
Hukum Menjadi Alat Legitimasi dan Melindungi Kepentingan Oligarki
MUSTANIR.net – Pakar hukum tata negara Chandra Purna Irawan, SH, MH menyebut, dalam sistem sekuler, hukum menjadi alat legitimasi dan melindungi kepentingan oligarki.
“Jadi hukum itu alat legitimasi dan alat untuk melindungi kepentingan oligarki, investor, para kapitalis, agar seolah-olah aktivitas mereka itu legal, padahal ini adalah kejahatan yang dilegalkan,” tuturnya di acara Muharam Islamic Hardtalk 1446 H: ‘Hijrah-—Dari Penindasan Sekularisme Liberal Oligarki Menuju Keberkahan Islam Kafah!’, Ahad (7-7-2024).
Lebih lanjut, ia menerangkan, hukum bagi oligarki berfungsi sebagai alat memuluskan jalan. Ia memberi contoh, “Misalnya, oligarki ingin mengeksploitasi SDA atau migas, batu bara, dan lain-lain. Jika tidak ada regulasi, maka dibuatlah regulasi yang memudahkan bagi mereka untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Kalau ada regulasi yang menghambat, akan diubah. Itu fungsi hukum sehingga para oligarki itu seolah-olah menjalankan bisnisnya dengan cara legal.”
Ia menambahkan, hukum bagi oligarki berfungsi untuk melindungi, misalnya ada masyarakat yang protes karena tanahnya diambil perusahaan. “Dengan adanya regulasi bahwa perusahaan ini memiliki izin, maka siapa pun yang protes justru bisa dikriminalkan.”
Tersandera
Chandra mengulas, dalam sejarahnya, hukum itu akan tersandera karena hukum itu produk politik, produk kekuasaan.
“Oleh karena itu, siapa yang berada di panggung politik, panggung kekuasaan, ialah yang akan membuat regulasi. Mengapa demikian? Karena untuk masuk kekuasaan harus bermodal besar, dan modal besar itu ada di tangan kaum kapitalis. Mereka melakukan investasi politik dengan harapan apa yang diinginkan dari pemodal dimuluskan dengan regulasi,” imbuhnya.
Menurutnya, hukum tanpa politik hanya kata-kata sehingga hukum selalu menjadi alat untuk memuluskan jalan bisnisnya dan melindungi ketika ada pihak lain yang mempersoalkan.
“Saya berpendapat bahwa negara kita tampak bergeser menjadi negara kekuasaan (machtstaat) yang merupakan lawan dari negara hukum (rechtsstaat),” ulasnya.
Ciri-ciri dari machtstaat, jelasnya, apabila ada regulasi yang menghalangi kepentingannya, maka akan diubah. “Kalau regulasinya tidak ada, maka akan dibuat,” ucapya.
Kemudian, ungkapnya, mekanisme pembuatan UU itu mesti melibatkan masyarakat, melibatkan stakeholder, ada naskah akademik.
“Kalau mekanismenya terlalu lama, maka itu disimpangi. Contohya ketika UU Cipta Kerja diuji di MK. MK mengatakan bahwa ini inkonstitusional bersyarat karena melabrak mekanisme peraturan perundang-undangan. Tetapi karena menghambat, maka itu diubah. Akhirnya, dilakukan revisi UU berkaitan dengan mekanisme peraturan perundang-undangan itu,” pungkasnya. []
Sumber: One Ummah TV
