Membuka Kesadaran Baru
MUSTANIR.net – Covid-19 telah mengubah tatanan sosial budaya nyaris di seluruh dunia. Learning from Home (LFH) menjadi tren. Era 4.0 datang lebih cepat. Muncul pertanyaan, sejauh mana kita siap? Bagaimana dampaknya terhadap dunia pendidikan dan juga wajah kota pendidikan seperti Yogya?
Dampak Covid-19 ini memang luar biasa. Puluhan ribu warga Yogya yang bekerja di Jabodetabek pulang kampung karena tak lagi berpenghasilan akibat PSBB. Pada saat yang sama ribuan tempat kos di Yogya kehilangan penghuni karena kebijakan LFH. Sementara itu pariwisata juga anjlok ke titik nadir. Di sinilah terasa kebutuhan hadirnya negara.
Sebuah negara wajib hadir untuk memberi keadilan dan jalan kepada rakyat meraih kemakmuran. Namun bila setiap pelanggaran harus diadili (solusi hukum), dan setiap individu miskin harus disediakan sandang-pangan-papan (solusi ekonomi), tentu negara itu akan ‘capai’ sekali. Betapa banyak orang yang akan sedikit-sedikit mengadu ketika merasa hak-haknya dilanggar? Betapa banyak orang yang akan minta disediakan pekerjaan, modal usaha atau bahkan santunan ketika merasa dirinya kurang sejahtera?
Bagi Indonesia yang sudah ‘ruwet’ berlarut-larut, tak mudah mengurainya. Kalau setiap biang macet di jalan harus ditilang, apakah tak malah polisinya yang akan dikeroyok? Bila setiap kaki lima yang memakai badan jalan harus digusur, apakah tak justru akan menyulut dendam pada satpol PP?
Di sinilah pendidikan yang kuat akan meringankan urusan peradilan. Dalam Islam, pendidikan itu adalah tarbiyah, ta’lim dan dakwah. Semakin rakyat menerima dakwah, semakin sedikit perbuatan tercela dan konflik antar individu, semakin memudahkan urusan keadilan. Urusan pendidikan atau dakwah ini harus didahulukan dibanding ekonomi. Tentu saja setelah rakyat tidak lapar.
Indonesia kesulitan membangun dan memelihara berbagai sarana umum karena ‘gagal’ dalam mendidik rakyat. Dan rakyat juga sulit disalahkan karena kaum elite tak memberi teladan. Bisa dilihat dalam kasus pembangunan jalan. Pembebasan tanah menjadi amat mahal. Semula harga tanah cuma Rp. 100.000/m2. Setelah mau dibebaskan, harga menjadi Rp. 1000.000/m2. Harga yang tinggi mendorong penjualan tanah, sedang rakyat yang telah mendapat ‘rejeki nomplok’ akan membelanjakan tanpa dipikirkan. Akibatnya harga-harga naik. Dan negara terjebak ke dalam utang, yang akhirnya harus ditutup dengan kenaikan pajak.
Bandingkan ini dengan saat rakyat Aceh iuran membeli pesawat untuk Indonesia di awal kemerdekaan. Atau China di masa Presiden Hu Jintao membangun infrastruktur besar-besaran. Semua mudah karena rakyat tidak dalam posisi menghambat negara. Ini bukan solusi ekonomi, tetapi pendidikan. Yaitu adanya kesadaran mereka untuk mengutamakan kepentingan umum. Sadar bukan datang tiba-tiba, tetapi karena dididik.
Di bulan Ramadhan ini kita diingatkan pada wahyu pertama. Kalimat “Bacalah dengan Nama Tuhanmu yang menciptakan” mencerminkan bahwa belajar adalah sebuah proses yang melibatkan membaca, dengan kesadaran bahwa itu adalah perintah Tuhan, dan nanti akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Membaca tidak terbatas pada huruf-huruf abstrak, tetapi juga membaca fenomena alam, membaca situasi masyarakat dan membaca isyarat kekuasaan Tuhan. Menulis tak hanya menuangkan ide dalam kalimat di sebuah media, tetapi meninggalkan jejak kesalehan untuk peradaban.
Namun di dunia sekuler modern ini, belajar sering direduksi pada institusi sekolah. Selain minim melibatkan Tuhan dalam aktivitasnya, tujuan pendidikan sekuler tak lagi meninggalkan jejak kesalehan, tetapi menyiapkan pasokan untuk sistem industri kapitalis. Karena itulah dirancang berbagai kurikulum sekolah, didukung BOS, dan diujikan dengan Uji Kompetensi, yang semua berbalut biaya besar, dan itupun ternyata tak berhasil membuat seluruh anak bangsa menjadi pembelajar.
Tak akan lama, hasil persekolahan itu akan memunculkan ‘buta huruf sekunder’, yakni orang-orang yang pernah bisa membaca, tetapi miskin literasi. Mereka hanya membaca pesan pendek di media sosial atau menonton siaran televisi ala kadarnya. Jangan berharap mereka menjadi orang-orang kreatif yang meninggalkan jejak peradaban dengan kesalehan dan inovasi.
Adanya Covid-19 dan Learning from Home ini semoga membuka kesadaran baru tentang pendidikan yang sejati. []
Sumber: Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar, Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial