Jokowi, Kenaikan Harga Beras dan Solusi Islam
Jokowi, Kenaikan Harga Beras dan Solusi Islam
Presiden Joko Widodo marah ketika rapat Kabinet Kerja di Istana Bogor, Jawa Barat, Ahad malam, 15 Maret lalu. Penyebabnya, ia tak menerima laporan ketika terjadi kenaikan harga beras mencapai Rp 10.300 per kilogram. Wakil Presiden Jusuf Kalla membeberkan alasan sehingga Jokowi marah. [Baca: Solusi Islam Atasi Krisis Beras]
JK, panggilan Jusuf Kalla, mengatakan melonjaknya harga beras dua pekan lalu tanpa diketahui Jokowi maupun dirinya. Ia baru mengetahuinya belakangan setelah digelar rapat dengan Badan Urusan Logistik, serta Menteri Perdagangan Rachmat Gobel. Hal tersebut yang membuat Jokowi kesal.
“Itu sebenarnya, Pak Jokowi ingin mengetahui bahwa semuanya sudah selesai. Kan sudah kembali ke normal kemarin itu,” kata JK saat diwawancarai majalah Tempo di Kantor Wakil Presiden, Kamis pekan lalu, 19 Maret 2015.
Dalam rapat kabinet terbatas di Istana Bogor, Jokowi memanggil beberapa menteri terkait dengan kenaikan harga beras di antaranya Rachmat Gobel, serta Menteri Perekonomian Sofyan Jalil. JK ikut hadir dalam pertemuan ini.
Saat itulah Jokowi menerima informasi secara detail penyebab sehingga harga beras sempat naik sekitar 25 persen dari semula Rp 7.800 per kilogram. Karena kenaikan harga beras ini, Jokowi menyindir Rachmat Gobel dan Sofyan Jalil. Kepada wartawan, keduanya ini membantah dimarahi oleh Jokowi terkait kenaikan harga beras tersebut. [Baca: Solusi Islam Atasi Krisis Beras]
Menurut JK, saat dirinya mengetahui terjadi lonjakan harga beras, ia memanggil Rachmat Gobel, dan Bulog. Dari paparan keduanya diketahui penyebab kenaikan harga beras karena penyaluran beras untuk masyarakat miskin atau raskin sebanyak 400 ribu ton dihentikan selama dua bulan.
“Di beberapa departemen timbul suatu pemikiran untuk kasih transfer uang, tidak dalam bentuk beras, padahal justru gunanya itu untuk menekan harga,” ujar JK.
Setelah mendapat laporan tersebut, JK meminta Bulog mendistribusikannya. Lalu, kata JK, berangsur-angsur harga beras kembali turun. “Mungkin menteri merasa karena sudah turun, ya sudah normal, tidak perlu dilaporkan lagi,” kata JK sambil tersenyum. [Baca: Solusi Islam Atasi Krisis Beras]
Solusi Islam Atas Kenaikan Harga
Dalam konteks solusi jangka pendek, Islam memiliki aturan yang efektif dalam mengatasi melonjaknya harga pangan, termasuk beras, yakni dengan dua cara:
Pertama, memastikan mekanisme pasar berjalan dengan sehat dan baik.
Kuncinya adalah penegakan hukum ekonomi Islam dan transaksi khususnya terkait dengan produksi, distribusi, perdagangan dan transaksi; juga dengan melarang dan menghilangkan semua distorsi pasar seperti penimbunan, penaikan atau penurunan harga yang tidak wajar untuk merusak pasar; meminimalkan informasi asimetris dengan menyediakan dan meng-up-date informasi tentang pasar, stok, perkembangan harga, dsb; pelaksanaan fungsi qadhi hisbah (hakim ketertiban publik) secara aktif dan efektif dalam memonitor transaksi di pasar; dan sebagainya. (Yahya Abdurrahman, Takrifat: Tas’îr, Jurnal Al-Wa’ie, 2012).
Salah satu penyebab kenaikan harga adalah penimbunan yang dilakukan pihak-pihak tertentu, sehingga harga pangan melonjak. Islam melarang praktek penimbunan, Rasul saw bersabda (artinya): “Siapa saja yang melakukan penimbunan, dia telah berbuat salah.” (HR. Muslim, 3012). Abu Umamah al-Bahili berkata (artinya): “Rasulullah saw melarang penimbunan makanan.” (HR. Al-Hakim, 2122; Al-Baihaqi, 10765).
Jika pedagang, importir atau siapapun menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai syariah. Di samping itu Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Rasul bersabda (artinya): “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak.” (HR. Ahmad, 19426; Al-Hakim, 2128; Al-Baihaqi, 16875).
Adanya asosiasi importir, pedagang, dan yang semisalnya, jika itu menghasilkan kesepakatan harga, maka itu termasuk intervensi dan dilarang. (Abu Muhtadi, mediaumat.com, 7/10/2013).
Kedua, menjaga keseimbangan supply and demand (penawaran dan permintaan).
Jika terjadi ketidakseimbangan supply and demand, yakni harga naik-turun dengan drastis, negara dalam Islam, melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan komoditi dari daerah lain. (Ibid).
Ini berdasarkan tindakan Khalifah Umar ra ketika terjadi musim paceklik di Madinah. Beliau mengirim surat kepada Abu Musa ra di Bashrah: “Bantulah umat Muhammad saw!” Setelah itu ia pun mengirim surat yang sama kepada ‘Amru bin al-‘Ash ra di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, meliputi makanan dan bahan pokok berupa gandum. Bantuan Amr ra dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah kemudian dari sana baru dibawa ke Makkah. (Ibnu Katsir,Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, VII/103; Ibnu Sa’ad, At-Thabaqât al-Kubra III/310-317).
Ibn Syabbah meriwayatkan dari Al-Walîd bin Muslim ra, dia berkata: “Aku telah diberitahukan oleh Abdurahmân bin Zaid bin Aslam ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa Umar ra mengizinkan ‘Amr bin ‘Ash ra untuk mengirim makanan dari Mesir ke Madinah melalui laut Ailah pada tahun paceklik” (Akhbâr al-Madînah, II/745). Dalam riwayat lain, Abu Ubaidah ra pernah datang ke Madinah membawa 4.000 hewan tunggangan yang dipenuhi makanan. Umar ra memerintahkannya untuk membagi-bagikannya di perkampungan sekitar Madinah. (Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, IV/100).
Apabila pasokan dari daerah lain juga tidak mencukupi, maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor. Impor hukumnya mubah. Ia masuk dalam keumuman kebolehan melakukan aktivitas jual beli. Allah swt berfirman: “Allah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275). Ayat ini umum, menyangkut perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Karenanya, impor bisa cepat dilakukan tanpa harus dibatasi dengan persoalan kuota. Di samping itu, semua warga negara diperbolehkan melakukan impor dan ekspor, kecuali komoditas yang dilarang karena kemaslahatan umat dan negara. Secara otomatis, kebijakan ini tentunya akan menghilangkan kemunculan para mafia beras.