Masa Jabatan, Mutasi Dan Pemberhentian Wali

sejarah-khalifah

Masa Jabatan, Mutasi Dan Pemberhentian Wali

Wali itu adalah penguasa sebagai-mana Khalifah. Keduanya hanya berbeda posisi. Khalifah adalah wakil umat untuk memimpin seluruh kaum Muslim di seluruh dunia. Adapun wali adalah wakil Khalifah untuk memimpin suatu wilayah (provinsi).

Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam. Pertama: tentang masa jabatan seorang wali, yaitu pasal 57, yang berbunyi: “Masa jabatan seorang wali di wilayahnya tidak boleh dalam periode yang sangat lama. Seorang wali diberhentikan dari wilayah (provinsi)-nya setiap kali terlihat adanya upaya menyusun kekuatan atau menimbulkan fitnah di tengah-tengah masyarakat.”

Kedua: tentang pemutasian seorang wali, yaitu pasal 58 yang berbunyi: “Seorang wali tidak boleh dimutasi dari satu wilayah ke wilayahyang lain, karena pengangkatannya sebagai wali untuk satu tempat tertentu. Namun, seorang wali boleh diberhentikan, kemudian diangkat lagi di tempat lain.”

Ketiga: tentang pemberhentian seorang wali, yaitu pasal 59 yang berbunyi: “Wali diberhentikan jika Khalifah berpendapat untuk memberhentikannya, atau jika Majelis Umat menyatakan ketidakpuasan (ketidakrelaan) terhadap wali, atau jika Majelis Wilayah menampakkan ketidaksukaan kepada wali. Pemberhentiannya dilakukan oleh Khalifah.” (Hizbut Tahrir, Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilafah, hlm. 19).

Masa Jabatan Wali

Masa jabatan wali tidak boleh dalam periode yang sangat lama, sebagaima yang ditetapkan dalam Rancangan UUD (Masyru’ Dustur) Negara Islam pasal 57 di atas. Dalilnya adalah fakta bahwa Rasulullah saw. mengangkat seorang wali untuk satu periode, kemudian memberhentikannya. Sedikit sekali adanya seorang wali yang tetap menduduki jabatannya sepanjang masa Rasulullah saw. Memang, ada riwayat yang dinukil oleh Ibnu Abdil Bar dalam Al-Isti’ab bahwa Rasulullah saw. pernah mengangkat Utsman bin Abu al-‘Ash ats-Tsaqafi untuk menjadi wali di Thaif. Rasulullah saw. tidak memberhentikan dia selama masa hidup beliau. Bahkan jabatannya terus berlanjut pada masa Kekhilafahan Abu Bakar ash-Shiddiq ra., dan dua tahun masa Kekhilafahan Umar bin al-Khaththab ra., baru setelah itu Khalifah Umar memberhentikan dia. Dengan demikian jabatan wali yang terjadi pada Utsman bin Abu al-‘Ash ats-Tsaqafi ini merupakan jabatan yang unik dan tiada duanya.

Namun secara umum, sepanjang masa Rasulullah saw., beliau tidak mengangkat seorang wali untuk periode yang sangat lama. Ini menunjukkan bahwa seorang wali tidak diangkat untuk menduduki jabatannya selamanya, tetapi untuk satu periode tertentu, untuk kemudian diberhentikan. Ihwal membatasi periode kekuasaan seorang wali dengan periode yang lama atau tidak memang tidak didasarkan pada satu ketetapan dalil dari perbuatan Rasulullah saw. Hanya saja, secara umum Rasulullah saw. tidak mengangkat seorang wali untuk tetap memimpin suatu wilayah (provinsi) sepanjang periode masa beliau. Beliau mengangkat para wali, kemudian beliau memberhentikan mereka.

Meski demikian, boleh seorang wali diangkat dan tetap menduduki jabatannya dalam periode yang lama, seperti yang dialami oleh Utsman bin Abu al-‘Ash ats-Tsaqafi. Hanya saja, periode kekuasaan Muawiyah dalam waktu yang sangat lama sebagai wali di Syam, yaitu pada masa Kekhilafahan Umar bin al-Khaththab ra. dan Utsman bin Affan ra. telah memunculkan fitnah yang berakibat pada goyahnya entitas kaum Muslim.

Dari kasus ini dipahami bahwa periode kekuasaan seorang wali yang sangat lama di suatu wilayah (provinsi) akan menimbulkan ancaman dan bahaya bagi kaum Muslim dan negaranya. Terkait hal ini, kaidah fikih mengatakan:

لاَ ضَرَرَ وَلا ضِرَارَ

Tidak membahayakan orang lain dan tidak membahayakan dirinya sendiri.

Kaidah ini berasal dari ungkapan  hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, ad-Daruquthni dan lainnya, dari Abu Said al-Khudri, Ibnu Abbas, dan Ubadah bin ash-Shamit, secara musnad, yakni sanad-nya bersambung sampai kepada Nabi saw.; serta Malik dalam Al-Muwaththa’ secara mursal, yakni sanad-nya terputus sampai Sahabat (Az-Zarqa, Syarah al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, hlm. 165).

Kaidah ini adalah salah satu dari tiga kaidah pokok terkait ancaman dan bahaya. Kaidah ini bertujuan untuk mencegah timbulnya ancaman dan bahaya. Artinya, jika kekuasaan seorang wali di suatu wilayah (provinsi) dalam periode yang lama itu akan menimbulkan ancaman dan bahaya bagi kaum Muslim dan negaranya, maka itu harus dihindari dan dicegah. Dengan demikian, masa jabatan seorang wali tidak boleh dalam periode yang sangat lama (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 199; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 178).

Pemutasian Wali

Wali tidak boleh dimutasi dari satu wilayah ke wilayah yang lain, seperti yang ditetapkan dalam Rancangan UUD (Masyru’ Dustur) Negara Islam pasal 58 di atas. Dalilnya adalah perbuatan Rasulullah saw. yang memberhentikan para wali, sementara tidak ada satu riwayat pun yang menyatakan bahwa beliau pernah memutasi seorang wali dari satu tempat ke tempat yang lain. Selain itu, wilayah(kekuasaan) itu adalah akad sebagaimana akad-akad yang lain. Akad itu sah dan sempurna dengan ungkapan kalimat yang jelas. Dalam akad wilayah (kekuasaan) untuk suatu daerah atau negeri telah ditentukan tempat seorang wali itu akan memerintah. Ia akan tetap memiliki wewenang dan otoritas pemerintahan di tempat itu selama ia belum diberhentikan oleh Khalifah. Jika belum diberhentikan, ia tetap menjadi wali di tempat tersebut.

Jika ia dipindahkan (dimutasikan) dari tempat semula ke tempat lain, semata-mata dengan pemutasian itu ia belum diberhentikan dari tempat semula, dan belum diangkat untuk tempat yang lain itu. Sebab, memindahkan seorang wali dari tempat semula memerlukan ungkapan kalimat yang jelas, yang memberhentikan dia dari kekuasaan sebagai wali di tempat itu. Pengangkatannya sebagai wali di tempat yang baru itu juga memerlukan pada akad pengangkatan baru yang khusus berlaku untuk tempat tersebut. Dari sini dapat diambil ketentuan bahwa wali tidak bisa dipindahkan (dimutasikan) dari satu tempat ke tempat lain secara langsung. Jika wali hendak dipindah atau dimutasi ke tempat lain, maka ini membutuhkan akad pengangkatan baru. Untuk itu, ia harus diberhentikan dulu dari tempat semula, lalu diangkat untuk wilayah (kekuasaan) dan tempat yang baru (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 200; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 76; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 179).

Pemberhentian Wali

Seorang wali diberhentikan jika Khalifah memandang perlu hal itu, atau jika penduduk wilayah itu atau mereka yang menjadi wakil penduduk wilayah tersebut menampakkan ketidakrelaan dan ketidaksukaan terhadap wali mereka. Atas dasar ini, Hizbut Tahrir mengadopsi (menetapkan), hendaknya dipilih orang-orang dari penduduk suatu wilayah untuk menjadi anggota Majelis Wilayah demi dua tujuan. Pertama: untuk memberikan informasi yang selayaknya tentang realita wilayah dan kebutuhan-kebutuhan wilayah tersebut. Hal itu untuk membantu wali dalam melaksanakan tugasnya dengan bentuk yang dapat memberikan kehidupan yang tenteram dan aman bagi penduduk wilayah tersebut, juga untuk memudahkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mereka serta menyediakan pelayanan bagi mereka.

Kedua: untuk menampakkan ketidakrelaan dan pengaduan terhadap pemerintahan wali kepada penduduk wilayah itu, karena pengaduan Majelis Wilayah secara mayoritas terhadap kepemimpinan seorang wali mengharuskan pencopotan wali tersebut.

Terkait dua kewenangan tersebut, untuk yang pertama, pendapat Majelis Wilayah tidak mengikat; untuk yang kedua, pendapat Majelis Wilayah bersifat mengikat, artinya jika mayoritas anggota Majelis mengadukannya dan menunjukkan ketidaksukaannya, maka wali itu harus diberhentikan (Hizbut Tahrir,Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 198; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 152).

Dengan begitu, jika mayoritas anggota Majelis menyampaikan pengaduan,  Khalifah harus memberhentikan wali tersebut. Rasulullah saw. pernah memberhentikan al-‘Ala’ bin al-Hadhrami yang menjadi amil beliau di Bahrain karena utusan kabilah Abd Qays mengadukan dia. Kemudian posisinya itu oleh Rasulullah saw. diberikan kepada Aban bin Said bin al-‘Ash. Khalifah juga berhak memberhentikan wali tanpa suatu sebab apapun. Rasulullah saw. pernah memberhentikan Muadz bin Jabal dari jabatan wali di Yaman tanpa sebab apapun (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustu, hlm. 200; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 74; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 174).

Khalifah Umar bin al-Khaththab juga pernah memberhentikan para wali tanpa sebab apapun. Khalifah Umar memberhentikan Ziyad bin Abi Sufyan dan tidak menentukan sebabnya. Beliau pun pernah memberhentikan Saad bin Abi Waqash karena masyarakat mengadukan dia. Memang, Khalifah Umar memberhentikan Saad dari jabatannya sebagai wali di Kufah atas pengaduan masyarakatnya. Namun, Khalifah Umar menjelaskan bahwa beliau memberhentikan Saad bukan karena Saad abai terhadap kewajibannya, tidak mampu menjalankan tugasnya, atau ia berkhianat. Tidak! Terkait pemberhentian Saad bin Abi Waqash ini, beliau berkata:

إِنِّي لَمْ أَعْزِلْهُ عَنْ عَجْزٍ وَلاَخِيَانَةٍ

Aku tidak memberhentikan di karena suatu ketidakmampuan dan tidak pula karena suatu pengkhianatan.

Apa yang dilakukan oleh khalifah Umar ini sejalan dengan kaidah fikih yang mengatakan:

دَرْء الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Mencegah kerusakan didahulukan daripada menarik kemaslahatan.

Dengan kaidah ini, Saad bin Abi Waqash lebih baik diberhentikan, bahkan harus diberhentikan. Apalagi Saad adalah seorang sahabat yang mukhlis. Saat menjadi wali pun tidak ada sponsor di belakang dia sehingga tidak akan ada masalah. Adapun masyarakat yang mengadukan dia, di dalamnya ada banyak kepentingan, termasuk para provokator yang akan terus melakukan makar dan menyuarakan penentangan. Dengan demikian membiarkan Saad tetap berkuasa sama dengan membiarkan api dalam sekam.

Semua itu menunjukkan bahwa Khalifah berhak memberhentikan wali kapan saja. Khalifah wajib memberhentikan wali jika penduduk suatu wilayah mengadukan dia. Begitu juga jika wali itu diadukan oleh Majelis Umat yang mewakili penduduk di wilayah itu (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 200; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 74; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 174).

WalLahu a’lam bish-shawab. [Muhammad Bajuri]

SUMBER

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories