
Konstitusi Baru Suriah: Fakta di Balik Pasal “Fikih Islam sebagai Sumber Utama Perundang-undangan”
MUSTANIR.net – Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang memiliki kekuasaan mutlak, tiada sekutu bagi-Nya. Dia menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan mensyariatkan bagi hamba-hamba-Nya apa yang Dia kehendaki. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah kepada hamba dan rasul-Nya ﷺ yang telah menyampaikan syariat-Nya dan menegakkan hujjah-Nya.
Amma ba’du:
Selama puluhan tahun lamanya, konstitusi telah mencantumkan pasal yang menyatakan bahwa “fikih Islam adalah sumber utama perundang-undangan” atau ungkapan serupa. Pernyataan serupa juga muncul dalam deklarasi konstitusi baru di Suriah sehingga banyak orang mengira bahwa pasal ini merupakan bukti “keislaman” negara Suriah yang baru atau bahwa sistem hukum sepenuhnya berlandaskan fikih Islam dan tidak bertentangan dengannya.
Namun, kenyataan yang harus disadari oleh setiap muslim adalah bahwa pasal ini hanyalah manuver licik untuk meredam keberatan kelompok-kelompok yang masih teguh berpegang pada agama, termasuk ulama, para penuntut ilmu, dan umat Islam secara luas. Mereka pun terbuai oleh teks yang tampak Islami, padahal realitasnya sangat berbeda.
Realitas Perundang-Undangan di Suriah: Sekularisme yang Dibalut dengan Kata-kata Islam
Jika kita telaah karakteristik negara Suriah sejak kemerdekaannya hingga hari ini, maka jelas bahwa Suriah adalah negara sekuler sejati, yang menerapkan hukum buatan manusia sesuai keinginan mereka. Hukum-hukum ini terutama diadaptasi dari hukum Prancis, yang mengatur hampir seluruh aspek hukum perdata, komersial, pidana, dan lainnya.
Sedangkan fikih Islam hanya digunakan dalam lingkup yang sangat terbatas, yaitu dalam tiga aspek:
1. Hukum Keluarga:
Beberapa hukum fikih diterapkan dalam masalah pernikahan, perceraian, dan warisan. Namun, dalam aspek ini pun terdapat banyak pembatasan dan modifikasi yang diberlakukan oleh hukum positif.
2. Kekosongan Hukum:
Hakim diperbolehkan merujuk kepada fikih Islam jika tidak menemukan ketentuan hukum positif yang mengatur perkara tertentu.
3. Penggunaan Simbolik:
Beberapa prinsip Islam disebutkan sebagai “dekorasi politik,” tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap hukum-hukum fundamental negara.
Dengan demikian, jelas bahwa prioritas utama bukanlah syariat Islam, tetapi hukum positif. Fikih Islam hanya digunakan jika diperlukan sebagai solusi alternatif dan bukan sebagai dasar utama perundang-undangan.
Apakah Pasal Ini Berarti Penerapan Syariat?
Sebagian orang mengira bahwa pasal ini cukup untuk membuktikan bahwa negara berlandaskan Islam. Namun, ini adalah kesalahan besar.
Penerapan syariat bukan sekadar mencantumkan frasa ambigu dalam konstitusi, melainkan menjadikannya satu-satunya sumber hukum yang mengikat. Tidak cukup hanya disebut sebagai “salah satu sumber” atau “sumber utama dalam kekosongan hukum.”
Faktanya, hakim di Suriah saat ini wajib mengikuti hukum positif meskipun hukum itu bertentangan dengan syariat Islam. Jika seorang hakim memutuskan perkara berdasarkan hukum Islam yang bertentangan dengan hukum positif, maka keputusannya dianggap tidak sah dan dibatalkan secara hukum.
Hal ini membuktikan bahwa konstitusi dan sistem hukum Suriah yang baru tetap berpegang pada sekularisme dan menggantikan syariat Islam dengan hukum positif sesuai dengan model yang diwariskan oleh penjajahan Prancis dan masih diterapkan hingga saat ini.
Perbandingan dengan Konstitusi Serupa
Sebagian orang mungkin mengatakan bahwa perubahan frasa menjadi “sumber utama” daripada “salah satu sumber” membawa makna yang lebih kuat. Namun, kenyataannya, perubahan ini tidak mengubah esensi permasalahan.
Sebagai contoh, dalam konstitusi Mesir, terdapat ketentuan yang secara eksplisit menyatakan, “Islam adalah agama negara, bahasa Arab adalah bahasa resminya, dan prinsip-prinsip syariat Islam adalah sumber utama perundang-undangan.”
Namun, realitasnya Mesir tetap merupakan negara sekuler, yang menerapkan hukum positif dan tidak menerapkan syariat Islam dalam sebagian besar aspek kehidupan. Sistem hukum dan peradilan masih mengikuti sistem hukum Barat. Hal ini membuktikan bahwa pasal-pasal seperti ini hanyalah formalitas tanpa dampak nyata terhadap sistem pemerintahan dan hukum.
Apa yang Harus Dilakukan dalam Menyikapi Fakta Ini?
Kaum muslimin di Suriah dan di seluruh dunia harus sadar akan tipu daya ini dan tidak mudah terperdaya oleh frasa yang seolah-olah menunjukkan penerapan syariat Islam, padahal hakikatnya negara tetap sekuler sepenuhnya.
1. Tanggung Jawab Ulama dan Penuntut Ilmu:
Mereka adalah pihak yang paling berkewajiban untuk mengungkap realitas ini kepada umat. Menyampaikan kebenaran adalah tugas utama mereka dan tidak boleh diam terhadap persoalan ini.
2. Tanggung Jawab Umat Islam Secara Umum:
Kaum muslimin tidak boleh membiarkan fakta diputarbalikkan. Mereka tidak boleh menerima solusi setengah hati yang hanya bertujuan untuk menipu mereka. Sebaliknya, mereka harus secara tegas menuntut penerapan syariat Islam secara menyeluruh.
3. Waspada terhadap Permainan Istilah:
Meskipun frasa dalam konstitusi diubah menjadi “sumber utama”, hal ini tetap tidak menjamin dominasi syariat Islam dalam legislasi. Faktanya, fikih Islam hanya digunakan dalam kekosongan hukum sehingga supremasi hukum tetap berada di tangan hukum positif. []
Sumber: Al-Ghufraan