
(Foto: Defense)
Dedolarisasi, Sekoci Penyelamat dari Badai Krisis Pamungkas
MUSTANIR.net – Wacana dedolarisasi yang dihembuskan oleh negara-negara berpenduduk muslim disambut hangat oleh dunia Islam, meskipun wacana tersebut direspons secara dingin oleh beberapa negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Ide tersebut diutarakan oleh Mahathir ketika berpidato pada Kuala Lumpur Summit yang diikuti oleh 46 negara di Kuala Lumpur, Malaysia. Konferensi Tingkat Tinggi Islam ini diprakarsai oleh Malaysia, Turki dan Qatar yang bertujuan untuk saling bekerja-sama dalam mencari solusi terhadap berbagai permasalahan di dunia Islam.
Dalam konferensi tersebut, Malaysia, Iran dan Qatar mempertimbangkan dinar emas sebagai alat pembayaran internasional. Wacana tersebut tampaknya menjadi isu yang sangat urgen di tengah kekhawatiran semakin tidak stabilnya dolar AS dan terpapar fluktuasi nilainya sebagai mata uang internasional utama.
Dengan adanya kemungkinan keputusan sepihak negara barat untuk menjatuhkan sanksi, maka dedolarisasi dapat menjadi senjata ampuh negara berpenduduk muslim untuk bertahan dari embargo ekonomi yang dilancarkan oleh negara barat.
Dilansir dari cnbcindonesia.com, beberapa negara peserta konferensi tersebut memang pernah mengalami penjatuhan sanksi oleh negara-negara barat beserta aliansinya. Misalnya, Iran yang terkena sanksi Amerika Serikat (AS) karena dianggap masih terus melakukan pengembangan nuklir.
Sedangkan Qatar mengalami pemutusan hubungan diplomatik dengan sejumlah negara Arab yang menjadi aliansi AS, karena dituduh membiayai teroris.
“Keputusan sepihak dengan menjatuhkan sanksi, hal itu dapat berlaku pula pada kita,” kata Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad.
Langkah dedolarisasi tersebut merupakan salah satu terobosan yang sangat penting jika betul-betul menjadi kenyataan. Bukan saja karena adanya ancaman penjatuhan sanksi sepihak dan fluktuatifnya nilai dolar AS, tapi juga karena dapat menjadi sekoci penyelamat negara-negara di dunia Islam ketika sistem ekonomi ribawi tumbang.
Berakhirnya sistem ekonomi ribawi tersebut memang telah lama disinyalir oleh banyak pengamat di dunia Islam. Sinyalemen tersebut sangat relevan dengan kondisi ekonomi dunia saat ini yang ditopang oleh uang fiat dan utang berbunga.
Sistem uang fiat adalah proses penciptaan uang kertas dari hampa tanpa jaminan apapun dan pemberlakuan uang kertas tersebut sebagai alat tukar dengan paksaan oleh negara.
Sistem ini dijalankan oleh bank sentral yang sejatinya adalah perusahaan swasta yang mendapat monopoli dari pemerintah untuk membuat dan mengedarkan uang kertas tersebut dalam bentuk utang pemerintah.
Dengan demikian, pemerintah mengedarkan uang kertas sebagai alat tukar resmi yang berlaku di masyarakat dengan berutang ke bank sentral dan membayar utang tersebut beserta bunganya setiap tahun kepada bank sentral.
Masalahnya adalah pemerintah tidak akan pernah bisa membayar bunga dari uang yang berasal dari bank sentral tersebut karena bank sentral hanya mencetak uang kertas sebanyak jumlah utang pokok pemerintah kepada bank sentral tersebut.
Jadi, ketika utang pemerintah tersebut jatuh tempo, maka kewajiban pemerintah adalah membayar utang pokok ditambah bunganya. Sedangkan uang kertas yang tersedia hanya sebanyak yang dicetak oleh bank sentral, yaitu sebanyak utang pokok pemerintah kepada bank sentral tersebut.
Lalu bagaimana pemerintah bisa membayar bunganya sementara uang kertas yang tersedia hanya sebanyak utang pokoknya saja?
Tentu saja pemerintah tidak akan pernah bisa membayar bunga dari utang tersebut, kecuali dengan berutang kembali kepada bank sentral tersebut. Akibatnya, pemerintah tidak akan pernah bisa melunasi utangnya kepada bank sentral dan terus-menerus terjerat utang berbunga yang semakin membesar setiap tahunnya.
Inilah situasi ekonomi dunia yang dialami oleh semua negara yang menerapkan sistem uang fiat. Situasi ini juga yang sedang dihadapi oleh Amerika Serikat yang merupakan negara penerbit US Dollar yang dipakai sebagai alat pembayaran internasional.
Tercatat Amerika memiliki utang sekitar 23,17 triliun dollar AS yang terus meningkat setiap tahun (usdebtclock.org). Bayangkan jika terjadi gejolak terhadap ekonomi dunia maka akan terjadi krisis sehingga semua negara tidak mampu lagi membayar utang atau membuat utang baru untuk menjalankan roda perekonomian.
Berkaca kepada data dan fakta di atas, maka sudah sepatutnya negara-negara berpenduduk muslim untuk mengantisipasi terjadinya krisis pamungkas tersebut dengan kembali kepada dinar emas dan melakukan dedolarisasi.
Dengan demikian, gerakan dedolarisasi atau membuang dolar dan menggunakan dinar emas sebagai alat pembayaran yang sah dapat menjadi sekoci penyelamat yang akan mencegah negara-negara berpenduduk muslim terperosok ke dalam pusaran badai krisis pamungkas yang amat dahsyat tersebut. (pdlabs)
Sumber: Garda Nasional