
Jejak Kesultanan Banten Melawan Oligarki
MUSTANIR.net – Kesultanan Banten, salah satu kerajaan Islam terbesar yang pernah ada. Ini salah satu kesultanan yang dimusuhi kolonial Belanda. Karena divide et impera titik sentralnya berada pada wilayah kesultanan. Sebab, sejarah nusantara tak bisa lepas dari peranan kesultanan.
Tentu kesultanan adalah produk politik Islam yang sebenarnya. Sebelum modernisme dan manhaj ‘politique’ menggeliat di nusantara, kesultanan itulah jalan penerapan kekuasaan Islam. Pola yang merujuk Madinah al-Munawarah.
Oligarki VOC dan Hindia Belanda membedakan dua model kesultanan. Sejak abad 20, mereka melakukan pecah belah. Bagi sultan yang bekerja sama, akan dirangkul dan dibangunkan istana. Bagi yang melawan, mereka akan jatuhkan sebisa mungkin. Kesultanan Aceh Darussalam, Kesultanan Banten, di antara para sultan yang berada di garis memerangi oligarki Belanda sampai mati.
1808, Willem Daendels diangkat Raja Lodewijk Napoleon, adik kandung Napoleon Bonaparte, menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Program pertama Daendels adalah menyerang Kesultanan Banten. Karena Daendels paham, kesultanan adalah musuh bagi oligarki Hindia Belanda. Sejak VOC dulu, para kesultanan kerap jadi momok kaum oligark.
Daendels adalah produk Revolusi Prancis, 1789. Ini adalah perang ideologi. Pengikut Gereja Roma melawan pengikut free will. Revolusi Prancis adalah pembantaian para pengikut Gereja Roma. Raja Louis XVI dieksekusi di depan penjara Bastille. Ini pertanda berakhirnya Imperium Romanum Sacrum.
Tak ada lagi dogma ‘kehendak Tuhan’ yang diwakili raja. Karena pra Revolusi Prancis, adagiumnya ‘Vox Rei, Vox Dei.’ Suara raja, suara Tuhan. Kaum revolusioner mengkudetanya dengan ‘Vox Populi, Vox Dei.’ Kehendak manusia, itulah kehendak Tuhan. Free will. Ini ajaran dari renaissance. Era kala filsafat diadopsi kaum Eropa. Mereka memungutnya dari Mu’tazilah.
Barat menggunakan filsafat untuk menghantam dogma Roma. Massacre at Paris, 1572, pembantaian pertama di Paris. Pengikut free will dibantai oleh otoritas Roma. Revolusi 1789, gantian kaum Huguenots membantai pengikut Roma. Jadilah modernisme mencuat. Tak ada lagi agama sebagai landasan kekuasaan. Kitab suci ditanggalkan. Hukum merujuk pada reason law. Bukan lagi natural law.
Robespierre memimpin revolusi. Tapi dia lupa. Revolusi pertanda bangkitnya sekularisme. Dedengkot sekularisme, kaum oligarki bankir yang berkuasa. Karena tak ada lagi agama sebagai punggawa, di situlah oligarki berkuasa. Robespierre dikudeta. Mati.
Napoleon diangkat para oligarki. Dia memimpin P1rancis baru. Napoleon menganeksasi Kerajaan Belanda. Dia menunjuk adiknya, Lodewijk Napoleon memimpin Belanda. Lodewijk menunjuk Daendels sebagai Gubernur wilayah Hindia Belanda di Batavia.
Daendels tak memerangi Yogyakarta dan Surakarta. Karena dianggapnya mereka telah jadi sekutunya. Pasca Perang Diponegoro, Belanda jatuh bangkrut. Belgia sampai bisa merdeka. Karena Perang Jawa, yang dipimpin pengamal Tarekat Syattariyah, membuat Kerajaan Belanda kalang kabut. Mekanisme oligarkinya tak berjalan. Karena harus menghadapi perang jihad qital di Jawa dan Aceh. Tarekat Syattariyah terdepan dalam peperangan keduanya.
Karena keberadaan kesultanan, di situlah ditopang thariqah. Kisah ini juga menjejak di Kesultanan Utsmaniyah. Seluruh Sultan Utsmaniyah tentulah pengamal thariqah. Muhammad al-Fatih memiliki Mursyid Shaykh Aaq Syamsuddin. Pendiri Utsmaniyah, Orhan Ghazi, dibimbing Mursyidul Shaykh Edabali. Ertugrul, ayah Osman Ghazi, dibimbing Shaykhul al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi. Di situlah peranan thariqah menjadi fondasi sultaniyya. Karena para sultan, di-back up oleh 9 wali. Sejak modern state, head of state, malah tunduk pada ‘9 naga.’ Ini perbedaannya.
Kebesaran Islam tak bisa lepas dari peranan sufi. Kesultanan Utsmaniyah, Moghul, Aceh Darussalam, Mataram, dan lainnya, itulah wujud para sufi membangun peradaban Islam. Sejak modernisme mencuat, tassawuf dimusuhi. Modernis Islam menyerang dari dalam. Wahabisme muncul sebagai ahlul bughot yang memerangi Utsmaniyah. Hasilnya, kaum Barat memetik hasil. Negeri-negeri muslim berada dalam kekuasaan kooptasi Barat. Karena tak ada lagi Shaykhul Islam. Tak ada lagi mursyid yang mengawal sultan.
Snouck Hurgronje tahu betul. Murtadin itu membuat siasat. Umat harus dipisahkan dari tassawuf. Dia menelurkan ide, syariat harus berada di bawah hukum adat. Pola ini diterapkan di tanah Jawa. Kaum adat, kejawen, dibangkitkan. Diberi kedudukan. Kesultanan di Jawa, dikooptasi kaum kebatinan. Kaum sufi disingkirkan. Ini terjadi pasca Perang Jawa.
Karena oligarki Belanda tahu betul. Para sufi ini yang menjadi lawannya. Makanya mereka merangkul para kaum adat. Hasilnya tampak di pemakaman para Sultan Mataram di Imogiri. Tata cara ziarah tak lagi merujuk syariat Islam. Melainkan mengenakan tata cara adat. Perempuan diwajibkan berkemben ria. Malah harus mencopot jilbab. Bisa jadi Sultan Agung menangis melihat itu di alam kuburnya.
Siasat Daendels berbeda menghadapi Kesultanan Banten. Martin van Bruinessen, orientalis asal Belanda mencatat, menjelang akhir abad 19, Kesultanan Banten yang paling menonjol dalam penerapan Islam di Asia Tenggara. “Abad 19, orang-orang Banten yang paling menonjol di Makkah, baik sebagai guru dan murid,” katanya.
Snouck mencatat beberapa ulama besar. Ada Shaykh Nawawi al-Bantani, Shaykh Abdul Karim, Mursyid thariqah Qadiriyya wa Naqsyabandiyya, Haji Marzuki, H Tubagus Ismail, dan ulama lainnya, mewarnai Makkah dan kehidupan Islam di tanah Jawa dan sekitarnya. Mereka berasal dari Banten.
Bruinessen berkisah, zakat menjadi titik sentral kekayaan Kesultanan Banten. Karena zakat ditunaikan pada Sang Sultan. Ini merujuk amal ahlul Madinah. Karena sultan itulah wujud ‘ulil amri minkum.’ Di situlah locus penyerahan zakat fitrah dan mal (harta).
Era pra modernisme, kaum muslim sejak dulu sepakat ‘ulil amri’ adalah para sultan. Orang Aceh, membayar zakat pada Sultan Aceh. Orang Langkat menunaikan zakat pada Sultan Langkat. Orang Palembang juga demikian. Karena zakat itulah titik perputaran harta kaum muslimin.
Snouck dan Daendels tahu betul. Maka Daendels berusaha menghapuskan Kesultanan Banten. Karena Hindia Belanda telah membangun kerasidenan setiap wilayah. Belanda juga mengincar uang umat lewat zakat.
Daendels kemudian mengeluarkan titah. Kesultanan Banten dia bubarkan. Ini memicu perlawanan. Ahlu sufi di Banten langsung bergerak. Mereka tak terima ‘ulil amri’-nya dibubarkan. Shaykh Nuriman di Pandegelang, memimpin perlawanan. Pos-pos keresidenan Hindia Belanda diserang. Mereka tak terima titah Daendels itu. Tapi Sultan Banten, Abdul Fatah, sempat diasingkan di Kota Tua, Batavia.
Perlawanan memuncak, 1810, Sultan Banten kembali dinobatkan. Untuk menghalau perlawanan umat Banten. Tapi kemudian diperlemah. Kemudian Shaykh Mas Jakaria memimpin perlawanan juga. Dia keturunan Kyai Muhammad Santri. Beliau mursyid thariqah Syatariyya, yang mengajarkan ‘Martabat Tujuh.’ Ajaran khas Thariqah Syattariyah. Kyai Santri keturunan Raden Mas Said, pendiri Mangkunegaan di Surakarta. Dia dibesarkan dengan tassawuf.
Tahun 1813, Raflles menjadi Gubernur Hindia Belanda. Dia memaksa Sultan Banten turun tahta. Ini makin memicu amarah para sufi di Banten. Kyai Wasyid, murid dari Shaykh Abdul Karim, memimpin perlawanan di Cilegon. Tahun 1888, meledak perang di Cilegon. Ribuan ahlu Thariqah Qadiriyya wa Naqsyabandiyya turun perang. Mereka menyerang pos-pos keresidenan Belanda di Banten. Kaum sufi memimpin pergerakan melawan kolonialisme Belanda. Kini disebut kapitalisme. Karena tak terima ‘kesultanan’ dibubarkan.
Lucunya, Sartono Kartodirdjo menulis kisah perlawanan kaum sufi Banten itu sebagai ‘pemberontakan.’ Tentu dia berada pada posisi mindset kolonialis-kapitalis. Karena menganggap pejuang Banten sebagai ‘pemberontak.’
Tapi memang Belanda tak hilang akal. Mereka berusaha mengalihkan mindset umat perihal ‘ulil amri minkum.’ Ketaatan umat tak harus pada sultan. Karena ‘pemerintahan yang sah’ dianggap adalah Hindia Belanda. Ini termasuk fatwa dari Usman bin Yahya, yang diangkat mufti oleh Hindia Belanda. Alhasil umat awam berada pada kebingungan.
Pemerintah Belanda tentu mengincar uang umat. Tak adanya kesultanan, maka zakat ditarik otoritas Belanda. Karena mereka mengklaim sebagai otoritas sah, yang berwernang menarik zakat. Tujuannya tentu memanfaatkan uang umat Islam.
Bruinessen memahami betul siasat ini. Dalam analisisnya, pembubaran kesultanan oleh Belanda berdampak pada ditariknya zakat oleh pemerintah kolonial. Tanpa zakat, maka umat kehilangan ‘power and wealth’. Karena dalam zakat, di situlah letak unsur kekuasaan dan kekayaan. Kekuasaan include pada ketaatan pada ‘ulil amri minkum.’ Itulah sentral kekuasaan umat. Kekayaan, inilah unsur terpenting yang menjadi pondasi muamalah. Karena dalam zakat, di situlah ibadah dan muamalah berada dalam satu kesatuan sekaligus.
Khalifah Sayidinna Abu Bakar as-Shiddiq paham betul hal ini. Program pertama sebagai khalifah adalah menegakkan zakat. Dia mengirim 11 batalion pasukan, khusus untuk memungut zakat kepada kabilah yang enggan ditarik zakatnya. Karena dalam zakat, al-Qur’an surat at-Taubah: 103, di situlah perintah ‘qhudz!’ (tarik!). Shaykh Abdalqadir as-Sufi, ulama besar asal Eropa berkata, zakat itulah pusat kekuasaan Islam.
Karena zakat khusus untuk kaum muslimin. Sementara bagi kafir dzhimmi, diwajibkan jizya. Era kesultanan eksis, jizya tegak. Tanpa kesultanan, maka jizya menghilang. Ini pula dasar Hindia Belanda melemahkan kesultanan, agar mereka tak lagi membayar jizya pada kesultanan.
Makanya misi utama kuffar adalah meluluhlantakkan kesultanan. Mulai dari Utsmaniyah, Moghul, sampai Aceh Darussalam, kesultanan dibubarkan. Ujungnya zakat sirna, jizya pun lenyap. Modernisme malah kaum muslimin diwajibkan dengan pajak. Tentu ini digunakan untuk membayar utang state pada oligarki bankir.
Karena Napoleon pun telah terjebak. Kekuasaannya tak seberapa. Karena Napoleon dijadikan Kaisar Perancis oleh 9 naga bankir. Selepas tak ada lagi Roma, para oligarki ini yang memberi modal Napoleon. Dia dijadikan kaisar, dan diberikan 75 juta Franc emas sebagai modal. Tapi itu berbentuk utang berbunga.
Napoleon menjadikan pajak sebagai alat bayar utang bagi bankir. Itu pun Napoleon tak bisa mengontrol ekonomi Prancis. Karena para oligarki membentuk ‘Bank de France,’ bank sentral Prancis, sebagai otoritas tunggal pencetak uang bagi Prancis. Pola ini diterapkan sejak modern state hampir seantero dunia.
Menurut Dr. Ian Dallas, pasca Bretton Wood, otoritas ‘state’ nyaris lumpuh. Semuanya di bawah kendali bankir. Makanya modern state terjebak utang bunga berbunga pada rentenir bankir. Karena Prancis pun terjebak 9 naga oligarki bankir.
Di sinilah peranan kesultanan kembali diperlukan. Peranan ‘ulil amri minkum’ harus dikembalikan pada porsinya. Karena di titik itulah zakat ditunaikan. Ketika zakat kembali pada ‘sultan’ sebagai ulil amri, maka pengamalan syariat bisa dilakukan perlahan.
Tapi urusan zakat memerlukan dakwah tauhidullah. Karena umat harus kembali dibentengi aqidah kuat, merujuk ahlu Sunnah wal jama’ah. Di situlah tassawuf menjadi sentral penting pengajaran Islam. Tanpa tasawuf, tiada kesultanan. Karena tak ada sultan, tanpa mursyid. Jika sultan tanpa mursyid, maka bak syariat tanpa hakikat. Islam tak bisa tegak.
Shaykh Abdul Karim, ulama Banten telah memberikan pesan. Penegakan kembali sultaniyya menjadi prasarat ma’rifatullah. Manusia merdeka. Merdeka dari jerat kemaksiatan. Termasuk riba, utang bunga berbunga yang kini menjadi sistemik. Bahkan modern state pun terjebak di dalamnya, tanpa ada jalan keluar.
Zakat itulah titik awal sebagai jalan memerangi riba. Al-Qur’an surat al-Baqarah: 285 dan surat ar-Rum: 39 memberikan kata kunci. Ketika zakat tegak, maka riba musnah. Ketika zakat tiada, maka riba subur. Syarat restorasi zakat, di situlah peran sultan. Karena merekalah ‘ulil amri’ sejati.
Restorasi kesultanan memerlukan juga peranan besar ahlu sufi. Karena para mursyid itulah penjaga para sultan. Tanpa mursyid, sultan kehilangan pijakan. Karena tanpa mursyid, ‘pemimpin’ akan mudah terjerumus tunduk pada ‘9 naga’. Bukan merujuk ‘9 wali.’ []
Sumber: Irawan Santoso Shiddiq, SH (Advokat & Mudir Jatman DK Jakarta)