Tak Ada Kesepakatan Para Pendiri Bangsa atas Ide Pancasila
MUSTANIR.net – Sebagian kecil dari masyarakat ada yang nyinyir, menuding perjuangan penerapan syariat Islam dalam bingkai khilafah bertentangan atau menyelisihi dengan kesepakatan para pendiri bangsa (founding fathers). Ada yang menyebut, para pendiri bangsa ini telah bersepakat dengan Pancasila sebagai asas berbangsa dan bernegara.
Belum diuraikan secara rinci kesepakatan apa yang dimaksud. MPR sebagai lembaga tinggi negara (dahulu lembaga tertinggi) menyebut Pancasila bukan lagi asas, tapi pilar/penopang bersama empat pilar lainnya (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika).
Untuk nomenklatur saja belum ada kesepakatan apakah Pancasila itu asas atau pilar. Itu artinya apa yang diklaim sebagai ‘kesepakatan pendiri bangsa’ adalah dogma yang diulang-ulang agar memperoleh pembenaran.
Belum lagi versi subtansi Pancasila yang disepakati itu Pancasila versi siapa? Versi Soekarno 1 Juni 1945? Versi Piagam Jakarta 22 Juni 1945? Atau versi BPUPKI 18 Agustus 1945?
Jika merujuk Pancasila 1 Juni, maka ide dasar yang menjadi norma filosofis adalah: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Keadilan sosial, dan Ketuhanan. Soekarno secara hierarki telah memposisikan ide Ketuhanan di urutan paling buncit dalam konsepsi Pancasilanya.
Jika merujuk pada kesepakatan Pancasila 22 Juni, maka para ulama yang terlibat dalam pembahasan telah meluruskan ide dasar Pancasila, menempatkan sila Ketuhanan dengan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di urutan paling awal. Dilanjutkan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah, Pancasila versi ulama yang disepakati dalam Piagam Jakarta.
Namun Pancasila versi ulama dalam Piagam Jakarta 22 Juni, atas tekanan kaum penjajah yang paham ancaman penjajahan mereka karena eksistensi sila “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, mengkudeta Pancasila.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno mengumumkan Pancasila ‘versi kudeta’, yang menghapuskan norma “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama Pancasila, berdalih adanya ancaman disintegrasi.
Berbagai rezim penguasa membiarkan perdebatan itu menjadi diskursus intelektual dan khazanah sejarah berbangsa. Namun di era Jokowi, tangan kekuasaan memaksakan tafsir Pancasila versi 1 Juni 1945, sehingga setiap tanggal 1 Juni dirayakan sebagai hari lahir Pancasila.
Jadi, jika tidak ada kesepakatan dalam terma, substansi, dan lahirnya Pancasila, lantas Pancasila mana yang dianggap kesepakatan pendiri bangsa? Bukankah tafsir Pancasila baik substansi, kelahiran, dan normanya tidak pernah ada kesatuan pandangan? Lalu kesepakatan model apa yang diklaim harus dihormati?
Ada pun khilafah jelas ajaran Islam, dalilnya selain al-Qur’an dan as-sunnah juga ijma’ sahabat (kesepakatan para sahabat raḍiyallāhu ‘anhum). Para sahabat raḍiyallāhu ‘anhum sepeninggal Rasulullah ﷺ bermusyawarah di Saqifah bani Saidah, dan menyepakati membaiat Abu Bakar raḍiyallāhu ‘anhu sebagai khalifah dan membentuk kekhilafahan Islam untuk mengganti dan melanjutkan kepemimpinan Islam (daulah Islam) yang diwariskan Rasulullah ﷺ.
Tak ada satu pun sahabat ketika itu berbeda pendapat tentang wajibnya membaiat khalifah. Mereka juga tidak mengambil opsi negara kerajaan, kekaisaran, atau republik untuk melanjutkan kekuasaan Islam yang diwariskan Rasulullah ﷺ.
Mereka para sahabat ridwanullahu ajma’in bersepakat (ijma’) membaiat Abu Bakar raḍiyallāhu ‘anhu sebagai khalifah. Tidak ada satu pun sahabat yang berbeda pendapat atau menyelisihinya.
Jadi bagi seorang muslim, memperjuangkan syariah Islam dalam bingkai khilafah jelas memiliki hujjah yang kuat bersumber dari al-Qur’an dan as-sunnah. Bahkan memperjuangkan khilafah juga bagian dari amalan yang mengikuti kesepakatan para sahabat raḍiyallāhu ‘anhum. []
Sumber: AK Channel