Beginilah Semestinya Adab Dalam Menyampaikan Informasi
Beginilah Semestinya Adab Dalam Menyampaikan Informasi
Oleh: Kholili Hasib
SETIAP informasi tidak harus semuanya disebarkan atau disampaikan ke semua orang. Bahkan khabar dari orang yang baik dan isinya benar (shahih) sekalipun, tidak serta merta langsung bisa dikonsumsi publik.
Dalam hal ini, ilmu musthalahul hadis mengajarkan secara ketat tentang verifikasi sebuah informasi ini. Para ulama hadis sangat teliti dan waspada dalam menerima khabar karena khawatir terjadi kesalahan.
Seperti dikisahkan, Busyair al-Adawy datang kepada Ibnu Abbas ra sambil membawa suatu riwayat hadis dan ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam bersabda…’(al-Adawy sambil membacakan hadis). Ibnu Abbas tidak mendengar dan tidak memperhatikan hadisnya. Dia pun berkata, ‘Wahai Ibnu Abbas, mengapa engkau tidak mendengarkan hadisku? Apakah engkau tidak mau mendengar hadis dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam yang aku ucapkan kepadamu’? ‘Ibnu Abbas mengatakan, ‘Kami pernah suatu ketika bila mendengar seseorang berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam bersabda…, maka mata kami segera melihatnya dan telinga kami mengengar. Namun ketika orang menempuh segala cara yang baik dan yang buruk, kami tidak mau mengambil hadis itu kecuali dari orang yang kami kenal.” (Shahih Muslim).
Pasca berkecamuknya fitnah di dalam umat Islam, para ulama lebih berhati-hati dalam menerima khabar.
Mereka lebih memperhatikan penelitian dan pengecekan terhadap sanad dan latar belakang pembawa khabar.
Seperti perkataan Ibnu Sirin: “Para ulama dahulu tidak pernah menanyakan tentang sanad, dan ketika terjadi fitnah, mereka pun mengatakan, ‘Sebutkan nama perawi-perawi kalian kepadaku!’. Sehingga setiap berita diperiksa, jika sumbernya dari Ahlus Sunnah maka diambilnya kemudian dicek lagi dan jika sumbernya berasal dari ahli bid’ah maka tidak diambilnya. Al-Qur’an mengajarkan, jika orang fasik yang membawa berita, jangan lah langsung dipercaya kecuali setelah diverifikasi,” (QS. Al-Hujarat: 6).
Adalah suatu keharusan melakukan pengecekan suatu berita, dan juga haram berpegang kepada berita orang-orang yang fasik yang banyak menimbulkan bahaya. Ayat ini mengajarkan bahwa mencari kebenaran berita serta tidak mempercayai berita yang dibawa oleh orang yang fasik yang menentang Allah.
Bukan berarti setiap khabar yang sampai harus diragukan, namun setiap informasi wajib diteliti sumbernya. Apakah memenuhi syarat bisa dipercaya. Lalu apakah isi informasinya sesuai dengan syariat atau bertentangan dengannya.
Tetapi, sebuah informasi tidak sekedar sumber dan konten (matan) yang harus diverifikasi, namun objek informasi harus diperhatikan juga dari segi kelayakan menerima, tujuan dan efeknya. Terkadang konten dan sumber sudah benar bisa dipercaya, namun objek tidak siap menerima informasinya.
Seperti diceritakan dalam suatu riwayat bahwa ketika Mu’adz bin Jabar ra mendapatkan hadis berbunyi, “Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, melainkan Allah mengharamkan baginya api Neraka”, maka Mu’adz berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah sebaiknya aku beritahukan hadis ini kepada orang banyak supaya mereka bergembira?” Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam menjawab: “Jika begitu (kau lakukan), maka mereka hanya akan mengandalkan hadis tersebut.” (HR. Muslim).
Jawaban Rasululllah tersebut menunjukkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam mengajari Mu’adz agar riwayat hadis di atas disampaikan kepada orang tertentu saja. Belum perlu disampaikan kepada orang awam, yang masih lemah imannya. Orang-orang yang masih awam justru akan meremehkan ibadah lainnya, mencukupkan diri dengan syahadat. Mereka akan berpikir cukup dengan membaca syahadat orang bisa selamat dari api neraka, meskipun tidak melakukan kewajiban-kewajiban lainnya.
Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki menjelaskan, adakalanya sebagian orang-orang yang masih bodoh menjadikan hadis semacam itu sebagai hujjah untuk meninggalkan beban kewajiban (taklif) dan menghilangkan hukum-hukum lainnya. Padahal, hujjah seperti ini menyebabkan mereka masuk neraka, bukan selamat dari neraka (Muhammad bin Alawi al-Maliki, Manhalul Lathif fi Ilmi al-Hadis, hal. 58).
Maka, sebuah info yang didapat seorang Muslim bisa saja menjadi fitnah, jika objek penerima info tersebut tidak layak menerimanya.
Dalam konteks ini Ibnu Mas’ud mengatakan: “Tidaklah engkau menceritakan sesuatu kepada suatu kaum sedang akal mereka tidak mampu menerimanya, melainkan cerita itu menimbulkan fitnah pada sebagian dari mereka.” (HR. Muslim).
Fitnah yang dimaksud adalah ancaman dan kerusakan agama. Sebuah informasi yang benar namun dikonsumsi orang tidak tepat sehingga sampai timbul kesalah-fahaman. Salah faham ini lah penyebab kekeliruan dan kesesatan.
Maka dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam bersabda: “Cukuplah seseorang itu dinyatakan bohong jika dia menceritakan semua apa yang ia dengar.” (HR. Muslim).
Petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam ini mengajarkan sikap yang ilmiah. Bahwa seseorang dilarang menceritakan semua yang ia dengar tanpa terlebih dahulu ia memahami isinya dan yakin akan kebenaran nya.
Karena itu agar sebuah informasi/khabar dan berita tidak menjadi fitnah bagi kaum Muslimin maka ada hal-hal yang harus diperhatikan.
Pertama, rujuklah sebuah berita kepada orang yang ahli, jika kita tidak memahami. Apakah layak kita konsumsi kemudian boleh disebarkan.
Kedua,pikirkan isi beritanya. Jika isi dan tujuannya baik maka bisa dikonsumsi.
Ketiga,Jika informasinya sudah dipastikan kebenarannya, maka hendaknya memikirkan efek atau akibat dari disebarkannya informasi tersebut. Apakah menambah kebaikan dakwah atau merugikannya.
Sedangkan dari sisi objek (penerima informasi), juga perlu memperhatikan kaidah dan aturan yang telah digariskan para ahli ilmu.
Di antaranya; jika beritanya menyangkut saudara Muslim, maka kedepankanlah husnudzdzan sebelum ada pembuktian sebaliknya, jika datang berita maka carilah sumber lain yang terpercaya berserta bukti-buktinya. Dan jika informasi yang disampaikan kepada kita berupa berita yang susah dipahami, maka hendaknya dikembalikan kepada orang yang ahli di bidangnya.
Karena itu, di zaman dimana media sosial menjadi konsumsi banyak orang, maka setiap khabar dan informasi harus ada tabayyun kepada sumber dan verifikasi terhadap isinya. Tidak asal sharing atau posting.
Para ulama berpendapat bahwa seorang Muslim yang menyebarkan berita tanpa tabayyun dan verifikasi hukumnya haram. Hendaknya, Muslim yang awam berdiam tidak berkomentar jika ragu atas suatu berita atau tidak faham isi beritanya. Apalagi jika berita itu berisi dusta, haram disebarkan. Sebab jika dipercaya atau disebarkan bisa menimbulkan fitnah bagi dirinya dan kaum Muslimin lainnya. Dalam konteks ini Syaikh Nawawi al-Bantani berkata: Al-Shumtu Sayyidul al-Akhlaq yang artinya “Berdiam diri itu pemimpinnya akhlak (Nawawi al-Bantani, Nashoihul ‘Ibad,hal 48).*
Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya