Mempertanyakan Faedah Kenaikan Bantuan Dana Parpol Untuk Bangsa
Mempertanyakan Faedah Kenaikan Bantuan Dana Parpol Untuk Bangsa
MUSTANIR.com – Kenaikan Bantuan Dana Parpol
Tentang usulan dana parpol, Pemerintah berencana menaikkan dana parpol 10 kali lipat dari Rp 108 per suara menjadi Rp 1.000 per suara. Kemendagri sedang merancang revisi PP 5/2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik yang anggarannya akan dimasukkan ke APBN 2018.
Pada Pemilu 2014 lalu, ada 12 partai peserta pemilu. Berdasarkan rekapitulasi jumlah perolehan suara sah partai politik secara nasional dalam Pileg 2014 seperti dikutip dari website resmi KPU, Selasa (4/7/2017), PDIP menjadi partai yang mendapat suara terbanyak. Kemudian disusul dengan Partai Golkar dan Partai Gerindra.
Untuk 12 parpol tersebut, saat ini pemerintah mengeluarkan dana sekitar Rp 13,42 miliar. Jika dana bantuan parpol dinaikkan menjadi Rp 1.000 per suara, maka pemerintah harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp 124,92 miliar.
Realisasi kenaikan dimungkinkan jika usulan disetujui dalam pembahasan di Badan Anggaran DPR. Tjahjo Kumolo, Mantan Sekjen DPP PDI Perjuangan ini mengatakan, kenaikan dimungkinkan karena selama sepuluh tahun terakhir dana bantuan parpol tidak mengalami kenaikan. Jika terealisasi, maka partai politik bisa menikmati kenaikan dana bantuan keuangan tahun ini.
Kenaikan Bantuan Dana Yang Belum Berfaedah
Rencana kenaikan bantuan dana partai politik harus dikaji secara mendalam dan sistemik, jangan asal naik saja. Apalagi dengan pertimbangan yang, maaf, terdengar rapuh. Seperti yang diungkapkan oleh Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Soedarmo yang menyebutkan, bahwa bantuan Rp 108 per suara itu sudah dinilai tidak memadai lagi. Apalagi dikaitkan dengan inflasi dan kenaikan harga lainnya sehingga usulan perubahan dana bantuan menjadi pertimbangan.
Pemberian kenaikan bantuan dana partai politik juga sangat tidak jujur terhadap fakta dan tidak intelektual jika hanya mengandalkan decision of feeling, pernyataan Kemendagri, Tjahjo Kumolo, yaitu karena selama sepuluh tahun terakhir dana bantuan parpol tidak mengalami kenaikan, maka layak dinaikkan. Dan kenaikan ini juga didasarkan pada perolehan suara parpol, hal ini menunjukkan miskinnya visi dalam mengambil kebijakan.
Keputusan yang diinisiasi oleh Kemendagri tersebut, sudah bisa dilihat ketidak-efisienan-nya sejak sekarang. Pasalnya, besar sumber atau biaya bukanlah jaminan keberhasilan sebagai partai politik, termasuk bukan jaminan kontribusi dalam aktivitas politik.
Sebagai contoh, jumlah suara yang didapat PDIP secara nasional pada Pemilu 2014 adalah 23.681.471. Jika dana bantuan parpol jadi dinaikkan menjadi Rp 1.000 per suara, maka PDIP akan mendapat bantuan sebesar Rp 23.681.471.000 per tahunnya. Tentu ini jauh lebih besar dibanding saat ini yang hanya mendapat sekitar Rp 2,5 M. Padahal secara data dan fakta, PDIP yang menjadi partai politik yang mendapat suara terbanyak sangat tidak layak untuk mendapatkan kenaikan dana partai, hal ini hanya menambah pundi-pundi kas partai saja.
Walaupun Jubir KPK, Febri Diansyah, menilai kenaikan ini bisa menjadi salah satu upaya pencegahan tindak pidana korupsi, namun hal ini belum terbukti dan belum tentu ada korelasinya. Sekadar informasi, dalam catatan KPK, sebagian besar kasus korupsi yang terjadi melibatkan pengurus, kader, atau anggota partai politik atau pihak yang bertautan dengan kekuasaan eksekutif atau legislatif. Hal itu antara lain disebabkan mahalnya biaya politik terutama saat momen pemilihan.
Dalam alam politik Demokrasi dengan sistem kapitalismenya yang kapitalistik tentu partai politik membutuhkan dana yang tinggi sebagai biaya berpolitik. Dan bergerak di alam politik Demokrasi, kontribusi partai akan terkurung dan terpenjara dalam sebuah Ideologi Sekulerisme dan Kapitalismenya sehingga kontribusinya menjadi kontribusi semu.
Saya yakin pembaca sudah tidak asing lagi dengan track record partai-partai ini. Setidaknya ada 12 parpol yang terdaftar dalam pemilu tahun 2014; 1. PDIP, 2. Golkar, 3. Gerindra, 4. Partai Demokrat, 5. PKB, 6. PAN, 7. PKS, 8. NasDem, 9. PPP, 10. Hanura, 11. PBB, 12. PKPI. Hampir sebagian besar partai-partai di atas pernah terjangkit kasus korupsi, yang terbaru adalah korupsi E-KTP.
Ray Rangkuti, pengamat politik dari Lingkar Madani (LIMA) menyatakan bahwa, sejauh apa kepercayaan kita kepada partai, dan sejauh mana itu (kenaikan dana parpol) efektif untuk meminimalisir tindak pidana korupsi yang dilakukan anggota-anggota partai.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mempertanyakan alasan kenaikan sampai 10 kali lipat itu sulit dipahami karena alasan kenaikan tidak tampak karena urgensi yang luar biasa. Mestinya kenaikan itu secara bertahap untuk menjelaskan misi bantuan tersebut yang harus selalu diikuti dengan evaluasi terhadap penggunaan dana itu.
Berharap ada perubahan atau kontribusi dari kenaikan bantuan dana parpol, sepertinya harus dipikirkan ulang. Karena hal ini bukanlah menjadi prioritas pemerintah, apalagi dengan kesulitan ekonomi rakyat seperti kenaikan tarif listrik dan BBM.
Menjadi Partai Politik Sejati
Partai politik yang ada belum menunjukkan aktivitas politik yang dapat membawa perubahan bagi bangsa ini. Yang baru ada hanya politik praktis, belum politik yang sebenarnya. Aktivitas mengkoreksi kebijakan pemerintah walaupun sudah dilakukan, namun hanya tambal sulam. Partai politik sejati adalah partai yang bergerak dalam ranah (aktivitas) politik, bukan sosial, pendidikan, atau akhlaq saja. Walaupun aktivitas-aktivitas tadi dibolehkan, namun itu bukanlah fokus utama aktivitas politik. Jika partai politik tersebut berada dalam sebuah Negara yang sama maka harus bersatu untuk tujuan politik yang memberi perubahan dan kebangkitan bagi Negara tersebut. Kegiatan atau aktivitas politik yang dilakukan oleh partai politik saat ini nyaris meninggalkan makna dari politik itu sendiri.
Dalam kitab Pembentukan Partai Politik yang ditulis oleh Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani, bisa diambil kesimpulan, setidaknya ada 5 aktivitas politik dalam Islam; (1) Membangun partai politik dengan melakukan pembinaan secara intensif sehingga menyakini ide-ide yang diadopsi oleh partai. (2) Membina umat dengan Islam dan pemikiran, ide serta hukum syara’ yang diadopsi oleh partai, sehingga tercipta opini tentang syari’at Islam sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah umat dan keharusan menerapkan syariah Islam dalam kesatuan kepemimpinan (Khilafah). (3) Melakukan perang pemikiran dengan semua ide, pemikiran, aturan yang bertentangan dengan Islam. (4) Melakukan koreksi terhadap penguasa yang bertentangan dengan syara’ (tidak menerapkan Islam) dan kebijakan yang tidak berpihak (menzhalimi) rakyat. (5) Perjuangan politik melawan negara kafir penjajah dan para penguasa yang zhalim. []
Oleh : Septian Wahyu
(Analis Nusantara Politic Watch, Koordinator FPMBI Kota Semarang)