Ibu, Pantaskah Surga di Bawah Telapak Kakimu?

Ibu, Pantaskah Surga di Bawah Telapak Kakimu?

“Nak, surga di bawah telapak kaki Ibu”. Kalimat itu masih menjadi senjata andalan bagi banyak ibu, terutama jika mendapati anaknya membantah, tidak menuruti perintah atau keinginan sang ibu, atau bahkan berbuat aniaya terhadap ibu. Namun, sejumlah alasan ini membuat kita sebagai ibu perlu meraba diri, apakah surga pantas berada di bawah telapak kaki kita?

1. Ibu yang tidak mengharapkan kehadiran anaknya. Ibu ini benci, sedih, gelisah, frustasi, marah, menyesal atau bahkan mengutuk kehamilannya. Berbagai alasan dijadikannya alasan untuk menolak kehamilan. Bahkan ada yang melakukan segala macam cara untuk menghentikan kehamilan. Bagaimana mungkin sang anak yang lahir nantinya dapat mengharap surga dari ibu yang tidak mengharap kehadirannya?

2. Ibu yang tidak menjaga kehamilannya. Bisa jadi ibu ini menginginkan kehamilan, namun tidak mau tahu bagaimana menjaga kehamilannya. Ibu ini tidak menggunakan 9 bulan kesempatan yang diberikan Allah padanya untuk berkomunikasi dengan bayi yang dikandungnya. Tidak ada sentuhan tangan si ibu, tidak ada suara bacaan al Quran. Tidak ada usaha untuk memperkenalkan dan mendekatkan calon bayinya dengan Allah. Tidak ada sikap sayang atau perhatian untuk menjaga kehamilan. Dengan kata lain ibu ini mengabaikan kesehatan dirinya dan bayinya, baik kesehatan fisik maupun spiritualnya. Mungkin saja dengan kemampuannya, ibu ini telah mempersiapkan seluruh perlengkapan terbaik untuk menyambut sang bayi, namun ibu ini tidak mempersiapkan kebutuhan dasar bayinya. Yakni kesehatan jiwa yang didapat dari ibadah kepada Allah dan kesehatan fisik yang didapat dari gizi, nutrisi, pola makan, olahraga dan sebagainya. Bagaimana anak bisa mengharap surga dari ibu yang tidak mengistimewakan kehadirannya?

3. Ibu yang tidak memberi tauladan baik bagi anaknya. Sepanjang kehamilan hingga bayinya lahir dan tumbuh besar, dari anak-anak hingga dewasa, ibunya banyak berkata kotor, bergunjing, berbohong, mencela, menghina, memaki, mengumpat, mengadu domba atau bahkan memfitnah, mencuri. Ibu ini lebih banyak berbuat hina dan tercela daripada beribadah kepada Allah. Seluruh perbuatannya sepanjang hidupnya yang dapat dilihat, didengar dan dirasakan anaknya (khususnya di masa pertumbuhan sang anak) bagaikan telapak kaki yang membekas kuat di diri sang anak. Bagaimana mungkin terdapat surga di bekas telapak kaki semacam ini?

4. Ibu yang meninggalkan dan menelantarkan anaknya. Khususnya anak yang masih dalam masa pertumbuhan. Lima hingga tujuh tahun pertama kehidupan anak sangat membutuhkan ibunya untuk mengajarkan padanya tentang bagaimana melayani dirinya, mengajarkan kehidupan yang benar padanya. Dimasa itulah pembentukan karakter dan kepribadiannya. Dimasa itulah pengetahuan (yang baik maupun yang buruk) dapat melesat dengan sangat cepat dan melekat kuat di diri sang anak hingga dewasa. Ibu yang melewati masa itu tidak bersama anak akan tidak mengenal kuat anaknya, begitu pula anaknya tidak terlalu mengenal ibunya. Maka bisa dibayangkan orang dewasa selain ibunya yang dekat dan sering bertemu dengannya, pada orang itulah sang anak bercermin. Jika ibu menitipkan anaknya pada seorang yang bertakwa pada Allah dan meyakini anaknya tinggal di lingkungan yang Islami, dan ibu pergi dengan alasan yang syar’i, hal ini mungkin masih dapat diterima. Namun sebaiknya, apapun alasannya, ibu yang bijak dan beriman tidak akan tega meninggalkan anaknya dalam waktu lama di masa pertumbuhan ini.

5. Ibu yang hanya mementingkan kepentingan duniawi sang anak. Ibu ini sibuk bekerja dan mungkin juga berdoa agar anaknya tercukupi semua kebutuhan duniawinya, bahkan kalau bisa hingga sang anak dewasa. Ibu berjuang keras agar anaknya punya tabungan banyak, punya rumah, punya tanah, menyandang pakaian dan perhiasan yang membanggakan sang ibu, memiliki pekerjaan dengan penghasilan besar, memiliki jabatan tinggi, memiliki pendamping hidup yang kaya. Seringkali ibu seperti ini bahkan telah menyiapkan segala kebutuhan anaknya hingga dewasa sehingga anak tidak mampu memecahkan masalahnya sendiri saat ia dewasa. Ia tidak tahu bagaimana caranya survive dalam hidupnya karena sepanjang hidupnya ibu telah menyediakan segala sesuatunya. Ibu ini mungkin ahli ibadah, tapi ia tidak merasa perlu untuk membentuk anaknya ahli ibadah pula, tidak mempersiapkan sang anak untuk kebahagiaan akhiratnya. Tidak pernah mengingatkan anaknya untuk sholat dan ibadah lainnya. Ibu ini biasanya sudah cukup puas dengan anaknya tidak berbuat buruk pada orang lain. Bagaimana anak bisa mengharap surga dari ibu yang tidak pernah mengajarkan anaknya meraih tiket surga?

6. Ibu yang keras terhadap anaknya, baik kekerasan verbal maupun fisik. Sepanjang hidup anak (terlebih di masa pertumbuhannya), ibu ini banyak berkata dan bersikap kasar pada anaknya. Ibu ini bahkan tak segan memberikan kekerasan fisik pada anaknya. Semua masalah diselesaikan dengan kekerasan dan hukuman. Tidak ada perhatian dan kasih sayang. Tidak ada sikap lembut dan pengertian. Bagaimana anak bisa mengenal surga jika sepanjang hidupnya disuguhi neraka.

Apakah ada dalam diri kita satu kemiripan dengan contoh ibu tersebut? Betapa menyesalnya kita jika hadist nabi “Surga di bawah telapak kaki ibu”, tidak berlaku bagi kita.

Tulisan ini sengaja penulis tulis dengan sangat sederhana agar dapat dimengerti ibu dari berbagai kalangan. Ibu, sungguh panggilan itu sangat berarti besar bagi seorang perempuan. Tak selayaknya kita menyepelekan panggilan ibu dari anak-anak kita. Ibu sangat menentukan kebahagiaan dunia akhirat anaknya. Mari memperbaiki diri kita. Agar kita layak dipanggil ibu, agar surga pantas ditempatkan di bawah telapak kaki kita. (sumber)

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories