَنَةً، وَطَلَبْتُ الْعِلْمَ عِشْرِيْنَ سَنَةً، وَكَانُوْا يَطْلُبُوْنَ الْأَدَبَ قَبْلَ الْعِلْمِ
“Saya mempelajari adab selama tiga puluh tahun, dan saya mempelajari ilmu selama dua puluh tahun, mereka (para ulama salaf) mempelajari adab sebelum mempelajari ilmu.
Seperti itulah para ulama dalam menuntut ilmu. Mereka mempelajari adab menuntut ilmu sebelum mempelajari ilmu, karena mempelajari ilmu sebelum adab sebagai penuntut ilmu akan mendorong seseorang untuk bersikap angkuh dan sombong. Sungguh sikap seperti itu bukanlah sikap seorang ahli ilmu.
Wallahu A’lam Bish Showab