Jujur, Saya Munafik

Jujur, Saya Munafik

Oleh: Arief B. Iskandar

Hanzhalah ra. pernah bertutur sebagai berikut:

Suatu hari kami menghadiri Majelis Rasulullah saw. Beliau menyampaikan nasihat kepada kami. Nasihat itu membuat hati kami lembut sehingga kami menangis mencucurkan air mata, seolah-olah kami melihat surga dan neraka, seperti yang diceritakan oleh beliau.

Sepulangnya dari Majelis Rasulullah saw., saya kembali ke rumah menemui anak-istri saya, kembali bercanda dengan anak-anak dan bercumbu dengan istri saya. Kemudian kami mulai membicarakan masalah keduniaan. Suasana di rumah berbeda sekali dengan suasana di Majelis Rasulullah saw. Saat di majelis tadi saya merasa takut. Kini saya merasa gembira. Tiba-tiba saya berkata dalam hati, “Hanzhalah, engkau kini telah menjadi munafik! Nyatanya, keadaanmu ketika berada di hadapan Rasulullah saw. jauh berbeda dengan keadaan sekarang ketika kamu berada di rumah.”

Saya merasa sangat sedih dan kecewa terhadap diri saya. Saya pun keluar rumah dan berkata, “Hanzhalah telah menjadi munafik!”

Ketika saya bertemu dengan Abu Bakar, saya terus berkata demikian. Abu Bakar berkata, “Subhanallah! Apa yang engkau katakan? Sekali-kali Hanzhalah bukanlah seorang munafik.”

Saya berkata, “Ketika saya mendengar nasihat Nabi tadi, saya merasa surga dan neraka betul-betul di hadapan saya. Namun, ketika pulang bertemu dengan keluarga, saya melupakan kampung akhirat.”

Abu Bakar ra. berkata “Kalau begitu, keadaan saya juga demikian.”

Kemudian kami berdua menghadap Rasulullah saw. Saya berkata, “Ya, Rasulullah, saya telah menjadi orang munafik!”

Nabi saw. bertanya. “Apa yang telah terjadi?”

Saya menjawab, “Ya, Rasulullah, jika kami berada di majelismu dan engkau menceritakan tentang surga dan neraka kepada kami, kami merasa takut. Namun, jika kami kembali ke rumah menjumpai anak-istri kami, bercanda dan bermain bersama mereka, kami melupakan surga dan neraka.”

Mendengar penjelasan saya, Nabi saw. bersabda, “Demi Allah Yang jiwaku ada di tangan-Nya, jika setiap saat keadaanmu seperti ketika berada di dekatku, dan terus berzikir, niscaya para malaikat akan mengucapkan salam kepadamu, baik kalian berada di atas tempat tidur maupun di jalanan. Akan tetapi, wahai Hanzalah yang demikian itu jarang terjadi.” (HR Muslim).

***

Kisah Hanzhalah dan sabda Baginda Rasulullah saw. di atas setidaknya menyiratkan satu hal: kepekaan spiritual para Sahabat, yang dalam kisah di atas direpresentasikan oleh Hanzhalah dan Abu Bakar ra. Meski apa yang dilakukan Hanzhalah ra. dengan bercanda dengan keluarga atau membicarakan keduniaan bukan perkara maksiat, hal itu telah cukup menjadikan dirinya menyesal dan kecewa. Saking kecewanya, ia menyebut dirinya munafik. Pasalnya, hal demikian dianggap kontras dengan sikapnya saat berada di sisi Baginda Nabi saw.; saat mana seolah-olah hatinya selalu terkait dengan akhirat dan sering bercucuran air mata manakala diingatkan dengan surga dan neraka oleh beliau.

Tentu, Hanzhalah ra. bukanlah seorang munafik. Sebab, apa yang dia lakukan tidaklah mencerminkan perilaku munafik. Hanya saja, Hanzhalah memiliki kepekaan spiritual yang tinggi, yang menjadikan dirinya merasa bersalah saat berperilaku berbeda dalam dua keadaan; saat bersama Rasulullah saw. dan saat tidak bersama beliau.

***

Apa yang dialami Hanzhalah dan Abu Bakar ra. tentu sering dialami oleh setiap Muslim, termasuk setiap pengemban dakwah. Saat berada dalam majelis zikir, misalnya, atau saat hadir di suatu acara training spiritual yang sarat inpirasi dan motivasi, banyak Muslim yang merasa imannya bertambah kuat; isak tangis kadang mewarnai penyesalan atas dosa-dosanya; kerinduan akan kehidupan akhirat (surga) tak jarang menjadikan dirinya merasa dekat dengan Allah SWT. Namun, setelah mereka keluar dari majelis zikir atau acara training itu, keadaannya kembali seperti sedia kala. Urusan dunia kembali nomor satu. Urusan akhirat kembali terlupakan.

Di kalangan para aktivis dakwah hal serupa tak jarang terjadi. Saat mereka hadir di dalam kajian yang dipimpin seorang yang amat mereka segani, atau saat mereka hadir di suatu majelis yang di situ ada pengarahan, ghirah dakwah yang awalnya hampir padam kembali terang; yang awalnya tidak terlalu terang kembali menyala-nyala. Namun, tidak jarang selepas dari majelis tersebut—saat kembali ke rumah, ke tempat kerja atau kembali mengurusi bisnis—ghirah itu kembali meredup, pada sebagian aktivis mungkin malah kembali padam.

Namun, berbeda dengan Hanzhalah atau Abu Bakar ra. yang sering merasa bersalah atas dua kondisi itu, kita acapkali melewati begitu saja dua kondisi demikian tanpa rasa penyesalan. Barangkali karena memang kita sudah terbiasa dengan dua kondisi di atas; karena kita sudah terbiasa dengan—meminjam istilah Hanzhalah ra.—‘kemunafikan’ tersebut.

Mengapa hal di atas bisa terjadi? Tak lain karena kegagalan kita untuk menghadirkan suasana majelis zikir, training spiritual, atau suasana kajian dan pengarahan dari qiyadah dalam kehidupan kita. Mengapa gagal? Tak lain karena selama ini fokus perhatian kita adalah dunia, bukan akhirat; perhatian utama kita adalah keluarga, kerja dan bisnis, bukan urusan dakwah dengan menyebarkan opini Islam dan merekrut para kader dakwah. Selama dunia fokus utama kita; selama keluarga, kerja dan bisnis menjadi perhatian utama kita, selama itu pula kerinduan akan akhirat tak akan terlintas dalam diri kita; ghirah dakwah pun tak akan menyala-nyala; kecuali saat kita kembali hadir di majelis zikir, di acara-acara training spiritual, dalam halaqah, atau di majelis yang di situ ada pengarahan dari qiyadah. Namun, saat fenomena itu yang terjadi, sesungguhnya ‘kemunafikan’—sekali lagi meminjam istilah Hanzhalah ra.—tetap akan menjadi bagian dari hidup kita. Jangan-jangan, inilah yang menjadikan nashrulLah terlambat datang untuk kita.

Wama tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakalna wa ilayhi nunib. []

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories