
Jalan Perubahan yang Ditawarkan Demokrasi adalah Jebakan
MUSTANIR.net – Mengupas proses perubahan yang ditawarkan demokrasi, pengamat politik Siti Muslikhati, S.IP, M.Si menyatakan bahwa ini adalah jebakan bagi umat Islam.
“Jalan perubahan yang ditawarkan itu merupakan bagian dari jebakan,” tegasnya dalam FGD Intelektual dan Aktivis Muslimah Indonesia: ‘Tinggalkan Demokrasi, Perjuangkan Islam Kafah untuk Perubahan Hakiki’, yang diselenggarakan secara hibrida, Ahad (7 -7-2024).
Dalam paparannya ‘Demokrasi, Jebakan Perubahan untuk Umat Islam’, ia mengulitinya dari dua sisi. “Pertama, goal dari perubahan, yakni model masyarakat ideal àla demokrasi. Ke dua, jalan perubahan yang ditawarkan demokrasi,” sebutnya.
Masyarakat Ideal àla Demokrasi
Jika dicermati, lanjutnya, masyarakat ideal ala demokrasi adalah yang melalui proses dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
“Makna ‘dari rakyat’ adalah kedaulatan bagi yang memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan standar pengaturan manusia,” ucapnya.
Karena asasnya sekuler atau memisahkan agama dari kehidupan, imbuhnya, wajar jika kedaulatan yang semula ada di tangan Tuhan menjadi di tangan manusia dan rujukan untuk menentukan kebijakan adalah rakyat.
Kemudian, terangnya, ‘oleh rakyat’ adalah pihak yang punya otoritas untuk berkuasa atau mengatur kehidupan secara riil di tengah masyarakat.
“Demokrasi menyampaikan bahwa rakyat bisa memilih dan mengangkat wakil mereka untuk menjadi otoritas yang duduk di pemerintahan atau penguasa. Otoritas ini bertugas mengolah ‘suara’ rakyat menjadi kebijakan,” tuturnya.
Namun realitasnya, ia mempertanyakan, benarkah rakyat bisa berdaulat? “Kedaulatan berkaitan dengan independensi atau tidak bergantung kepada yang lain, tetapi yang lain bergantung kepadanya. Oleh karenanya, pihak yang berdaulat mestinya pihak yang independen, netral, sekaligus tidak punya kepentingan. Ketika salah satu kriteria tidak terpenuhi, maka ia tidak dikatakan berdaulat,” paparnya.
Dalam hal ini, tambahnya, rakyat adalah manusia yang merupakan makhluk dengan sifat terbatas, yakni tergantung kepada yang lain.
“Oleh karenanya, meletakkan kedaulatan di tangan rakyat adalah sesuatu yang tidak realistis, ilusi yang tidak akan pernah terwujud,” cetusnya.
Ketika ini tidak terwujud, ungkapnya, demokrasi mengatakan agar setiap individu diberikan kebebasan untuk bisa berdaulat.
“Namun, dengan adanya ‘bola liar’ bernama kebebasan individu, yang terjadi adalah the survival of the fittest ‘yang bertahan, yang paling kuat’. Lalu, siapa yang paling kuat yang dapat terindra oleh manusia? Yaitu, yang paling banyak punya harta. Ia yang akan memenangkan pertarungan dan berdaulat, meskipun tetap bergantung kepada yang lain,” bebernya.
Selanjutnya, Siti menerangkan tentang penguasa. “Dalam logika demokrasi, penguasa adalah representasi rakyat. Memang betul bahwa dalam proses pemilu, mereka dipilih dan diangkat oleh rakyat. Namun, ketika mereka telah menjadi pihak yang berwenang mengambil di antara banyak aspirasi yang akan menjadi kekuatan yang mengikat rakyat, sesungguhnya mereka lupa dengan rakyat. Yang dikedepankan justru aspirasinya atau kepentingannya,” kritiknya.
Akhirnya, ia mengungkapkan, sekuat apa pun rakyat berdemo memprotes sebuah kebijakan, hanya bersifat ‘ramai-ramainya’ demokrasi, dan kebijakan yang ditentang pun tetap berjalan.
Selain itu, tuturnya, proses politik demokrasi di mana pun, berbiaya sangat mahal. “Tidak akan duduk di parlemen, kecuali orang yang bermodal besar. Kalau tidak bermodal, ia akan di-back up yang punya modal sehingga terjadilah ekonomisasi di panggung politik. Kebijakan yang lahir, poin penting pertimbangannya adalah kalkulasi untung rugi para decision maker,” ujarnya.
Ia menggambarkan, ketika pemegang kedaulatan yang sebenarnya adalah pemilik modal dan penguasa yang berburu rente, maka tampaklah hukum itu tidak pernah berpihak kepada rakyat, kecuali sebatas lip service.
“Masyarakat yang ideal pun tidak pernah terwujud karena pilar pentingnya tidak rasional, yaitu meletakkan kedaulatan di tangan rakyat,” kritiknya lagi.
Dalam pandangannya, semestinya kedaulatan ada pada kekuatan tertinggi yang ada di atas alam semesta ini, yakni al-Khaliq, Allah subḥānahu wa taʿālā. “Dari sini, akan ada proses yang berjalan dan standar yang dipakai,” ucapnya.
Jalan Perubahan àla Demokrasi
Lebih lanjut, Siti mengulas jalan perubahan ala demokrasi yang mesti dilakukan secara konstitusional. “Pertama, membentuk parpol. Ke dua, setelah parpol tersebut menempatkan orangnya, ia akan memiliki otoritas mengambil kebijakan sesuai yang ‘diinginkan’ rakyat,” jelasnya.
Hanya saja, ungkapnya, ketika mengikuti jalan yang ditawarkan demokrasi untuk mengubah mayarakat ideal versi demokrasi menjadi masyarakat lain, misalnya untuk menempatkan kedaulatan di tangan Allah atau ke arah Islam, memang diperbolehkan membentuk partai politik Islam.
“Namun syaratnya, —sesuai UU parpol— tidak boleh bertentangan dengan prinsip yang diemban negara tersebut,” ucapnya.
Akhirnya, ia menyayangkan, ada parpol Islam, tetapi bisa jadi belum mengadopsi pemikiran-pemikiran Islam yang tepat untuk diedukasi kepada anggotanya, seperti membangun sistem ekonomi Islam, sistem pendidikan Islam, dan seterusnya.
“Pada umumnya, mereka memiliki semangat Islam, tetapi prinsipnya tidak menuju perubahan yang mendasar,” sesalnya.
Ini karena, sambungnya, dalam mekanisme pengambilan kebijakan di legislatif, yang dipakai adalah suara mayoritas.
“Ketika, umat Islam masuk ke dalamnya dan mencoba menawarkan hukum Islam, misalnya larangan berzina, maka ada suara mayoritas yang mengatakan itu tidak bertentangan dengan UU yang sudah ada. Benarkah tidak bertentangan ketika pengambilan kebijakannya didasarkan suara mayoritas yang notabene suara manusia atau kedaulatan manusia?” tanyanya lugas.
Kalau memang UU itu tidak bertentangan atau Islami, tuturnya, apakah tertulis pada bagian ‘menimbang’ ada al-Qur’an atau Sunah?
“Jika islami, seharusnya metode yang dipakai untuk menggali hukum adalah ijtihad, yakni memahami realitas kemudian menyambungkan dengan nas-nas yang ada untuk menetapkan hukum. Bukan dengan memahami realitas, kemudian mencari suara mayoritas untuk menetapkan hukum,” imbuhnya.
Oleh karenanya, ia mengingatkan bahwa ini jebakan. “Seolah kita diberi kesempatan, tetapi kita dijebak agar terus mempertahankan demokrasi, kemudian secara perlahan dan halus untuk meninggalkan Islam,” ujarnya.
Untuk itu, tegasnya, sudah saatnya intelektual dan aktivis tidak terjebak dalam gerakan perubahan yang ditawarkan demokrasi. “Demokrasi tidak perlu diselamatkan, tidak perlu dipertahankan, dan tidak perlu dijaga. Yang harus dilakukan adalah mengganti sistem demokrasi dengan sistem Islam,” tandasnya. []
Sumber: M News
