
Untuk Apa Pejabat Disumpah di Bawah al-Qur’an Jika Ujungnya Mengkhianati?
MUSTANIR.net – Adalah pemandangan yang jamak di negeri ini saat pelantikan pejabat Muslim selalu disumpah di bawah kitab suci al-Qur’an. Namun ironisnya, isi al-Qur’an justru tidak pernah diterapkan di negeri ini.
Lantas untuk apa bersumpah di bawah al-Qur’an? Apakah al-Qur’an hanya dijadikan simbol tanpa makna? Apakah al-Qur’an hanya dianggap sebagai sekadar lembaran tanpa isi?
Padahal al-Qur’an itu berisi firman Allah yang meliputi aturan segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menyebut nama Allah dalam sumpah seorang Muslim berkonsekuensi pahala dan dosa, balasan kebaikan dan siksa. Menyebut nama Allah dalam sumpah jabatan untuk berbuat kebaikan adalah perkara berat jika dikhianatinya.
Sumber kebaikan adalah al-Qur’an yang dipakai untuk bersumpah itu. Di luar al-Qur’an adalah keburukan. Jadi, jika bersumpah dibawah al-Qur’an, lantas mengkhianati isi al-Qur’an, maka bersiaplah untuk mendapatkan murka dari Allah.
Dikutip republika.co.id, dalam buku Fikih Empat Mahzab karya Syekh Abdulrahman al-Juzairi jilid ke tiga, Imam Syafi’i menyebutkan hukum dasar sumpah adalah makruh sesuai dalam surat al-Baqarah ayat 224:
“Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa, dan menciptakan kedamaian di antara manusia. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Sumpah bisa menjadi sunnah jika bersumpah untuk mengerjakan sunnah atau untuk tidak melakukan hal makruh. Terkait membatalkan sumpah, ada lima hukumnya, menurut Imam Syafi’i:
• Pertama, hukumnya wajib ketika bersumpah untuk berbuat maksiat atau tidak mengerjakan yang wajib. Maka, wajiblah orang yang bersumpah untuk minum arak atau tidak sholat membatalkan sumpahnya dan wajib pula membayar kafarat (denda pelanggaran).
• Ke dua, hukumnya haram jika kebalikan yang barusan disebutkan, misalnya, bersumpah mengerjakan sholat fardhu atau tidak berzina. Maka, wajib baginya memenuhi sumpahnya dan haram membatalkannya.
• Ke tiga, hukumnya dianjurkan ketika bersumpah melakukan hal yang dianjurkan dan tidak melakukan hal makruh.
• Ke empat, hukumnya makruh ketika bersumpah untuk tidak melakukan hal yang dianjurkan dan mengerjakan hal makruh.
• Ke lima, hukumnya menyalahi yang terbaik (khilaful awla) ketika bersumpah untuk mengerjakan yang mubah atau tidak mengerjakannya, seperti makan dan minum. Di sini yang terbaik ialah memenuhi sumpahnya demi menjaga nama Allah.
Dalam semua keadaan tersebut, wajib baginya membayar kafarat jika membatalkannya.
Dikutip oleh muhammadiyah.or.id, Surakarta, dalam bahasa Arab, sumpah disebut dengan al-yamin atau al-hilf, yaitu kata-kata yang diucapkan dengan menggunakan nama Allah atau sifat-Nya untuk memperkuat suatu hal.
Contohnya: “Wallahi (Demi Allah), saya sudah belajar” dan “Wa’azhamatillah (Demi Keagungan Allah), saya tidak mencuri”.
“Karena sumpah menggunakan nama Allah, artinya jangan dibuat main-main. Sumpah itu harus serius mengucapkannya. Makanya, sumpah itu ada syarat-syaratnya supaya jadi bener,” kata anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Syamsul Hidayat, dalam acara Kajian Tarjih yang diselenggarakan TvMu.
Sementara itu, sumpah memiliki tiga macam:
• Pertama, sumpah lughowi, sumpah yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah.
Contohnya: “Demi Allah, kamu harus datang” dan “Demi Allah, kamu wajib makan”.
Meskipun kata-kata di atas menggunakan nama Allah, namun karena kata-kata “demi Allah” tersebut tidak dimaksudkan untuk bersumpah, tapi untuk memperkuat saja, maka hukum sumpah tersebut tidak wajib membayar kafarat dan tidak ada dosanya (QS al-Baqarah: 225)
• Ke dua, sumpah mun’aqadah, sumpah yang memang benar-benar sengaja diucapkan untuk bersumpah melakukan atau meninggalkan sesuatu hal.
Contohnya: “Demi Allah, saya akan bersedekah sebanyak satu juta rupiah” dan “Saya bersumpah demi Allah tidak akan menipumu”.
Hukum sumpah ini ialah wajib membayar kafarat jika melanggarnya (QS al-Maidah: 89).
• Ke tiga, sumpah ghamus, sumpah palsu/bohong.
Sumpah jenis ini, biasanya diucapkan untuk menipu atau mengkhianati orang lain. Sumpah palsu ini adalah salah satu dosa besar sehingga tidak ada kafaratnya atau tidak bisa ditebus dengan kafarat. Pelakunya tidak ada jalan lain kecuali bertaubat nasuha.
Dinamakan ghamus karena akan menjerumuskan pelakunya ke dalam api neraka. Jika sumpah ini menyebabkan hilangnya hak-hak, maka hak-hak tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya. Ini didasarkan kepada QS an-Nahl ayat 94 dan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari.
Jika pejabat bersumpah di bawah al-Qur’an untuk mengurus urusan rakyat dengan penuh amanah, lantas setelah jadi pejabat justru mengabaikan rakyat bahkan berbuat maksiat seperti korupsi, maka selain telah mengkhianati rakyat, juga mengkhianati sumpahnya sendiri yang berarti mengkhianati Allah.
Sistem demokrasi sekuler akan menjerumuskan para pejabat untuk mengkhianati rakyat dan mengkhianati Allah. Sulit menemukan pejabat yang jujur dan amanah dalam sistem demokrasi sekuler, sebab sejak pemilihan, praktik-praktik curang telah menjadi ritualnya. Demokrasi adalah politik berbiaya besar, maka hanya orang-orang yang punya duitlah yang bisa menjadi pejabat.
Kondisi inilah yang justru telah menjadi bumerang bagi para pejabat. Berbagai bentuk kecurangan menjadi semacam budaya dalam demokrasi sekuler. Bahkan tak jarang para pejabat mendatangi dukun dengan harapan bisa menjadi pejabat. Karena itu bisa jadi sumpah jabatan di bawah al-Qur’an itu hanyalah tipu-tipu belaka. Sebab faktanya setelah bersumpah justru isi al-Qur’an tidak pernah diterapkan di negeri ini.
Lebih ironis lagi, justru al-Qur’an dan ajaran Islam dituduh sebagai sumber radikalisme dan terorisme. Para ulama pejuang Islam justru dikriminalisasi. Umat Islam yang berjuang agar diterapkan al-Qur’an secara kaffah di negeri ini dituduh radikal dan teroris. Lantas, buat apa mereka bersumpah di bawah al-Qur’an jika ujungnya justru mengkhianatinya? Kurang ajar! []
Sumber: Ahmad Sastra