Bedanya Ilmuwan Barat dengan Ilmuwan Muslim
Bedanya Ilmuwan Barat dengan Ilmuwan Muslim
Oleh: Arsyis Musyahadah
DALAM bukunya yang berjudul History of God, Karen Armstrong mengatakan, setelah mengalami fase panjang zaman kegelapan yang disebut sebagai The Dark Ages of Europe, peradaban Barat kemudian mengembangkan filsafat ilmu sekular yang menolak keberadaan dan kehadiran Tuhan dalam seluruh aspek kehidupan. Tuhan dipandang sebagai sesuatu yang mengganggu kebebasan manusia.
Charles Robert Darwin dalam bukunya yang berjudul The Origin of Species menyimpulkan Tuhan tidak berperan dalam penciptaan.
Bagi Darwin, asal mula species bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari adaptasi kepada lingkungan.
Menurutnya, Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup. Semua species yang berbeda sebenarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Species menjadi berbeda antara satu dan yang lain disebabkan kondisi-kondisi alam.
Pemikiran ateistik ikut bergema dalam disiplin psikologi. Sigmund Freud, seorang psikolog terkemuka menegaskan doktrin-dontrin agama adalah ilusi. Agama sangat tidak sesuai dengan realitas dunia. Bukan agama, tetapi hanya karya ilmiah, satu-satunya jalan untuk membimbing ke arah ilmu pengetahuan.
Itulah fenomena yang terjadi dalam filsafat ilmu Barat. Menurut mereka, agama tidak memiliki keterkaitan dengan ilmu dan membatasi ruang gerak ilmu. Mereka menutup rapat-rapat filsafat ilmu dari sebuah doktrin agama.
Filsafat ilmu Barat yang sekular bertumpu pada akal semata dan menolak wahyu sebagai sumber ilmu telah membawa kemerosotan besar bagi manusia. Filsafat ilmu sekular inilah yang memicu kemunduran dalam dunia keilmuan saat ini. Prof. Naquib Al-Attas mencatat:
“I venture to mantain that the greatest challenge that has surreptitiously arisen in our age is the challenge of knowledge, indeed, not as against ignorance, but knowledge as conceived and disseminated throughout the world by Western civilitation.”
Bertolak belakang dengan filsafat ilmu Barat yang secara jelas menolak wahyu. Islam sebagai agama yang sempurna menjadikan wahyu sebagai sumber ilmu. Al-Qur’an menempati urutan pertama dalam hierarki sember ilmu dalam epistimologi Islam. Ilmu adalah pioner bagi seorang muslim dalam berkata dan beramal. Ilmu dibutuhkan dalam segala aspek kehidupan manusia.
Seorang guru atau orang tua harus memiliki ilmu untuk dapat mendidik anak dengan baik, nahkoda harus memiliki ilmu dan keterampilan agar ia dapat mengemudikan kapal dengan sempurna, seorang petani pun harus mempelajari ilmu tentang bercocok tanam agar ia hasilnya bermanfaat bagi orang lain, selain itu ilmu juga dibutuhkan dalam beribadah, sebagai kebutuhan hamba terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt).
Al-‘ilm adalah lawan dari al-jahl. Ilmu adalah pelita dalam setiap kegelapan. Dengan ilmu, seseorang akan terbelenggu dari kebodohan. Ilmu adalah kemuliaan yang diberikan oleh Allah Yang Mahamulia hanya kepada hamba-hamba-Nya yang mulia.
Islam sangat menghargai ilmu dan memberikan perhatian yang besar terhadap ilmu. Hal ini terlihat, kata ilmu terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak 750 kali, menempati peringkat ketiga setelah kata Allah dan Rabb. Kata ilmu juga banyak ditemukan di dalam hadits.
Allah menurunkan wahyu pertama kepada Rasulullah adalah surah al-‘Alaq yang esensinya adalah ber-iqra’. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk ber-iqra’.
Secara bahasa, iqra’ berarti bacalah. Tapi iqra’ secara istilah memiliki makna yang luas. Di antaranya, pelajarilah, renungkanlah, lihatlah dan sebagainya. Makna itu erat sekali hubungannya dengan ilmu.
Penekanan terhadap pentingnya ilmu dapat terlihat juga dari kedudukan orang-orang yang mencari, memiliki, mengajarkan dan mengamalkan ilmu. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majlis-majlis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untumu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu dengan beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Mujadalah [58]: 10).
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam (Saw) bersabda:
“Barangsiapa yang pergi menuntut ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai dia kembali.”(HR. At-Timidzi).
Bangku kuliah bukan merupakan akhir dalam pencarian ilmu bagi seseorang. Bangku sekolah atau kuliah merupakan strategi awal seseorang untuk dapat mengaplikasikan ilmunya di tengah masayarakat.Terlalu sempit jika kita mengartikan ilmu hanya diperoleh dalam bangku sekolah. Karena di langit dan bumi terdapat sejuta penciptaan Allah yang dengannya seseorang dapat mengambil ibrah dan ilmu pengetahuan.
Allah Ta’ala memberikan akal bagi setiap orang, karena dengan akal, seseorang dapat berpikir dan mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Tujuan mulia dalam pencarian ilmu tidak lain adalah mengenal Allah atau ma’rifatullah. Ilmu yang akan mengantarkan seseorang untuk menjadi khalifatullah, amanah manusia di dunia. Ilmu tanpa wahyu hanya akan menimbulkan kerusakan. Buah dari ilmu adalah al-yaqin dan al-haq bukan syak atau keragu-raguan. Seseorang yang berilmu, maka ia akan bertambah keimanannya kepada Rabb-nya. Bukan justru meragukan keberadaan Rabb-nya. Berbeda dengan ilmuwan Barat secara terang-terangan menolak keberadaan Tuhan karena keangkuhannya terhadap kebenaran.
Ilmu yang bermanfaat akan mendatangkan rasa takut kepada Allah (khasyah) sehingga ia dapat mendekatkan dirinya kepada Allah Sang Pemberi Ilmu. Hal itu sesuai dengan firman Allah:
“Sesungguhnya hanyalah yang takut kepada Allah dari hamba-Nya adalah para ulama (orang yang berilmu). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S Fathir [35]:28).
Rasa khasyah dan raja’ telah dibuktikan oleh para ulama. Di antaranya, Ibn Taimiyah, ulama bermazhab Hambali. Berulang kali beliau keluar masuk penjara, namun hal itu tak membuatnya surut untuk tetap menegakkan kalimat tauhid dalam karya-karya terbaiknya. Ibn Taimiyah dipenjara di Kairo selama satu setengah tahun karena kejujuran dan sikap heroiknya dalam memenangkan keyakinan tentang Allah yang menguji jiwa dengan iman. Hembusan-hembusan fitnah yang ditiupkan kaum munafiqin mengakibatkan dirinya mengalami tekanan berat dalam berbagai penjara, justru dihadapi dengan tabah, tenang dan gembira. Ternyata penjara baginya tidak menghalangi kejernihan pikiran dan semangat berdakwahnya. Alhasil, penjara adalah tempat terakhirnya di dunia sebelum berjumpa dengan Rabb-nya.
Hal inipun terjadi pada Sayyid Quthb, ulama dan mufasir kelahiran Mesir, 1906 M. Saat di penjara, Sayyid Quthb pernah ditawarkan bebas dari penjara dan hukuman mati, namun harus menandatangani surat permintaan maaf kepada Gamal Abdul Nasser atas dakwah tauhidnya, Quthb berkata: “Telunjuk yang senantiasa bersyahadat akan keesaan Allah dalam setiap shalat ini, menentang untuk menuliskan satu huruf sekalipun sebagai tanda ketundukan terhadap rezim yang sekular.”
Begitulah teguhnya Sayyid Quthb dalam dakwah Islam, menolak demokrasi dan rezim sekuler, barang satu goresan pena pun. Demikianlah apa yang terjadi pada ulama. Dengan kerendahan hati, mereka tidak akan menggadaikan keimanan hanya untuk mendapatkan kepentingan duniawi. Karena dalam setiap pengembaraan dan pencarian, hanya Allah yang menjadi muara. Allah adalah sejatinya tempat kembali setiap manusia. Mati syahid adalah pilihan untuk berjumpa dengan-Nya.
Oleh karena itu, sebagai Muslim, marilah kita mencari ilmu yang bermanfaat sebanyak-banyaknya dengan selalu berpegang teguh pada wahyu, al-Qur’an dan sunnah. Dengan dua hal tersebut, seseorang niscaya tetap berjalan di jalan yang lurus dan selalu bersikaptawadhu’. Ilmu menjadikan seseorang memiliki kedudukan mulia di hadapan Allah. Karena ilmu mengantarkan seseorang pada ma’rifatullah.
Mu’adz bin Jabal berkata: “Tuntutlah ilmu, karena mempelajarinya adalah sebuah kebaikan, mencarinya adalah ibadah, mendialogkannya merupakan tasbih, mengkajinya adalah jihad, mencurahkan kemampuan untuknya merupakan taqarrub. Dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya sebagai sebuah shadaqah”.*
Mahasiswi Pascasarjana UIKA Bogor