Masalah Rohingya Adalah Masalah Kemanusiaan Yang Besar
Masalah Rohingya Adalah Masalah Kemanusiaan Yang Besar
Munculnya kisah tragedi kemanusiaan yang terjadi di wilayah Myanmar, Burma, adalah gambaran sebuah kisah yang sangat menyedihkan, kisah suatu kaum yang seharusnya mendapatkan hak untuk hidup layak, tetapi malah diperlakukan dengan tidak semena-mena. Kebiadaban biksu Ahsin Wirathu yang mengusir etnis Rohingya dari Myanmar sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Terlebih, dirinya sering bersuara untuk mengajak pengikutnya agar memerangi kaum minoritas yang beragama Islam. Untuk diketahui jika kelompok etnis Rohingya merupakan kaum keturunan etnis Bengali, lebih spesifiknya dari sub-etnis ‘Chittagonia’ yang mayoritas tinggal di Bangladesh bagian tenggara. Adapun bangsa Burma sendiri adalah berasal dari rumpun ‘Thai-Kadal’, Austroasiatik, atau Sino-Tibetan.
Namun, permasalahan di Burma memiliki kebijakan yang berbeda, suku Rohingya tidak diakui sama sekali sebagai bagian dari masyarakat Burma, bahkan, bila perlu mereka harus diusir atau seperti yang terjadi saat ini, dibantai sebagian, agar sebagian yang lainnya dapat mengungsi karena ketakutan.
Artinya, etnis Rohingya ini, semenjak negara Burma merdeka di tahun 1942 dari pemerintahan kolonial Inggris, telah dianggap sebagai imigran gelap. Padahal, pada kenyataannya eksistensi mereka sudah ada berabad-abad sebelum Burma merdeka.
Penderitaan seperti ini kerap berangsur-angsur setiap tahunnya. Sementara itu, Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution mengatakan, dengan adanya masalah Rohingya adalah timbulnya gemuruh dalam Hak Asasi Manusia (HAM).
“Saat ini kita sudah tidak lagi melihat masalah ini sebagai lingkup nasional, tetapi juga masalah regional dan internasional yang tersambung satu sama lain. Persoalan manusia sejatinya tidak boleh dibatasi sekat-sekat administrasi teritori,” tuturnya melalui pesan singkat, Sabtu (23/5)
Lebih lanjut, Maneger khawatir jika permasalahan itu berdampak secara domino pada negara-negara tetangga khususnya Indonesia yang dahulu sempat dimayoritaskan umat Buddha. Adapun peranan Pemerintah untuk mencegah terjadinya konflik etnis.
Sebelumnya, Wajah Ashin menghias cover depan majalah Time, dan diberi judul ’The Face of Buddhist Terror’. Majalah terkemuka asal Amerika Serikat (AS) juga di dalam berita menyebut sosok Ashin Wirathu sebagai Osama Bin Laden versi Burma.
Dalam kutipanya di Time, Rabu (20/5) lalu, Ashin menyatakan jika ‘Sekarang bukan saatnya untuk diam’ Apa yang disampaikan biksu berumur 46 tahun itu merujuk kepada kekerasan yang dilakukan pada Muslim Rohingya.
Sosok Ashin itu tak hanya menarik minat Time saja, the Washington Post juga menyorot sepak terjang Ashin yang disebut sebagai pemimpin dalam pergerakan pembantaian Rohingya. “Kamu bisa saja penuh cinta dan kebaikan, tapi kamu tidak akan bisa tidur tenang di sebelah anjing gila!” papar Ashin.
Anjing gila yang dimaksud Ashin tak lain merujuk pada etnis Muslim Rohingya. Perawakannya yang tenang, pakaiannya yang sederhana, seperti biksu pada umumnya ternyata jauh bertolak belakang dengan apa yang dilakukannya. Ashin pria berkepala plontos pun tak segan-segan dengan keji menghabiskan nyawa manusia yang tak berdosa. (republika/adj)
Komentar
Ikatan nasionalisme adalah ikatan semu yang tidak memiliki dasar dalam pandangan Islam. Gagasan HAM pun bukanlah suatu motif yang shohih dalam Islam. Islam menolong muslim karena ikatan aqidah Islam. Kaum Muslimin di saudarakan oleh ikatan aqidah Islam.