
Nabi Muhammad Sukses Menata Kebinekaan, tetapi Bukan dengan Konsep Kesetaraan, Demokrasi, atau Toleransi.
MUSTANIR.net – Tidak dimungkiri bahwa masyarakat Madinah yang dibentuk oleh Rasulullah dan para sahabat adalah masyarakat yang plural atau beragam, terdiri dari banyak kabilah, suku bangsa, dan berbagai agama. Selanjutnya, pada masa itu pun Rasulullah ﷺ mendeklarasikan Piagam Madinah dan Rasulullah pun mampu mempersatukan mereka.
Hanya saja, apakah bersatunya masyarakat Madinah pada saat itu dan lahirnya Piagam Madinah ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan, demokrasi, dan toleransi? Inilah yang harus kita cermati.
Konsep Kesetaraan, Demokrasi, dan Toleransi, Kebablasan dan Bertentangan dengan Islam
Landasan pijakan negara Islam dengan NKRI sungguh sangat bertolak belakang. Negara Islam didasarkan kepada akidah Islam dan aturan dari Allah subḥānahu wa taʿālā, sedangkan NKRI berdasarkan sistem sekuler kapitalisme dan aturan buatan manusia.
Oleh karenanya, dalam Islam tidak dikenal konsep kesetaraan dan toleransi sebagaimana dipahami oleh pengusung moderasi atau pluralisme yang menganggap semua agama sama dan semua agama benar. Hal ini bertentangan dengan firman Allah subḥānahu wa taʿālā yang menjelaskan bahwa hanya Islam sajalah din yang Allah ridai, dalam firman-Nya,
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ
“Sesungguhnya agama yang diridai di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali Imran: 19)
Islam juga tidak mengenal demokrasi yang mengakui kebebasan berakidah, berpendapat, berkepemilikan, dan bertingkah laku. Dalam Islam, setiap muslim harus menjadikan Islam sebagai pijakan dalam berpikir; dan dalam setiap aktivitasnya harus menjadikan al-Qur’an dan hadis Rasulullah ﷺ sebagai hidup, tidak boleh semaunya sendiri.
Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman, “Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS al-Maidah: 49)
Berdasarkan penjelasan di atas, maka telah nyata jika konsep kesetaraan, demokrasi, dan toleransi, bertentangan dengan pandangan Islam. Oleh karenanya, tidak mungkin semua itu dijadikan pijakan oleh Rasulullah dalam membangun masyarakat Madinah.
Masyarakat Madinah Didirikan Rasulullah Bukan karena Kesetaraan, Demokrasi, atau Toleransi
Keberadaan masyarakat Madinah yang Rasulullah bangun sebagai masyarakat majemuk atau plural adalah benar adanya karena memang terdiri dari beberapa etnik Arab dan Yahudi. Hanya saja, jika dianggap lahirnya masyarakat ini karena Rasulullah menjunjung tinggi kesetaraan, demokrasi, dan toleransi sebagaimana yang dipahami hari ini, jelas merupakan pembacaan yang salah. Ini karena masyarakat yang dibangun Rasulullah adalah masyarakat yang menjadikan akidah dan hukum Islam sebagai pijakan dalam bermasyarakat.
Jika kita membaca dengan saksama literatur terpercaya tentang masyarakat Madinah, kita temukan memang kondisi masyarakatnya plural, terdiri dari berbagai bangsa dan suku. Dalam kitab ad-Daulah al-Islamiyah karya al-‘alamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan bahwa ketika Rasulullah ﷺ tiba di sana, Madinah dihuni tiga kelompok besar, yaitu pertama, kaum muslim dari kalangan Muhajirin dan Anshar, mereka adalah mayoritas penduduk Madinah. Ke dua, kelompok musyrik, terdiri dari Bani Aus dan Khazraj yang mereka belum masuk Islam, jumlah mereka sedikit. Ke tiga, kelompok Yahudi yang terbagi dalam empat golongan, satu bermukim di Kota Madinah, yaitu Bani Qainuqa’; dan tiga lainnya di luar Madinah, yaitu Bani Nadhir, Yahudi Khaibar, dan Bani Quraizhah.
Sejak berdirinya pemerintahan Islam nubuwwah wa rahmah di Madinah, Rasulullah ﷺ mempersaudarakan berbagai suku bangsa (kabilah) dan bangsa. Berbagai suku bangsa yang pada awalnya bertentangan, bahkan bermusuhan, dipersaudarakan oleh kalimat laa ilaaha illallaah. Banyak suku yang dipersaudarakan, termasuk suku Aus dan Khazraj. Demikian pula Makkah dan Madinah yang memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal budaya, adat istiadat, serta kebiasaan-kebiasaan, dipadukan sehingga membentuk sebuah masyarakat baru yang khas, masyarakat Islam.
Sebuah masyarakat yang dibangun di atas akidah Islam, menjadikan aturan Islam sebagai landasan dalam interaksi mereka, pada gilirannya dijadikan sebagai solusi berbagai problematik hidup yang dihadapi. Dengan kata lain, peleburan suku-suku bangsa, bahkan bangsa-bangsa yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabat itu menghasilkan suatu mayarakat yang khas, yang terdiri atas kumpulan individu yang memiliki pemikiran, perasaan, dan aturan serta tujuan yang sama. Rasulullah ﷺ membangun interaksi di antara mereka atas dasar akidah dan aturan Islam. Juga menjalin persaudaraan karena Allah, yaitu persaudaraan yang memiliki pengaruh kuat, menyentuh aspek muamalah, harta, dan seluruh urusan mereka.
Piagam Madinah Berpijak pada hukum Syarak, Bukan Kesetaraan, Demokrasi, atau Toleransi
Klaim bahwa Piagam Madinah dibuat berdasarkan pijakan kesetaraan, demokrasi, atau toleransi, sesungguhnya salah pembacaan fakta. Ini karena fakta sejarah membuktikan bahwa Rasulullah ﷺ sudah menegakkan institusi negara di Madinah dan menerapkan hukum Islam yang juga mengatur interaksi dengan entitas di luar Islam sebelum Piagam Madinah ada. Artinya, yang menjadi pijakan Piagam Madinah adalah hukum-hukum syarak, bukan yang lain. Realitas sejarah menunjukkan bahwa baginda Nabi ﷺ memberlakukan hukum berdasarkan syariat Islam yang memancarkan keadilannya.
Piagam Madinah atau Madinah Charter adalah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad ﷺ sebagai perjanjian formal pada 622 Masehi antara dirinya dengan semua suku dan kaum penting di daerah Yatsrib, yang kemudian dikenal sebagai Madinah. Piagam Madinah juga disebut sebagai Konstitusi Madinah. Tujuan Piagam Madinah adalah untuk menghentikan pertentangan dan perseteruan antara Bani Aus dan Khazraj yang terjadi di Madinah.
Piagam Madinah disusun secara gamblang dan detail. Di dalamnya memuat ketetapan hak-hak dan kewajiban bagi kaum muslim, kaum Yahudi, dan komunitas-komunitas lain di Madinah, sehingga mereka menjadi suatu komunitas yang sama sebagai warga negara. Jadi, Piagam Madinah bukan hasil urun rembuk atau diskusi di antara Rasulullah ﷺ dengan pihak lain. Seluruh isinya murni berasal dari beliau tanpa campur tangan siapa pun.
Oleh karenanya, apa yang disampaikan dalam piagam tersebut sesuai syariat yang dibimbing wahyu Allah taʿālā. Pasal-pasal Piagam Madinah merupakan implementasi dari syariat Islam yang menggambarkan betapa Islam mengatur hubungan antara negara dan warga negaranya, serta bagaimana interaksi di antara warga negara, baik sesama muslim atau di antara muslim dengan (Yahudi dan musyrikin).
Pemberian hak kepada warga negara non muslim yang diberikan daulah Islam, khususnya Yahudi sebagaimana yang dituangkan Nabi ﷺ. pada lebih dari sepuluh pasal dalam Piagam Madinah, bukan karena prinsip kesetaraan atau toleransi. Namun, karena seperti itulah syariat Islam mengatur hak-hak warga negara non muslim.
Salah satu pasalnya berbunyi, “Kaum Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh pertolongan dan hak persamaan serta akan terhindar dari perbuatan aniaya dan perbuatan makar yang merugikan.”
Dengan demikian, melalui pasal ini, Nabi ﷺ menjamin keselamatan darah dan harta Yahudi, sepanjang mereka mematuhi peraturan dan kesepakatan yang telah diakui bersama. Non muslim yang setuju untuk tunduk pada aturan Islam akan mendapatkan hak-haknya secara sempurna sebagai warga negara. Keberadaan mereka dalam daulah Islam diistilahkan dengan kafir zimi.
Lebih dari itu, jika kita memperhatikan 47 pasal Piagam Madinah, jelaslah bahwa peraturan-peraturan yang disusun berasaskan syariat Islam guna mengatur interaksi penduduk yang terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama yang tinggal di kota Madinah saat itu, di antaranya yaitu kaum Arab Muhajirin Makkah, Arab Madinah, dan masyarakat Yahudi. Sebagaimana pasal 23, “Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya dirujuk kepada ketentuan Allah taʿālā dan keputusan Muhammad ﷺ.” Ketetapan ini ditegaskan kembali dalam pasal 42.
Khatimah
Demikianlah, telah sangat jelas bahwa kesetaraan, demokrasi, dan toleransi, bertentangan dengan Islam. Oleh karenanya, tidak mungkin Rasulullah ﷺ menjadikannya sebagai pijakan dalam membangun masyarakat Madinah. Fakta sejarah membuktikan bahwa Rasulullah membangun negara Islam di Madinah dengan landasan syariat Islam, termasuk ketika beliau melakukan perjanjian dengan entitas non muslim, yang tercantum dalam Piagam Madinah.
Di sinilah pentingnya umat Islam memahami sirah Rasulullah ﷺ dan juga sejarah Islam, seperti apa yang sesungguhnya terjadi. Ini agar tidak mudah terkelabui oleh pihak-pihak yang ingin menyamakan konsep dalam NKRI dengan konsep Islam dan negara Islam yang sungguh sangat bertolak belakang.
Fakta-fakta sejarah inilah yang penting dihadirkan ke tengah umat sehingga akan menghadirkan semangat untuk mencontoh beliau secara totalitas, yakni menerapkan Islam secara kafah dalam sebuah sistem pemerintahan. Bukan mengambilnya pada aspek tertentu saja dan meninggalkan perkara lainnya karena dianggap sudah tidak sesuai zaman dan dituduh sebagai ajaran yang radikal.
Wallahu alam. []
Sumber: Najmah Saiidah