MUI Sumbar: Gagasan Islam Nusantara Sebagai Buah Pemikiran Masih Dangkal

mui-sumbar

MUI Sumbar: Gagasan Islam Nusantara Sebagai Buah Pemikiran Masih Dangkal

Mustanir.com – Apakah bisa Islam dilabeli dengan nama atau istilah Islam Nusantara sebagaimana yang ramai dibicarakan umat Islam saat ini? Demikian pertanyaan besar yang disampaikan oleh Ketua Bidang Fatwa dan Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, H. Gusrizal Gazahar, Lc. M.Ag.

“Kita kadang-kadang melihat hubungan antara budaya dengan Islam itu terlalu sempit, seolah-olah kita mempraktekkan ajaran Islam yang dulunya adalah budaya Arab. Memang orang Arab itu punya tradisi sebelum Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam datang membawa risalah Islam. Itu tidak bisa diingkari,” jelas Gusrizal kepada hidayatullah.com, di acara Ijtima Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia ke-5 di Cikura, Tegal, Jawa Tengah belum lama ini.

Namun, menurut Gusrizal, yang jadi persoalan apakah setelah budaya itu dibenarkan oleh syariat Islam lalu diambil sebagai bagian dari ajarannya, apakah kepada ajaran tersebut, label budaya Arab masih tetap melekat?

“Saya rasa tidak dan keliru kalau masih disebut sebagai budaya Arab. Kita ambil saja contoh pernikahan. Nikah itu banyak modelnya pada zaman jahiliyah. Sebelum Islam yang dibawa Rasulullah itu muncul, pernikahan adalah bagian dari budaya Arab. Kemudian Islam datang hingga akhirnya berbagai macam pernikahan jahiliyah itu dibatalkan,” papar Gusrizal.

Kecuali, lanjut Gusrizal, diibqo’kan (disisakan, red) satu model yang saat ini tetap dipertahankan dan terus dikerjakan umat Islam karena tidak bertolak belakang dengan syariat Islam. Jadi, apakah yang dilakukan umat Islam saat ini masih bisa disebut sebagai budaya Arab? Menurutnya tidak, dan karena itulah disebut sebagai syariat Islam.

“Selain nikah, ada juga soal jilbab yang sering dikatakan sebagian orang sebagai budaya. Memang pada zaman dahulu (masa Arab, red) ada yang berjilbab ada yang tidak dalam artian hijab, bukan jilbab dalam bentuk model karena itu lain lagi persoalannya,” imbuh Gusrizal.

Jadi, lanjut Guzrizal, zaman itu ada wanita terhormat, ada wanita yang menutup aurat ataupun ada juga yang tidak menutup aurat dan itu sudah menjadi budaya mereka. Tetapi ketika semua budaya itu tidak dipakai dan disisakan satu untuk dipertahankan yang paling baik dari puncak budaya maka, lanjutnya, apakah itu bisa dilabeli jilbab budaya miliki orang Arab?

“Tentu tidak bisa, karena itu sudah menjadi syariat Islam,” tegas Gusrizal.

Jadi, kalau dibawa ke nusantara ini, berbagai budaya yang berkembang di dalam konsep ushul fikih, menurut Gusrizal, itu bisa diterima selama tidak bertolak belakang dengan syariat Islam tetapi namanya bukan lagi menjadi budaya melainkan ajaran syariat Islam.

“Ketika itu diterima maka berlakulah kaidah di situ, al’adatu muhakamah, adat itu bisa dijadikan bagian dari hukum selama tidak bertolak belakang dengan syariat Islam,” cetus Gusrizal.

Nah, ketika budaya diadopsi seperti itu apakah tetap masih bisa dikatakan sebagai budaya nusantara? Menurut Gusrizal juga tidak bisa, sebab umat Islam mengamalkan ajaran tersebut sebagai syariat Islam.

“Jadi membawa budaya menjadi Islam begini, Islam begitu, atau Islam Nusantara, saya rasa itu pemikiran yang sangat dangkal. Dan itu masih pemikiran dalam ranah bidayah (permulaan, red) saja,” tegas Gusrizal.

Ketika suatu budaya diterima oleh syariat Islam maka, menurut Gusrizal, budaya itu telah dilabeli sebagai bagian dari ajaran syariat Islam, bukan budaya nusantara atau yang lainnya.

Gusrizal mengingatkan jika seseorang mengamalkan suatu tindakan hanya karena tradisi atau budaya, itu tidak akan mendapatkan nilai apa-apa dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tetapi, ketika mengamalkannya karena yakin itu bagian dari ajaran syariat Islam, maka akan mendapatkan pahala dari Allah Subhanau Wa Ta’ala.

“Jadi, saya rasa baik itu konsep budaya maupun konsep sosialnya, apalagi konsep ibadahnya, pemikiran seperti itu dangkal sekali,” pungkas Gusrizal. (hidayatullah/adj)

Komentar Mustanir.com

Jika yang dimaksud dengan Islam Nusantara adalah Islam yang berkompromi dengan adat, maka perlu dilihat dulu, apakah adat tersebut bertentangan dengan Islam atau tidak. Artinya Syariat Islam lah yang lebih di dahulukan dibandingkan dengan adat.

Tapi jika yang dimaksud dengan Islam Nusantara adalah Islam yang berkompromi dengan demokrasi, maka sesungguhnya Islam dan demokrasi adalah dua hal yang memiliki landasan paradigma yang benar-benar berbeda.

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories