Feminisme: Serigala Berbulu Domba
MUSTANIR.net – Lima puluh tahun yang lalu, feminis Amerika Betty Friedan, yang dianggap sebagai salah satu pendiri Feminisme modern, mengklaim dalam bukunya yang terkenal, ‘The Feminine Mystique’, bahwa jika ibu rumah tangga Amerika memulai karir seumur hidup, mereka akan lebih bahagia dan lebih sehat, memiliki pernikahan yang lebih baik, dan anak-anak mereka akan sukses.
Pesan mendasarnya, yang digemakan oleh suara-suara banyak feminis selama bertahun-tahun adalah bahwa bukan peran keibuan, melainkan pekerjaan yang dapat menawarkan kepada perempuan pemenuhan diri, nilai, dan kesuksesan sejati dalam kehidupan. Namun, prediksi semacam itu seharusnya tidak jauh dari kebenaran.
Selama beberapa dekade terakhir, telah menjadi semakin jelas bahwa konsep ‘Feminisme’, khususnya ‘Kesetaraan Gender’ yang berusaha menyetarakan hak, peran, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, telah berfungsi sebagai satu kekuatan yang paling merusak pada pernikahan, peran keibuan, dan unit keluarga.
Penyebarannya secara menyesatkan terkait dengan seruan akan hak-hak politik, ekonomi, pendidikan, dan peradilan perempuan di negara-negara dimana hak-hak ini dirampas secara zalim dari kaum perempuannya. Akibatnya, mereka yang menentang definisi ulang tentang peran gender dalam kehidupan keluarga ini secara keliru ditampilkan sebagai orang-orang yang terbelakang, ketinggalan zaman, serta mendukung ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan.
Kesetaraan gender dan ide-ide feminis lainnya juga disebarkan dengan kedok istilah manis seperti ‘pemberdayaan perempuan’, ‘hak-hak perempuan’ dan ‘keadilan gender’ untuk memikat perempuan dan masyarakat umum agar mendukung seruan mereka.
Namun, ini adalah penipuan, karena eksperimen berbahaya dalam rekayasa sosial ini mengakibatkan berbagai konsekuensi yang berbahaya dan kesengsaraan yang tak terungkapkan bagi perempuan, anak-anak mereka, dan struktur keluarga umumnya, serta masyarakat secara keseluruhan.
Ini karena, filosofi feminisme yang secara sosial merusak ini mendorong perempuan untuk secara egois mendefinisikan hak dan kewajiban mereka sendiri sesuai dengan keinginan individualistik, bukannya berdasarkan apa yang terbaik bagi perempuan, laki-laki, anak-anak, dan masyarakat.
Pendekatannya yang berpusat pada perempuan untuk mengorganisir kehidupan keluarga dan pandangannya yang berbasis gender untuk memecahkan masalah dalam masyarakat justru menyebabkan kebingungan dan perselisihan di dalam kehidupan pernikahan dan tanggung jawab orang tua, sehingga menyebabkan hak dan kesejahteraan anak-anak terabaikan, peran keibuan direndahkan, dan perempuan tidak berdaya untuk memenuhi peran vital mereka sebagai ibu dan pengurus rumah tangga.
Hal ini juga mengikis tanggung jawab laki-laki atas keluarga mereka, dan membebani kaum perempuan dengan tugas-tugas laki-laki dalam kehidupan keluarga termasuk menjadi pencari nafkah yang menempatkan tekanan yang tidak terkatakan pada mereka.
Semua ini menciptakan situasi yang jauh dari ladang emas kehidupan yang lebih bahagia, pernikahan yang lebih baik, dan pembebasan dari penindasan bagi perempuan sebagaimana dijanjikan oleh Betty Friedan dan banyak feminis lain sepertinya, bahwa semua itu akan menyertai ketika kesetaraan gender dilanggengkan di dalam unit keluarga.
Dale O’Leary, seorang jurnalis dan dosen AS, dan salah satu penentang filsafat feminis, menulis dalam bukunya, ‘Agenda Gender: Mendefinisikan Kembali Kesetaraan’:
“Kaum feminis mengklaim untuk mempromosikan kemajuan perempuan, tetapi bagi saya kaum feminis tampak memiliki gagasan yang sangat menyimpang tentang apa artinya menjadi seorang perempuan, dan bahkan gagasan yang lebih aneh tentang apa yang merupakan kemajuan.”
Banyak feminis memandang peran keibuan dan unit keluarga tradisional yang terdiri dari laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah, dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga dan pengasuh utama anak-anak, sebagai pelanggaran terhadap kesetaraan gender dan sumber utama penindasan perempuan.
Oleh karena itu, mereka berusaha untuk membongkar struktur keluarga tradisional ini sedemikian rupa sehingga pengasuhan anak, pekerjaan rumah tangga, dan pendapatan gaji/upah dibagi rata antara suami dan istri. Beberapa feminis bahkan sampai pada titik menganjurkan keluarga yang sama sekali tanpa gender.
Feminis dan penulis liberal abad ke-20, Susan Moller Okin, misalnya, berkomentar:
“Masa depan yang adil adalah masa depan yang tanpa gender.”
Memang, hari ini di beberapa negara Barat, ide-ide atau gambaran yang menyajikan peran tradisional laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga dilarang disajikan di dalam iklan atau materi pendidikan.
Ide dan filosofi feminis yang berbahaya dan cacat serius in tidak hanya menyebar di seluruh negara-negara Barat, menaburkan malapetaka pada kehidupan keluarga dan tatanan sosial masyarakat mereka, tetapi juga mempengaruhi seluruh dunia, termasuk negeri-negeri Muslim sebagai akibat dari kebijakan dan proyek-proyek kolonial serta kekuasaan oleh sistem dan pemerintahan sekuler yang memerintah dunia Muslim setelah penghancuran khilafah pada tahun 1924.
Sistem dan kepemimpinan sekuler ini memaksakan dan mempromosikan sudut pandang dan cita-cita Barat, termasuk yang diusung oleh feminisme, kepada rakyat mereka melalui konstitusi, undang-undang, media, sistem pendidikan dan inisiatif-inisiatif, misalnya seperti yang terlihat dalam Kode Status Pribadi Tunisia serta konstitusi barunya yang menetapkan kesetaraan gender penuh antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Mereka juga mengizinkan gerakan-gerakan perempuan berbasis feminis untuk beroperasi secara bebas dan tumbuh subur di dalam masyarakat mereka, menyebarkan ide-ide korup mereka kepada umat Muslim, termasuk mengubah wajah ‘Keluarga Muslim.’
Bersamaan dengan hal ini, rezim-rezim sekuler ini menganut perjanjian-perjanjian dan konvensi internasional yang secara paksa menyebarkan kesetaraan gender ke dalam hukum dan kebijakan berbagai bangsa. Misalnya, Platform Aksi Beijing, bagian dari deklarasi yang berpengaruh tentang komitmen global terhadap kesetaraan gender, diadopsi pada Konferensi Dunia Keempat PBB tentang Perempuan pada tahun 1995, yang diterima oleh banyak pemerintahan di dunia Muslim.
Platform ini, yang membentuk dasar dari banyak konvensi internasional dan banyak undang-undang nasional mengenai hak-hak perempuan, memiliki tujuan yang jelas yakni untuk mereformasi struktur unit keluarga menurut sepanjang garis kesetaraan gender.
Misalnya, Platform Beijing 245 (a) menyatakan:
“Mempromosikan pembagian tanggung jawab keluarga yang sama melalui kampanye media yang menekankan kesetaraan gender dan peran gender non-stereotip perempuan dan laki-laki dalam keluarga.”
Paragraf 181 (d) secara khusus meminta pemerintah untuk:
“Mengubah sikap yang memperkuat pembagian kerja berdasarkan gender dalam rangka mempromosikan konsep tanggung jawab keluarga bersama untuk bekerja di rumah, terutama dalam kaitannya dengan pemeliharaan anak-anak dan orang tua.”
Dan Platform Beijing 276 (d) menyatakan:
“Mengambil langkah-langkah sehingga tradisi dan agama dan berbagai ekspresinya tidak menjadi dasar diskriminasi terhadap anak-anak perempuan” –mengingat bahwa menurut kesetaraan gender, ‘diskriminasi’ adalah setiap keyakinan atau praktik yang bertentangan dengan pemerataan peran dan hak laki-laki dan perempuan, termasuk di dalam kehidupan keluarga.
Sebagai akibat dari semua ini, banyak di antara kaum Muslimin yang mengadopsi kesetaraan gender dan ide-ide feminisme lainnya, meyakini bahwa ide ini akan mengantarkan pada penghormatan dan kemajuan bagi perempuan serta peningkatan bagi negeri-negeri Muslim – secara politik, ekonomi, dan sosial.
Namun, mereka gagal memahami bahwa konsep feminisme, termasuk kesetaraan gender, yang mengusung ide bahwa perempuan harus mendefinisikan hak dan peran mereka sendiri dalam kehidupan, pada dasarnya bertentangan dengan keyakinan Islam. Hal ini karena dalam Islam, laki-laki dan perempuan tidak mendefinisikan hak, peran, dan tugas mereka berdasarkan kesetaraan atau keinginan mereka sendiri, melainkan hanya berdasarkan pada hukum Allah subhanahu wa ta’ala.
Selanjutnya, kaum Muslimah tidak mengevaluasi kesuksesannya dengan mengukur dirinya terhadap laki-laki berikut hak-hak dan tanggung jawabnya, tetapi berdasarkan pada bagaimana Penciptanya subhanahu wa ta’ala memandangnya dan sesuai dengan pemenuhan kewajiban-kewajiban yang telah Dia subhanahu wa ta’ala tetapkan untuknya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
﴿وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ۬ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَـٰلاً۬ مُّبِينً۬ا﴾
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” [QS. Al-Ahzab: 36]
Kaum Muslim yang merangkul ide-ide feminisme juga gagal untuk menyadari bahwa konsep-konsep ini lahir dari pengalaman historis yang penuh dengan ketidakadilan, penindasan, dan ketiadaan hak-hak dasar politik, ekonomi, pendidikan, dan hukum yang dialami kaum perempuan di negara-negara Barat karena hidup di bawah sistem sekuler buatan manusia yang cacat –sebuah sejarah dan pengalaman yang tidak terjadi di dalam Islam.
Mereka juga gagal untuk mengakui bahwa penghinaan kaum feminis terhadap pernikahan, peran keibuan, dan peran tradisional laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan keluarga muncul karena pandangan kaum feminis yang salah mengenai apa yang direpresentasikan oleh peran-peran ini kepada perempuan dan apa yang akan membebaskannya dari penindasan serta meningkatkan statusnya di masyarakat.
Dan akhirnya, mereka gagal untuk benar-benar memahami skala kehancuran yang disebabkan oleh kesetaraan gender dan cita-cita feminis lainnya terhadap struktur keluarga, kepada perempuan, anak-anak, dan masyarakat secara keseluruhan.[]
Sumber: Dr. Nazreen Nawaz