Sunnah Sayyiah Sikap Sok Akrab dengan Musuh Islam

MUSTANIR.net – Bagaimana melabel diri agar punya legitimasi bertemu dengan pemerintah pembantai umat Islam?

Sekelompok orang telah memilih gelar “cendekiawan” untuk mereka sendiri agar —dikiranya— punya hak untuk melepas senyum di kamera di tengah isak tangis penderitaan orang-orang yang terjajah. Senyum yang bisa diartikan sebagai persekutuan, karena tak masuk akal mengingkari kebrutalan dengan wajah cerah manis. Dalam diskusi yang mereka maksudkan pun muskil untuk diharapkan adanya keberpihakan pada yang tertindas.

Persekutuan yang mereka perbuat itu ada sunnahnya. Diprakarsai oleh segelintir penduduk Madīnah yang bertemu dengan orang-orang Yahudi untuk “berdiskusi”. Allah menceritakan sepak terjang mereka dalam surat al-Hasyr ayat 11.

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: ‘Sesungguhnya jika kamu diusir, niscaya kami pun akan keluar bersamamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu.’ Dan Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.”

Siapa mereka tiba-tiba mendatangi orang Yahudi itu? Saudara bukan, sekelompoknya bukan, tiba-tiba sok akrab dengan orang-orang yang Allah benci.

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui.” (QS al-Mujadalah: 14)

Sunnah itu berlaku sampai kemarin, ketika sekelompok orang berkulit sawo matang mendatangi mereka yang sedang dikutuk dunia, lantas sok akrab menggelar diskusi. Satu negara bukan, satu ras bukan, satu golongan juga tidak diakui, dan kalau disebut sama-sama manusia toh rasa kemanusiaan dua kelompok itu diyakini nihil adanya.

Mereka dipersatukan dalam frasa “almaghdhubi ‘alaihim” dalam surat al-Fātiḥah. Yang satu punya kepentingan agar punya pembela, yang satu punya kepentingan proyek, dana, atau ketenaran.

“Jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu,” ujar orang-orang munafik Madinah belasan abad lalu. Kalimat itu bisa bertransformasi dalam banyak bentuk di setap kurun. Berupa pembelaan atau justifikasi atas kekejian yang dilakukan si musuh Allah, atau ikut menyerang verbal terhadap orang-orang yang tertindas.

Bedanya, dulu orang-orang munafik sembunyi-sembunyi bertemu dengan keturunan kera terkutuk. Kini mereka bisa terang-terangan sembari melabeli diri cendekiawan dan pamer di media sosial.

Namun kesudahan orang yang dulu dengan sekarang akan sama. Kita lihat saja nanti. []

Sumber: Zico Alviandri

About Author

Categories