Bagaimana Nasionalisme Merekayasa Loyalitas Muslim?

MUSTANIR.net – Dari masa kanak-kanak hingga akhir upacara kematian, umat Muslim saat ini terbenam dalam lingkungan sosial dan politik yang menempatkan nasionalisme sebagai kerangka dominan untuk identitas, loyalitas, dan rasa memiliki. Kurikulum sekolah mengagungkan sejarah nasional. Bendera nasional diperlakukan dengan penuh hormat. Kesetiaan politik diukur dengan pengabdian kepada negara-bangsa, bukan kepada Islam. Dalam praktiknya, nasionalisme telah menjadi agama baru—bukan dalam nama, tetapi dalam fungsi.

Pergeseran ideologis ini bukan suatu kebetulan. Itu adalah hasil rekayasa kolonial yang disengaja. Setelah pembubaran khilafah pada awal abad ke-20, wilayah Muslim direstrukturisasi secara politik, ekonomi, dan intelektual. Kekuatan kolonial tidak cuma menggaris batas-batas nasional—mereka juga menanam paham-paham. Sekularisme, liberalisme, kapitalisme, dan yang paling berlanjut penanaman nasionalisme untuk mendefinisikan ulang makna menjadi Muslim.

“Divide et impera adalah pepatah Romawi kuno, dan itu akan menjadi milik kita.” — Lord Elphinstone, administrator kolonial Inggris

Di antara paham-paham ini, nasionalisme bisa jadi merupakan paham yang paling berdampak merusak. Berbeda dengan sistem ekonomi atau politik yang membentuk kebijakan, nasionalisme menyerang pada tingkat identitas. Ia memecah-belah umat yang Allah telah jadikan satu, dan menggantikan umat dengan bangsa-bangsa yang diciptakan secara artifisial, yang perbatasannya tidak ditentukan oleh wahyu, namun oleh penjajah dengan penggaris dan tinta.

Al-Qur’an menyajikan konsepsi yang jelas tentang persatuan yang melampaui suku, ras, dan geografi. Allah berfirman:

إِنَّ هَٰذِهِۦۤ أُمَّتُكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَأَنَا۠ رَبُّكُمۡ فَٱعۡبُدُونِ

“Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu dan Akulah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (Surah al-Anbiya, 21: 92)

Dan Dia berkata:

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡ

“Orang-orang mukmin itu hanyalah saudara, maka rujuklah antara saudara-saudaramu.” (Surat al-Ḥujurāt, 49: 10)

Ini bukanlah cita-cita spiritual yang abstrak—melainkan prinsip-prinsip hukum, politik, dan sosial. Kesetiaan dalam Islam ditentukan oleh keimanan yang dimiliki bersama, bukan oleh kesamaan tanah air. Nabi Muhammad (ﷺ) mengutuk keras segala bentuk kesukuan, chauvinisme etnis, atau kebanggaan nasional.

لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ، وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ، وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ

“Dia bukanlah salah satu dari kami yang menyerukan kesukuan (ʿaṣabiyyah), atau memperjuangkan kesukuan, atau mati di atas kesukuan.” (Abu Dawud, 5121 – ḥasan)

Ketika ada seorang laki-laki yang berseru bangga terhadap sukunya, Rasulullah (ﷺ) menjawab:

دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ

“Tinggalkan itu—karena itu sesuatu yang busuk.” (Ṣaḥīḥ Muslim, 2584)

Maka jelaslah bahwa nasionalisme—tribalisme modern—bukanlah sebuah cacat kecil melainkan sebuah bentuk jāhiliyyah yang dengan tegas ditolak oleh Rasulullah (ﷺ).

Pada saat yang sama, Islam mengakui dan menegaskan keberagaman manusia. Ia tidak menyangkal adanya variasi dalam bahasa, etnis, atau budaya. Namun keberagaman ini tidak menjadi dasar bagi fragmentasi politik atau superioritas sosial. Ini adalah tanda kekuatan penciptaan Allah:

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦ خَلۡقُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفُ أَلۡسِنَتِكُمۡ وَأَلۡوَٰنِكُمۡۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّلۡعَٰلِمِينَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah penciptaan langit dan bumi, dan keanekaragaman bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya di dalamnya terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berilmu.” (Surat al-Rum, 30: 22)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡ

“Hai manusia! Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (Surat al-Ḥujurāt, 49: 13)

Ayat-ayat ini tidak menegakkan politik nasionalisme, namun justru meniadakannya. Mereka menekankan bahwa ketakwaan, bukan afiliasi kesukuan atau kewarganegaraan, adalah tolok ukur nilai manusia.

Tidak ada kebusukan ideologis dalam nasionalisme yang terlihat lebih jelas selain perilaku tentara Muslim. Di dunia Muslim saat ini, terdapat jutaan tentara terlatih. Namun, meski terjadi genosida di Gaza, tentara tetap tidak bergeming. Kekuatan militer ini tidak dibentuk untuk membela umat, juga tidak dimotivasi secara ideologis oleh Islam. Tujuan mereka adalah untuk membela negara-bangsa, bukan Islam. Mereka terikat oleh batas-batas yang ditetapkan oleh kekuatan kolonial, dan oleh kesetiaan yang didefinisikan ulang oleh nasionalisme.

Kenyataan tragisnya adalah: pertumpahan darah umat Islam yang melintasi batas negara-bangsa tidak lagi dianggap suci. Kematian sesama Muslim di luar batas negara-bangsa tidak menimbulkan respons militer atau politik, karena nasionalisme telah memprogram ulang konsep persaudaraan. Sesama warga negara lebih dihargai daripada sesama umat beriman. Gaza dipandang sebagai krisis Palestina—bukan krisis umat.

Ini bukan kegagalan sumber daya atau kemampuan manusianya—ini adalah kegagalan loyalitas. Hal ini merupakan akibat logis karena kesatuan lā ilāha illā Allāh berganti menjadi jati diri kebangsaan.

Jelasnya, nasionalisme bukan satu-satunya hambatan ideologis yang kita hadapi. Sistem sekularisme, liberalisme, kapitalisme, dan modernitas semuanya berkontribusi terhadap penaklukan intelektual dan politik dunia Muslim. Namun nasionalisme memainkan peran khusus dalam mempertahankan perpecahan umat. Hal ini mencegah munculnya kemauan kolektif, kebijakan terpadu, visi strategis bersama. Hal ini memecah-belah umat menjadi lusinan entitas yang bersaing, masing-masing bertindak secara independen—bahkan ketika taruhannya adalah hidup dan mati seluruh umat.

Jika umat Islam serius ingin menghidupkan kembali umat, nasionalisme harus dilawan—bukan direformasi, tidak dimoderasi, namun dicabut secara intelektual dan emosional. Kita harus kembali ke pandangan dunia yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya (ﷺ). Kita harus membangun kembali kesetiaan terhadap Islam, dan menyadari bahwa kita adalah satu tubuh—satu umat—yang kekuatannya terletak pada persatuan iman, bukan pada bendera nasional.

إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (Surat al-Ḥujurāt, 49: 13)

Kebangkitan umat dimulai dengan pergeseran kesetiaan: dari negara-bangsa ke al-Qur’an dan sunnah; dari perpecahan buatan penjajah menuju kesatuan ilahi; dari simbol jāhiliyyah berganti menjadi panji Islam.

Islam adalah jati diri kita. Islam adalah kesatuan kita. Islam adalah kebangkitan kita. []

Sumber: Abu Yusuf

About Author

Categories