Kalau Saja Santri Mau Jujur dengan Kitabnya

993427_02322422112014_santri

Oleh : KH.Nasruddin,

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mabda’ Al Islamiy, Semarang

seorang santri mengkaji kitab Kitab Fiqih di Pesantren, biasanya, setelah membuka Kitabnya di awal bab, ia akan di ajak bicara masalah Thaharah(bersuci) yang benar menurut Hukum Syara’. Namun, ketika ia sudah nyampai pertiga akhir dari Kitab yang ia kaji, mau tidak mau, ia secara pasti akan di ajak pengarang kitab untuk membicarakan Hukum Hudud. Hukum atau aturan yg berbicara persanksian yang dipanggulkan kepada seluruh warga Negara Khilafah yang Merdeka, Mukallaf dan Berakal sehat. Santri dari jawa barat sampai jawa timur, dari zaman kiyai Hasyim sampai titik tahun ini pasti juga masih membacanya. Pertanyaan yang belum terjawab,

”UNTUK APA SEMUA ITU DI BACAKAN, DI PELAJARI DAN DI AJARKAN KEMBALI PADA GENERASI SANTRI BERIKUTNYA?. ATAUKAH ITU SEMUA DI LAKUKAN HANYA SEBAGAI ILMU “PENGETAHUAN”, YANG TIDAK MUNGKIN BISA DI LAKSANAKAN, DAN TIDAK PERLU DI UPAYAKAN PELAKSANAANNYA?”

Kalau benar begitu jawabnya, bukankah dogma “MU’ADDHABUN MIN QABLI UBBADILWATSAN” (orang Alim yang tidak mengamalkanilmunya, akan di siksa sebelum para penyembah berhala) masih juga di ajarkan? Itu artinya, di pesantren selalu di ajarkan, untuk getol mencari ilmu, dan untuk di amalkan. BUKAN UNTUK PINTER PINTERAN. Kalau saja jawaban itu benar, lalu untuk apa islam di datangkan di atas bumi ini?. Bukankah islam datang sebagai manhaj(jalan hidup) bagi seluruh manusia?.

Ataukah hukum hudud tidak termasuk bagian dari hukum syara’?. Kalau iya jawabnya, lalu kenapa ia di jadikan satu kitab dengan hukum thaharah?. Kenapa pula masih di ajarkan para kiyai kepada para santrinya. Ketahuilah, bahwa islam adalah sekumpulan konsep tentang keyakinan dan beberapa peraturan Allah untuk manusia dalam menyelesaikan seluruh masalah yang di lalui di sepanjang perjalananya dalam mengarungi samudra kehidupan ini. Kalau saja konsep yang di tawarkan Allah sudah tidak di terima, lalu kemana lagi manusia akan mencari konsep solusi dari semua masalahnya?. Perlu juga di ketahui, islam yang tinggi dan tak ada yang melebihi tingginya ini, jadi tak berarti apa apa tanpa adanya institusi yang mengawalnya. Kalau toh ada institusi, namun tidak sesuai-contohnya Demokrasi- dengan islam, tentu saja islam kondisinya tetaplah terbengkelai sebagai mana saat ini. Islam boleh hidup berkembang, namun hanya di batasi pada tataran mahdhah saja. islam hudud, islam politik, islam uqubat dan islam ekonomi, di pangkas paksa oleh sistem pemerintahan kafir yang ada sa’at ini. Sungguh islam adalah sekumpulan konsep kehidupan. Tapi, apalah bagusnya konsep tanpa institusi(khilafah) yang menerapkannya. Ia-islam- hanyalah ajaran hayali yang hanya indah di bicarakan di majlis majlis taklim, di ajarkan di pesantren, dan di pelajari di kampus kampus islam. Kalau Saja Santri Mau Bicara Jujur Dengan Kitabnya. Kalau saja para santri mau bicara jujur dengan kitab yang selama ini di pelajari, tentu ia adalah manusia garda terdepan yang siap terlibat langsung pada perjuangan tegaknya institusi islam(khilafah) ini. Tapi, jika para santri tidak memperjuangkan institusi agung ini, maka ada beberapa kemungkinan.

1. Ia belum tahu bahwa islam ini sepaket dengan institusinya

2. Ia takut resiko yang mungkin menimpanya; karena memang islam politik banyak resiko.

3. Ia mulai banyak di tunggangi kepentingan dunia yang berat baginya lepas karena perjuangan

agung ini. Atau alasan alasan lain yang belum ana sebutkan.

Baik, ini saya sertakan bagian kecil dari contoh kitab fikih yang masih di kaji di pesantren namun terbengkali karena belum adanya khilafah. Di dalam kitab “Nihaya tuzzain” pada halaman 346, Al syaih Al Allamah Muhammad Ibarahim Abi Khadhir menyampaikan hukum syara’ tentang beberapa Hukum Hudud.

ﺑﺎﺏ ﺍﻟﺤﺪﻭﺩ

ﻳﺠﻠﺪ ﺍﻱ ﻭﺟﻮﺑﺎ ﺍﻣﺎﻡ ﺍﻭ ﻧﺎﺀﺑﻪ ﺣﺮﺍ ﻣﻜﻠﻔﺎ ﻓﻌﻼ ﻛﺎﻥ ﺍﻭ ﻣﻔﻌﻮﻻ

ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻻﺧﺮ ﻏﻴﺮ ﻣﻜﻠﻒ ﺯﻧﻰ…… ﻣﺎﺀﺓ ﻭﻳﻐﺮﺏ ﻋﺎﻣﺎ ﺍﻥ ﻛﺎﻥ

ﺍﻟﺰﺍﻧﻲ

ﺑﻜﺮﺍ ….

Artinya: seorang imam/ khalifah atau Na’ibnya wajib menjilid(mendera) seratus kali dan mengasingkan selama setahun kepada orang yang berzina –baik yang melakukan atau yang di kenai perlakuan zina, dan meskipun yang satunya belum mukallaf-mukallaf, merdeka dan masih perjaka atau gadis.

Didalam kitab tersebut, dengan jelas sekali menyebut kata “ Imam (khalifah ) “ yang berkewajiban menegakkan hukum hudud; utamanya dalam hal ini adalah hukum jilid bagi pezina ghairu muhson. Jadi kalau sampai ada santri yang tiba-tiba menolak atau minimal tidak seteju ditegakknya khilafah yang didalamnya ada seorang pemimpin yang bernama khalifah/imam, namun disisi lain ia tetap mengkaji kitab tersebut maka sesungguhnya sadar atau tidak sadar ia terjerembab dalam kondisi yang membingungkan di satu sisi mewajibkan tegaknya hukum syariah di sisi lain mengingkari institusinya. Pelajaran seperti ini sampai saat ini masih selalu di bacakan para Alim kepada para santrinya. Namun, mungkinkah ini dapat di terapkan tanpa adanya khilafah?. Jawabnya tentu “TIDAK!!”. Kenapa?, karena Islam tanpa khilafah ibarat software tanpa hardware. Atau ada hardware, namun tidak cocok untuk software ini.

Karenanya, dengan tulisan ini saya mengajak para kaum santri untuk ikut terlibat langsung perjuangan agung ini. Perjuangan demi tegaknya syariah dibawah naungan khilafah.

Wallahu a’lam bisshawab.

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories