Neo-Liberalisme dan Neo-Kapitalisme; Lebih Berbahaya dari ISIS dan Syiah
Neo-Liberalisme dan Neo-Kapitalisme; Lebih Berbahaya dari ISIS dan Syiah
Isu ISIS ini benar-benar di blow-up sedemikian rupa. sehingga tak heran jika meliput tentang hal-hal ke-Islaman paling banyak berita tentang ISIS. Contohnya lihat di liputan6.com ini Berita Harian ISIS.
“Isu ISIS sudah tidak proporsional di kelola oleh mediamainstream, begitu juga pemerintah yang terlalu berlebihan menyikapinya,” kata Harits dalam rilisnya padahidayatullah.com, Jum’at (20/03/2015).
Menurut Harits orang punya pemikiran yang identik dengan ISIS tidak bisa disebut sebagai tindakan pidana. Dan propaganda yang diarahkan kepada ISIS selama ini, lanjutnya, lebih terkesan upaya kriminalisasi terhadap Islam dan kebangkitan kekuatan politik umat Islam.
“ISIS sudah dianggap ancaman dan common enemy yang serius, padahal hakikatnya itu baru sebatas asumsi,” kata Harits.
Harits menuturkan phobia terhadap Islam dikembangkan secara massif dengan batu loncatan adanya kelompok ISIS atau label kelompok radikal maupun fundamentalis kepada komponen umat Islam yang menyerukan penerapan syariat secara total dalam aspek kehidupan sosial politiknya.
“Bicara soal ancaman atau bahaya, Indonesia sudah dalam kubangan bahaya aktual,” tegas Harits.
Menurut Harits Indonesia dalam cengkraman kapitalisme dan liberalisme dalam berbagai aspeknya. Ditambah lagi dengan kebangkitan paham komunisme yang sudah mulai menyeruak.
“Ini ancaman aktual dan bukan asumsi lagi. Ibarat pepatah ‘kuman diseberang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tidak tampak’,” kata Harits.
Harits mengungkapkan penyebabnya adalah penguasa dan pengelola negeri Indonesia yang kacamatanya kapitalis-sekuler Liberal. Jadi, lanjutnya, isu terkait dengan Islam dan simbolnya akan selalu diarahkan menjadi obyek kriminalisasi secara sistemik dan target utamanya adalah mereduksi bangkitnya kekuatan politik umat Islam dan demi taguhnya demokrasi absurd di Indonesia yang pro Barat-Kapitalis.
“Masyarakat harus melek politik agar tidak larut dengan propaganda yang kontraproduktif terhadap Islam,” pungkas Harits.
Pemberitaan di media-media online Islam pun lebih banyak menyoroti tentang Syiah dan ISIS. Tidak bisa dipungkiri bahwa isu ISIS ini memiliki efek cukup besar di tengah-tengah kaum Muslimin, dari mulai kriminalisasi simbol-simbol Islam, islamophobia dan banyak hal. Keberadaan Syiah pun di Indonesia yang sudah mulai berani dan terang-terangan melakukan aksi fisik tak bisa dianggap perkara kecil. Namun, adanya isu ISIS dan isu Syiah ini adalah karena keberadaan Sistem Demokrasi yang Liberal yang sengaja memberitakan dan menyebarkan keburukan-keburukan kaum Muslimin.
[Baca Juga: ISIS; Pengalihan Isu dan Stigmatisasi Islam]
Neo-Liberalisme dan Neo-Kapitalisme hingga Neo-Imperialisme
Neoliberalisme tidak dapat dipisahkan dari keberadaan ideologi Kapitalisme. Karakter liberal telah menjadi ciri inheren ajaran yang mendewakan kebebasan ini. Akibatnya kebebasan untuk memiliki dan menomorsatukan kepentingan individu menjadikan kegiatan ekonomi berjalan seperti hukum rimba. Kebebasan kepemilikan merupakan prinsip dasar sistem ekonomi Kapitalisme yang menonjolkan kepemilikan individu dalam perekonomian. Oleh karena itu, jamak terjadi jika perekonomian berjalan dengan cara menindas yang lemah dan memfasilitasi pihak kuat.
Ketika masa pemerintahan Soeharto, neoimperialis AS sangat terasa melalui penandatanganan perjanjian kontrak karya dengan perusahaan asing secara besar-besaran. Kebijakan itu dipermudah melalui perantaraan pemuda Indonesia yang disekolahkan di kampus terkemuka Amerika, seperti MIT, Cornell, Berkeley, dan Harvardmelalui program Marshal Plan yang melibatkan Ford Foundation. Alumnus AS yang dikenal sebagai Mafia Berkeley ini mendapatkan kedudukan strategis sejak awal Orba dalam meliberalisasi ekonomi Indonesia.
Sejak itu, perusahaan-perusahaan asing ramai-ramai merampok kekayaan alam Indonesia. Perusahaan asal Amerika, Freeport merupakan korporasi asing pertama yang masuk diterima dengan sukarela untuk menjarah emas Papua. Selanjutnya perusahaan-perusahaan asing lainnya mengeruk SDA di Imdonesia seperti Newmont menjarah tambang emas dan tembaga di kawasan NTT dan NTB. Chevron, memiliki jatah menggarap tiga blok, dan memproduksi 35 persen migas Indonesia. ConocoPhilips, Perusahaan produsen migas terbesar ketiga di Tanah Air menjarah enam blok migas. ExxonMobilmenjarah sumber minyak di Cepu, Jawa Tengah.
Perusahaan asal Inggris, British Petroleum (BP) merampok blok gas Tangguh di Papua. Perusahaan migas asal Perancis, Total E&P Indonesie mengelola blok migas Mahakam, Kalimantan Timur. Masih banyak lagi perusahan asing yang merampok kekayaan alam negeri ini seperti Petro China, Canadian International Development Agency (CIDA), Nico Resources, Calgary, Sheritt International, Vale, Eramet, dll.
Kebijakan neoliberal di Indonesia semakin tidak terkendali dengan masuknya IMF dalam penataan ekonomi sejak akhir 1997. Melalui kontrol yang sangat ketat, IMF memaksa Indonesia menjalankan kebijakan neoliberal, termasuk menalangi hutang swasta melalui BLBI dan merekapitalisasi sistem perbankan nasional yang tengah ambruk dengan biaya Rp 650 trilyun. Momen ini juga dimanfaatkan Bank Dunia, ADB, USAID, dan OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) untuk meliberalisasi ekonomi Indonesia melalui program pinjaman yang mereka berikan.
Jika kita berfikir lebih dalam lagi, akan kita dapati bahwa tujuan akhir dari semua isu yang di bawa-bawa media Barat mengarah kepada “memihak Barat atau Islam radikal”. Citra Islam radikal yang negatif tentu akan lebih ditinggalkan. Dan citra Barat sebagai penolong merupakan sebuah racun yang disusupkan agar mereka dapat menguasai kaum Muslimin. Imperialisme di dunia-dunia Islam adalah tujuan dari semuanya (adj)
Baca Juga: Liga Arab, Syiah Houthi Dan Peperangan