NeoLiberalisme Menjajah Moral Remaja Kita
NeoLiberalisme Menjajah Moral Remaja Kita
Oleh Ustadz Iwan Januar
Kematian seorang PSK di kawasan Tebet menjadi trending topic minggu-minggu ini. Janda beranak satu yang berinisial TC alias D ini tewas di tangan pelanggannya sendiri, di kos-kosannya yang juga menjadi tempat ia melayani para pelanggannya.
Bukan soal PSKnya yang kita sedihkan, tapi fakta lain yang harusnya membuat kita prihatin. Yakni ada kemungkinan sebagian pelanggan TC ini berasal dari kalangan remaja dan pelajar. Ini terungkap dari akun medsos milik TC. Selain mencantumkan data diri dan tarif, akun medsos juga memuat imej pesan singkat antara ia dengan pelanggannya. TC sengaja meng-capture beberapa pesan singkat para pria hidung belangnya. Dari situ tersirat bahwa sejumlah pelanggannya adalah remaja bahkan mungkin pelajar, karena di antara mereka ada yang menyebut TC ‘kakak’. Sapaan kepada orang yang lebih tua.
“Gw masih kebayang wajah manis n suara lo yang khas itu. Jadi pengen datang tiap hari gw kak,” tulis salah satu testimoni yang sengaja diunggah Tataa ke Twitter.
“Ga tau kapan bisa ketemu sama kk neh. Pesonanya tu loh, bikin bulu kuduk berdiri,” tulis testimony lainnya.
Bulu kuduk kita jelas berdiri membaca komentar-komentar seperti itu. Tapi apa lacur, dalam dunia yang memuja kebahagiaan materi dan fisik, prostitusi disulap menjadi kebutuhan dan kebudayaan. Bukan hanya orang dewasa yang berhak untuk melacurkan diri atau memanfaatkan jasa pelacur, tapi kalangan muda dan remaja juga merasa punya hak untuk itu. Bukankah uang bisa membeli segalanya?
Maka kita merasa miris ketika Ibu Risma, Walikota Surabaya, bercerita di layar kaca ada PSK usia 60-an di Dolly yang melayani bocah SD. Anak yang seusia cucunya justru ia layani sebagai pelanggan. Siapa yang gila? Siapa yang rusak? PSK itu, sang anak, orang tua sang anak, atau siapa?
Eksploitasi perempuan dan seksualitas adalah bagian dari ajaran neoliberalisme. Sistem ini menghalalkan segala hal untuk menjadi uang. Termasuk perzinaan. Hari ini, jutaan remaja dan pelajar kita di Indonesia terancam olehnya. Sebagian besar anak-anak dan remaja Indonesia – khususnya putri – terjerembab masuk lembah prostitusi, dan sebagian lagi sebagai pengguna jasa prostitusi.
Saya teringat cerita seorang guru SMP yang menemukan murid perempuannya, manis, pintar, berkerudung ternyata adalah PSK profesional. Pelanggannya selain orang dewasa juga kalangan pelajar. Ada sekelompok pelajar tingkat SMA yang menjadikan tubuhnya sebagai hadiah arisan di antara mereka. Wa iyya dzu billah!
Film porno, bacaan porno dan situs porno memang efektif mendorong remaja kita untuk melakukan aktifitas seks bebas. Namun kini fenomena itu meningkat dengan keberanian sejumlah remaja dan pelajar untuk menggunakan jasa prostitusi. Tidak punya uang sendiri, patungan atau arisan pun dilakukan.
Gaya hidup hedonisme yang dibawa neoliberalisme begitu kuat merusak moral dan agama kaum muda di mana saja, termasuk di negeri ini. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyatakan bahwa Indonesia sudah masuk darurat pornografi. Belanja pornografi di negeri ini sudah mencapai 50 triliun pada tahun 2014!
Apa yang terjadi di sini hanyalah menduplikasi apa yang sudah terjadi di negara asal neoliberalisme. Pada tahun 2000 situs BBC melaporkan bahwa satu dari 4 remaja di Inggris telah kehilangan keperjakaan/keperawanan sebelum mencapai usia 16 tahun. Sebagian lagi malah melakukannya sebelum usia 13 tahun.
Sedangkan di AS, 3 dari 10 remaja di Amerika mengalami kehamilan sebelum berusia 20 tahun., Sebagian dari mereka malah telah mengalaminya lebih dari satu kali. Diperkirakan ada 750 ribu kehamilan pada remaja setiap tahunnya di AS.
Maka bila hari ini Indonesia menjiplak neoliberalisme untuk diterapkan di sini, maka hasilnya bisa sama atau mungkin lebih parah. Data Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2013, 64 juta remaja yang rentan seks bebas.
Data Sensus Nasional juga menunjukkan 48-51 persen wanita hamil adalah remaja. Bahkan, Komnas Perlindungan Anak, 2 tahun lalu meneliti perilaku seks di kalangan remaja SMP dan SMA. Hasilnya, dari 4.726 responden, sebanyak 97 persen mengatakan pernah menonton pornografi, dan 93,7 persen mengaku sudah tak perawan. Komnas mendata 21,26 persen sudah pernah melakukan aborsi.
Apa yang bisa dan harus kita lakukan?
Pasti ada dan harus ada. Bukan saatnya keluarga muslim dan umat hari ini berperilaku seperti burung unta yang memasukkan kepalanya ke dalam tanah saat bahaya mengancam. Pura-pura tidak tahu atau tidak peduli dengan bahaya yang diusung neoliberalisme.
Sebagian dari umat ada bersikap escaping, melarikan diri dari kenyataan. Tenggelam dalam kesibukan pribadi, mengejar karir, dan tidak peduli keluarga mereka berada dalam ancaman. Atau mencukupkan diri dengan menempa kesalehan pribadi, meningkatkan iman dan tauhid pribadi, ibadah sebagus-bagusnya, tapi seperti kebal dengan kemerosotan moral umat yang berada di titik nadir. Ada yang berpikir perbaikan diri dan keluarga akan secara otomatis memperbaiki masyarakat.
Padahal tak ada yang otomatis dalam berjalannya sebuah negara dan masyarakat. Lingkungan bukanlah sekedar kumpulan kepala, tapi ada peraturan, pemikiran dan perasaan yang terjalin di dalamnya. Ketika negara menerapkan neoliberalisme, maka dampaknya akan melibat setiap keluarga muslim. Itulah sebabnya Allah SWT. mengingatkan kaum muslimin bahwa bencana akan datang menimpa siapa saja tanpa kecuali, termasuk orang-orang saleh sekalipun.
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. Al-Anfal: 25).
Ini bukan berkah demokrasi dan neoliberalisme, tapi bencana. Maka perbaikan yang mesti dilakukan tidak bisa sektoral atau parsial, hanya membenahi persoalan pendidikan pelajar. Ini adalah persoalan sistemik. Pelacuran ada karena tekanan ekonomi juga karena faktor budaya. Remaja berzina dan melacur juga karena kebebasan budaya dan ketiadaan sanksi, serta ribetnya urusan pernikahan. Di mana batas usia pernikahan terus dinaikkan, sedangkan perzinaan tak pernah dianggap persoalan besar.
Membentengi diri dan keluarga dengan tauhid dan syariat Islam jelas tak bisa ditawar lagi. Tapi itu saja tak cukup. Harus ada perubahan mendasar lagi menyeluruh. Sekulerisme sebagai asas berpikir bangsa harus diganti, begitupula neoliberalisme sebagai sistem kehidupan harus dibuang.
Kita hidup di tepi jurang kemerosotan moral yang parah. Ironinya solusi itu ada di depan mata; Islam. Tapi sayangnya banyak muslim yang tak percaya, dan tak sedikit yang percaya memilih tenggelam dalam kesibukan masing-masing, lebih mementingkan ego pribadi dengan mengatasnamakan membentengi diri. Tapi bergeming dari kerusakan sistemik di depan mata.
Umat ini tak akan selamat tanpa ikhtiar perubahan ke arah Islam. Itu harus dilakukan atau kita akan binasa, tergerus tajamnya duri sekulerisme-neoliberalisme. Na’uzubillahi min dzalik. (adj)