Bicaralah dan Jangan Diam
Bicaralah dan Jangan Diam
Oleh: Farhan Akbar Muttaqi [Jurnalis, Aktivis Kajian Islam Mahasiswa UPI Bandung]
“Talk Less, Do More.” Pernah melihat slogan tersebut? Bila dimaknai, slogan tersebut memberi kesan bagi pembacanya untuk tak banyak berbicara, dan sebaliknya memperbanyak bertindak. Seolah ada pertentangan antara ‘berbicara’ dan ‘bertindak’. Berbicara dipojokkan sebagai sesuatu yang buruk, dan bertindak digaungkan sebagai sesuatu yang baik. Itulah maksud yang didapat dari slogan tersebut.
Padahal sebenarnya, bila dikaji dalam sudut pandang linguistik, berbicara dan bertindak bukanlah hal yang berlawanan. Bahkan justru keduanya merupakan hal yang saling terkait dan berkelindan. Dalam salah satu cabang kajian linguistik yang bernama Pragmatik, terdapat sebuah bahasan mengenai spech act (tindak tutur). Dalam kajian tersebut dikatakan bahwa sebenarnya tuturan—termasuk dalam pembicaraan–, hakikatnya adalah tindakan. Intinya, ketika seseorang berbicara, maka hakikatnya ia sedang bertindak.
Secara lebih sederhana, bila diltengok dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata bicara yang telah diberi imbuhan ‘ber-‘, yakni berbicara, merupakan kata yang terkategori verba. Verba sendiri lazim dikenal dengan kata kerja. Sementara kata kerja identik dengan berbagai kata yang menunjukan bahwa maknanya adalah hal-hal yang berupa tindakan.
Sayangnya, karena tak banyak orang yang memahami ini, akhirnya mereka mengalami kesalahan berpikir. Mereka akhirnya merespon kampanye talk less, do more dengan memperbanyak diam, kendati memiliki banyak hal baik untuk dibicarakan. Bahkan lebih fatal lagi, mereka bahkan menghujat orang yang banyak bicara. Tak peduli baik atau buruk yang dibicarakannya. Karena dalam pikirannya, berbicara dianggap tak berguna.
Pembodohan dan Penjajahan
Sebagaimana diketahui, saat ini kaum Muslimin tengah mengalami keterpurukan dan membutuhkan perubahan. Dan bila ditinjau secara konseptual maupun historis, sebuah gerakan yang mendorong terciptanya perubahan selalu berawal dari pembicaraan. Dengan kata lain, di dalamnya terdapat peran besar orang orang yang banyak berbicara.
Dalam Islam sendiri, dikenal istilah dakwah. Dakwah adalah aktivitas menyeru yang ditujukan untuk mengarahkan manusia kepada jalan Islam. Dakwah adalah perkara penting yang diulang-ulang perintahnya berkali kali dalam Alquran.
Dahulu, dalam dakwahnya Rasul SAW pada faktanya kerap, bahkan sering berbicara. Para sahabat yang semula jahiliyah dan kemudian berubah akidahnya menjadi Islam adalah karena mereka mendapati orang yang berbicara tentang Islam kepadanya. Demikian halnya yang menyebabkan mereka bersemangat dan istiqamah. Itu karena Rasul SAW sering memberikan mereka nasihat yang lagi-lagi merupakan buah dari aktivitas berbicara.
Tentunya, ini belum lagi bila kita berbicara sejarah. Dalam sejarahnya, ‘kebangkitan’ golongan atau bangsa tertentu juga tak lepas dari peran mereka yang berbicara. Cendekiawan Eropa di dalam dark age, kebangkitan Jerman di masa Hittler, atau perlawanan rakyat Indonesia terhadap Belanda, dan sebagainya. Semuanya dilecutkan oleh kehadiran mereka yang berbicara. Maka tak heran bila sejarah hampir selalu mencatat bahwa “tokoh perubahan adalah tokoh yang pandai bicara.”
Dalam ranah yang paling dekat dengan kita, dapat disaksikan bahwa manusia itu bisa berubah menjadi pintar dan cerdas karena diberi ilmu oleh orang yang berbicara kepadanya. Guru guru dan para ustadz yang berniat memperbaiki umat, menjadikan berbicara sebagai sarana untuk mewujudkan niat baiknya.
Demikian seseorang yang pada mulanya tak memiliki keinginan berjuang, kemudian tiba-tiba ingin. Itupun hampir dipastikan karena peran mereka yang berbicara. Ya, kini pertanyakanlah, bisakah Anda temukan manusia atau segolongan manusia yang dapat berubah tanpa ada wasilah orang yang berbicara?
Tapi tentu, dalam Islam, bicara tak boleh sembarang bicara. Kalau memang tak punya pembicaraan yang baik, diam lebih diutamakan. Tapi selama kita masih memiliki hal-hal yang baik, maka bicara adalah keharusan. Terlebih, dengan kenyataan bahwa umat Islam saat ini terpuruk dan memerlukan kebangkitan dengan tegaknya Khilafah Islamiyah.
Tentunya, musykil Khilafah Islamiyah dapat tegak tanpa sebelumnya dilatari kesadaran umum [wa’yul amm’] mengenai rusaknya sistem demokrasi-kapitalis, dan pentingnya keberadaan Khilafah Islamiyah di tengah-tengah kaum Muslimin.
Dan alangkah musykil pula kesadaran umum itu dapat terwujud tanpa kehadiran orang orang yang berbicara tentang hal tersebut ke tengah umat. Ya, musykil! Maka kesimpulannya, apa maksud dari kampanye talkless, do more itu? Jelas, jawabannya hanyalah pembodohan berbalut penjajahan![]