
Standar Kebenaran Nilai Pancasila Bukan Standar Ilahi
MUSTANIR.net – Selain untuk dibaca, perintah dan larangan Allah SWT dalam Al-Qur’an pun wajib ditegakkan. Namun sayangnya, setiap upaya menerapannya selalu dihadang pemerintah dan kelompok-kelompok fobia Islam. Padahal mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam. Mengapa? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan Ahli Hukum & Masyarakat dan Filsafat Pancasila Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. Berikut petikannya.
Al-Qur’an mewajibkan Islam ditegakkan secara kaffah. Tapi mengapa di negeri mayoritas Muslim ini Islam kaffah tidak ditegakkan?
Karena sistem pemerintahan Indonesia tidak menganut sistem pemerintahan Islam melainkan sistem pemerintahan demokrasi yang pembuatan hukumnya hanya didasarkan pada konsensus para legislator. Hukum Islam hanya dijadikan sebagai salah satu sumber hukum di samping sumber hukum adat dan sumber hukum modern (Barat).
Oleh karena itu dalam sistem pemerintahan yang demikian, penerapan hukum Islam tidak mungkin bisa kaffah melainkan hanya secara prasmanan. Mana hukum Islam yang sesuai dengan kebutuhan warga negara Indonesia dan mana yang dirasa cocok, mana yang dirasakan mau atau tidak boleh diadopsi dan diterapkan. Semua tergantung pertimbangan untung rugi yang hanya ditinjau dari kepentingan duniawi.
Pantas saja riba termasuk bunga bank dalam Al-Qur’an haram, tetapi tidak pernah dikatakan UU yang melegalkan bunga bank itu bertentangan dengan Pancasila atau pun UUD 1945. Tanggapan Anda?
Standar kebenaran nilai Pancasila bukan standar ilahi, melainkan standar pluralisme bahkan ketuhanannya pun menganut prinsip pluralisme ini. Jadi, dalam pandangan pluralisme tidak ada ketauhidan dan standar halal haram, melainkan standar itu adalah ada konsensus atau tidak.
Oleh karena itu terkait dengan perbankan, ukurannya juga bukan syariat Islam melainkan hukum-hukum ekonomi sekuler. Jadi penyelenggaraan kehidupan di negeri ini di segala bidang tidak didasarkan pada standar halal haram melainkan standar konsensus sekuler.
Mengapa bisa terjadi?
Karena tidak adanya sistem yang memaksa untuk melarang penerapan perihal kehidupan yang sejatinya bertentangan dengan syariat Islam.
Tapi setiap perjuangan membumikan Al-Qur’an kerap dijegal…
Pembenci penerapan syariat Islam akan selalu berusaha menghambat segala upaya pengemban dakwah sekali pun itu masih berada di tataran ide. Mereka sebenarnya sadar bahwa hal terberat dalam memperjuangkan sebuah ajaran adalah perang pemikiran atau ide karena justru dari perang ide pemikiran inilah yang akhirnya mengerucut pada legitimasi dari suatu ajaran yang di dalamnya ada aturan-aturan bakunya.
Secara ideal memang aktivitas berpikir, beride, berpendapat itu merupakan hak asasi manusia (HAM) yang harus dijamin oleh pemerintahan negara mana pun. Namun, ketika suatu rezim berkuasa secara represif sebagai akibat adanya fobia Islam maka ide pun dimusuhi, mimpi pun dilarang.
Bahkan orang yang paling otoritatif dalam pembinaan ideologi Pancasila mengatakan “Agama musuh terbesar Pancasila” lho Prof!
Saya sudah beberapa kali menyatakan bahwa orang yang menyebutkan bahwa “Agama adalah musuh terbesar Pancasila” adalah orang berpernyataan yang bersifat a-historis, anomis dan ateis.
Ahistoris, karena pernyaatannya seolah tidak dikaitkan dengan bagaimana peran kelompok agama dalam sejarah pembentukan Pancasila sebagai dasar negara. Sejarah panjang Indonesia menunjukkan bahwa agama, termasuk agama Islam sudah lebih dahulu eksis sebelum Pancasila dirumuskan menjadi dasar negara.
Anomis, seolah pernyataan orang itu mengingkari adanya fakta hukum bahwa prinsip agama, khususnya ketuhanan menjadi hal pokok dalam Pancasila serta ditetapkan baik dalam Pembukaan (Alinea III) maupun Pasal UUD NRI 1945 (Pasal 29 ayat 1).
Ateis, terkesan pengusung pernyataan tidak menempatkan agama sebagai bagian penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di samping adanya ideologi Pancasila. Bahkan, pembuat pernyataan seolah menempatkan agama sebagai racun dalam penyelenggaraan kehidupan bangsa ini. Siapa yang punya prinsip seperti ini? Tidak lain adalah pengusung ideologi komunis yang berkarakter ateis.
Jadi, salah besar pernyataan bahwa agama itu musuh terbesar Pancasila, bahkan mestinya secara hukum orang ini sudah melakukan perbuatan penistaan terhadap agama yang diancam dengan delik Pasal 156/156a KUHP. Namun, sayangnya kasus itu hanya berakhir dengan klarifikasi, padahal konon katanya negara Indonesia bukan negara klarifikasi melainkan negara hukum.
Berarti negara ini secara de facto menganut teori hukum ayat konstitusi di atas ayat suci?
Ya kenyataannya begitu, konsensus di atas hukum Allah, konstitusi di atas kitab suci. Akibatnya, konstitusi dan turunannya tidak harus mengkiblat pada ketentuan kitab suci tetapi cukup dengan kesepakatan yang hanya berorientasi pada kehidupan duniawi, profan atau disebut sekuler.
Tidak bisakah negara ini menganut teori hukum yang menjadikan ayat suci di atas konstitusi?
Indonesia sebagai negara bangsa oriental, tidak lepas dari pengaruh baik maupun buruk atas perkembangan global. Namun, sangat disadari Indonesia memiliki dasar pengembangan negara bangsa untuk mencapai cita-cita atau tujuan nasionalnya. Dasar itu tidak lain adalah Pancasila.
Bila kita simak secara seksama, maka ada tiga nilai hukum yang sebenarnya telah terkandung dalam Pancasila, yaitu nilai ketuhanan–dikatakan sebagai dasar dari segala sila, nilai hukum kebiasaan (persatuan, demokrasi, kesejahteraan) serta nilai hukum internasional (kemanusiaan, HAM).
Ketiga nilai hukum tersebut di atas kemudian mengejawantah menjadi kesepakatan membentuk negara berdasar hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945). Macam apa negara hukum yang hendak kita bangun itu? Negara hukum yang hendak dibangun itu adalah negara hukum yang berdasarkan atas Ketuhanan yang Mahaesa (Pasal 29 ayat 1 UUD NRI 1945). Lebih konkret lagi negara hukum itu adalah negara hukum transendental.
Sebagai negara hukum transendental, menurut Thomas Aquinas maka hukum yang direproduksi kembali melalui lembaga-lembaga supra dan infrastruktur negara (human law) seharusnya dijiwai nilai ketuhanan baik nilai hukum ketuhanan yang tertulis di kitab suci (scripture), maupun nilai hukum ketuhanan yang melekat pada alam (hukum alam/natural law).
Sampai di sinilah secara logika sederhana pun kita bisa memahami dan menerima secara nalar bahwa kitab suci itu berada di atas konstitusi. Bila penalaran ini kemudian kita tarik garis lurus, maka logikanya seharusnya disadari bahwa konstitusi tidak boleh bertentangan dengan kitab suci.
Juga dapat kita nalar bahwa membaca, mengkaji, memahami, menjalankan bahkan menyebarkan (mendakwahkan) perintah Tuhan dalam kitab suci yang kebenarannya tidak perlu diragukan adalah sebuah kebolehan bahkan sebuah kewajiban bagi para pemeluknya. Inilah yang kita sebut dalam Islam: amar makruf nahi munkar. Jadi, berdasarkan teori pembentukan hukum sebagai mana dikatakan oleh Thomas Aquinas, saya tetap berprinsip “Kitab Suci di Atas Konstitusi”.
Bagaimana caranya agar prinsip Kitab Suci di Atas Konstitusi yang diterapkan?
Cara yang paling tepat menerapkan prinsip Kitab Suci di Atas Konstitusi adalah dengan memiliki sistem pemerintahan yang mendukung serta punya komitmen untuk menerapkannya, yakni sistem pemerintahan Islam. Itu pemikiran secara teoretik.
Tidak mungkin negara dengan sistem pemerintahan komunis, dan sistem pemerintahan demokrasi memiliki komitmen utama bahwa Kitab Suci di Atas Konstitusi karena keberlakuan prinsip-prinsip hukum kitab suci hanya akan didasarkan pada konsensus yang mengatasnamankan kedaulatan rakyat bukan atas kedaulatan hukum Allah atau syariat Islam.
Jadi, selama tidak ada sistem pemerintahan yang sesuai dengan Islam, mustahil prinsip Kitab Suci di Atas Konstitusi dapat diterapkan. []
Sumber: Joko Prasetyo