Ibu Adalah Madrasah Peradaban
Ibu Adalah Madrasah Peradaban
Diantara kelebihan yang diberikan Allah Swt kepada kaum wanita adalah ketika Allah Swt menjadikan rahim kaum wanita sebagai tempat untuk menyemai janin, sebelum akhirnya terlahir ke alam dunia. Ini merupakan sebuah keistimewaan sekaligus mukjizat yang luar biasa.
Kemudian, setelah janin itu sudah siap untuk hidup di alam dunia, maka Allah pun mengeluarkannya dari rahim mereka. Dan merekapun harus berjuang mati-matian mempertaruhkan nyawanya demi mendapatkan gelar tertinggi sebagai seorang ibu.
Kata “ibu” adalah sebuah gelar kehormatan yang diberikan seorang anak kepada wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Kata “ibu” merupakan kata yang paling disukai oleh sang anak, dan selalu dicari-cari ketika si pemilik gelar tidak ada disisi mereka. Bahkan bisa saja kata “ibu” ini mengusir segala bentuk kepengecutan maupun kegundahan yang menyelimuti diri sang buah hati.
Maka, tidaklah berlebihan jika dalam perjalanan sejarah seorang ibu dikenal dengan julukan “mahdul hadhoroh” atau buaian peradaban. Maksudnya, dari rahim seorang ibu inilah para arsitek peradaban lahir.dari pangkuan seorang ibu inilah para pengusung peradaban tumbuh. Dan dalam dekapan seorang ibu itulah para pengukir peradaban belajar memahami arti pengorbanan.
Ada ungkapan menarik yang semakna dengan pernyataan diatas. Diantara bunyinya, “Jika pelukan sang ibu dapat membuat anaknya merasa aman dan nyaman, niscaya anak-anak sedunia akan memiliki keberanian dan tidak mengenal kata frustasi.”
Hal itu dikarenakan peran besar seorang ibu yang menjadi tempat belajar sang anak sebelum akhirnya nanti belajar di sekolah formal. Sang anak kecil dengan lucunya mencoba untuk meniru setiap apa yang dilakukan ibunya. Awalnya ia memang hanya melihat. Namun pada saat itulah sebenarnya ia sedang mencoba untuk memahami menghafal apa yang ia lihat dari orang-orang sekelilingnya, khususnya adalah ibunya. Jika seorang ibu dengan jiwa keibuannya mampu meninstall karkater-karakter positif kedalam diri sang anak, maka ia akan tumbuh besar dengan software positif tersebut. Begitu pula sebaliknya.
Maka dari itu, Hafidh Ibrahim, salah seorang penyair besar dari negeri piramida pernah menyatakan peran besar besar seorang ibu dengan kalimatnya yang sangat dahsyat. Katanya;
Ibu adalah madrasah, jika kamu menyiapkannya
Sama halnya dengan menyiapkan para generasi yang kesatria
Ibu laksana kebun kamu telaten menyiraminya
Maka tanaman-tanamannya akan lebat dan meneduhi
Ibu adalah gurunya para guru
Diantara kisah inspiratif tentang peran besar seorang ibu dibalik kebesaran anak-anaknya adalah kisah Khansa’ bersama keempat puteranya.
Nama aslinya adalah Tamadhur binti Umar bin Harits as-Silmiyah, namun sejarah lebih akrab menyapanya dengan panggilan Khansa’. Ia termasuk kelompok mukhodromin, lantaran separoh hidupnya ia habiskan pada masa Jahiliyah dan separohnya lagi dalam Islam.
Nama Khansa’ tidak bisa dilepaskan dari khazanah ilmu kesusasteraan Arab, lantaran dirinya adalah satu-satunya penyair wanita arab yang hebat, yang kehebatannya itu diakui oleh para penyair besar di masanya maupun yang datang setelahnya. Bahkan Rasulullah Saw sendiri mengakui keindahan syairnya dan pernah memintanya untuk melantunkan syair.
Pada masa khalifah Umar bin Khattab ra, pasukan Islam yang dipimpin oleh seorang panglima besar, Sa’ad bin Abi Waqqas ra hendak berperang menuju Qadisiyah. Ketika itu Khansa’ bersama keempat buah hatinya berada dalam pasukan tersebut.
Riwayat mengatakan, ketika peperangan antara pasukan Islam dan pasukan Persia di Qadisiyah meletus, Khansa’ mengumpulkan keempat putranya dan membakar semangat mereka untuk tetap berjuang sampai darah penghabisan. Motivasinya kepada keempat buah hatinya ketika itu masih diabadikan oleh sejarah sehingga bisa menjadi pelajaran bagi kita hari ini.
“Wahai anakku! Kalian memeluk Islam sebagai orang yang taat, dan hijrah sebagai manusia pilihan. Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia! Kalian adalah anak (diasuh oleh) seorang wanita sendirian, aku tidak pernah mengkhianati bapak kalian, tidak menodai kehormatan paman kalian, dan tidak mencemari kedudukan kalian, dan juga tidak merubah nasab (garis keturunan) kalian. Kalian sudah mengetahui pahala besar yang telah disiapkan oleh Allah bagi setiap muslim yang berjuang memerangi orang-orang kafir. Dan ingatlah, bahwasanya kampung abadi (akhirat) itu jauh lebih baik daripada kampung yang fana ini. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200).
Jika esok hari kalian masih dalam keadaan selamat insya Allah, maka bergegaslah untuk memerangi musuh kalian dengan jiwa yang mendambakan kabar gembira (surga), dan mintalah pertolongan kepada Allah atas musuh-musuh-Nya. Jika kalian melihat sekiranya peperangan telah berkecamuk dan api pertempuran telah menyala-nyala, maka segeralah masuk dalam sengitnya api peperangan dan hantamlah pemimpin mereka dengan pedang kalian ketika tungku peperangan telah mendidih. Dengan begitu kalian akan mendapatkan keberuntungan dengan kekayaan dan kemuliaan di alam keabadian!”
Inilah kalimat-kalimat agung, yang keluar dari relung hati nurani seorang ibu yang bersih. Tak ada bersitan perasaan riak maupun ingin dipuji. Yang ada hanyalah pengharapan yang besar dari seorang ibu agar anak-anaknya bisa menghadap Allah Swt dalam keadaan yang mulia.
Mendengar nasehat-nasehat ibunya yang berkobar-kobar, maka jiwa-jiwa keempat putranya terbakar. Luar biasa, kemewahan dunia tak lagi memberatkan langkahnya untuk menapaki setiap tangga syahid. Keempat putra kesayangannya pun gugur satu persatu di medan perang.
Ketika kabar kematian keempat buah hatinya sampai ke telinganya, ibu yang tulus itu tidak sedikitpun merasa bersedih dan menyesalinya. Bahkan ketika itu juga sejarah segera merekam kata-kata mulia yang keluar dari mulut wanita yang agung tersebut ketika mendengar putra-putranya menghadap Allah Swt dalam keadaan syahid.
“Segala puji hanya milik Allah yang telah memuliakanku dengan syahidnya putra-putraku. Dan aku berharap kepada Tuhanku agar kelak mempertemukanku dengan mereka dalam naungan kasih sayang-Nya.”
Allahu Akbar!!!
Dari situlah sehingga Khansa’ diberi gelar sebagai “Ummu Syuhada'”, ibu para syuhada’. Namun bukan gelar sebagai Ummu Syuhada’ ini yang ia cari, melainkan keridhaan dari Allah Swt. Diberi gelar ataupun tidak adalah sama baginya, ia akan tetap memotivasi anaknya untuk tetap tegar di medan perang, dan rela melepas mereka semua pergi menuju kampung abadi dengan gelar sebagai syuhada’.
Seandainya semua ibu pada hari ini memiliki orientasi hidup dan prinsip sebagaimana Khansa’, maka kita akan melihat para pahlawan yang siap memperjuangkan Islam bertebaran di mana-mana.*** [Herfi Ghulam Faizi]