Kritik terhadap Pemikiran Sekularisme

MUSTANIR.net – Anda mungkin pernah mendengar statement ngawur seperti “agama itu urusan personal dengan Tuhan, jangan dibawa-bawa ke muka umum” atau jangan-jangan Andalah yang berkata seperti ini?

Dalam ilmu pengetahuan sosial, pemisahan agama dari kehidupan disebut sekularisme. Sebenarnya pemikiran macam apakah ini? Apa itu sekularisme?

Sekularisme adalah suatu konsepsi mengenai pemisahan agama dari kehidupan. Agama dipaksa tunduk hanya pada urusan urusan personal manusia semata. Agama dilarang mengintervensi dalam lingkup negara, kehidupan sosial, kehidupan politik, dan lain sebagainya.

Maurice Barbier dalam bukunya ‘La Laïcité’ mengatakan, “Laïcité (sekularisme) dalam pengertian yang luas berarti pemisahan antara agama dan realitas duniawi (le réalité profane).” Sementara itu, filsuf Charles Taylor dalam bukunya ‘A Secular Age’ membagi sekularisme menjadi 3 makna:

1. Makna pertama dan ke dua, berkaitan dengan posisi negara dan individu dalam menjamin tidak adanya kehadiran Tuhan pada ruang publik.

2. Makna yang ke tiga adalah mengubah posisi agama —di mana ia merupakan peralihan manusia yang tidak ada perbedaan pendapat mengenai iman kepada Allah— menuju zaman di mana ia dapat melihat pilihan-pilihan yang lain.

Sekularisme sendiri merupakan pemahaman yang berkembang di Barat dan diekspor oleh penjajah dalam rangka khittah mereka untuk melakukan hegemoni pemikiran terhadap negeri-negeri lainnya. Sekularisme tidak bisa dilepaskan dari konteks historis yang berkembang di Barat itu sendiri. Oleh karenanya, untuk memahami kenapa dunia pengetahuan Barat modern begitu fobia terhadap konsep konsep agama, kita perlu melihat sejarah ringkas sekularisme.

Sejarah Ringkas Sekularisme

Dahulu, sebelum Barat mengalami masa kejayaan seperti sekarang —di mana ilmuwan Barat bebas menerbitkan penelitian dan makalah ilmiah mereka, para filsuf dan pemikir berdebat secara bebas, pemerintahan yang demokratis, kebebasan beragama, berbicara, berekspresi dan lain sebagainya—, Barat mengalami masa kegelapan.

Masa kegelapan ini adalah masa di mana Gereja Katolik, sebagai institusi agama menjelma menjadi aktor aktor politik yang memiliki kepentingan di berbagai kerajaan di Eropa. Di bawah Gereja Katolik, terjadi penindasan hebat kepada mereka yang memiliki pemikiran yang bersebrangan dengan dogma-dogma dari Gereja Katolik.

Maurice Bishop dalam bukunya ‘The History of Europe in the Middle Ages’ mengatakan bahwasanya “Gereja dan ajaran-ajarannya mencampuri semua kehidupan manusia. Tidak ada seorang pun dari manusia bisa menghentikan suatu kesepakatan, atau memastikan suatu perkara atau mengganti alat pertanian tanpa berkonsultasi dengan seorang agamawan.”

Gereja Katolik juga mengadopsi pandangan rekonsiliasi antara filsafat Aristotelian dan teologi Kristen. Segala hal yang bertentangan dengan dogma ini, gereja tidak akan segan segan mengambil tindakan pelecehan terhadap mereka. Gereja juga menyerang mereka yang mempertanyakan kredibilitas gereja, mengkritik gereja, dan lain sebagainya.

Pada tahun 1415 M, John Huss dari Ceko yang mengkritik korupsi pada gereja ditangkap dan dikremasi. Savonarola pada tahun 1498 M dieksekusi dengan digantung dan dibakar. Pada tahun 1611/1612 M, Bartholomew Legate dan Edward Wightman dibakar di Inggris karena tuduhan sesat. Penulis Pierre de La Rámée dilarang mengajar karena mengkritik filsuf Aristoteles pada tahun 1546 M. Patrizi mendapatkan gangguan dari Kantor Suci (1595 M). Pada tahun 1616 M, mazhab Kopernik dinyatakan sebagai mazhab sesat. Lidah Vanini dipotong dan dia dibakar hidup-hidup berdasarkan vonis parlemen Toulouse dengan tuduhan sebagai peramal, penyihir, dan ateis (1619 M). Dan masih banyak lagi.

Hal yang kita baca di atas tadi merupakan serangkaian penyiksaan yang sistematis terhadap mereka yang melawan otoritas gereja. Oleh karena itu, semenjak penemuan ilmiah sedikit demi sedikit mulai muncul ke permukaan, dominasi gereja berangsur-angsur melemah seiring banyaknya filsuf dan pemikir yang berbalik arah menyerang otoritas gereja.

Lama-lama pengaruh gereja pun pudar di Barat, seperti yang kita saksikan hari ini. Bahkan saking bermusuhannya para ilmuwan dan pemikir dengan gereja, David Hume mengatakan, “Jika tangan kita memegang sebuah buku, apa pun itu, tentang teologi atau metafisika contohnya. Mari kita bertanya, apakah buku ini mengandung pembuktian revisionis tentang kuantitas dan angka? Tidak. Apakah buku itu berisi pembuktian empiris seputar fakta protekif yang eksis? Tidak. Jika begitu, lemparkan saja ke dalam api. Karena mustahil buku itu mengandung apa pun selain tipu muslihat dan ilusi.”

Dengan memudarnya pengaruh gereja, muncul para pemikir Barat yang baru, menggantikan pengaruh gereja. Mereka ini contohnya seperti Francis Bacon, Rene Descartes, Blaise Pascal, Baruch Spinoza, Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, Voltaire, Jean Jacques Rosseau, Adam Smith, Immanuel Kant, Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan lain lain.

Dengan demikian, nalar Barat yang sebelumnya dibangun di atas dalil-dalil metafisika dan mitos Alkitab digantikan oleh rasionalisme dan sains modern. Will Durant didalam bukunya ‘The Story of Civilization’ berkata, “Pikiran diebaskan dari mitos Alkitab dan ajaran gereja. Pikiran muncul dalam keagungan wahyu baru, dan menuntut kedaulatan dan kontrol di segala ranah dan bidang serta menghadirkan reformasi pendidikan, agama, moral, sastra, ekonomi, dan pemerintahan dengan konsep cemerlang.”

Lalu, dengan melihat konteks historis dari pemikiran sekularisme, apakah kita bisa mengaplikasikan pemikiran sekulerisme pada kaum muslimin?

Pada bagian sebelumnya kita telah mendapatkan pemahaman dari konteks sejarah terkait kelahiran sekularisme. Sekularisme lahir akibat pertentangan Gereja Katolik dengan kaum ilmuwan dan pemikir di Eropa.

Ujung dari pertentangan ini adalah kompromi antara gereja dan kaum ilmuwan dan pemikir untuk membagi domain kekuasaan masing-masing. Jadi, sekularisme tidak lahir dengan dibentuk dari pemikiran intelektual, melainkan hanya solusi kepuasan dua pihak. Sebagai contoh di Prancis, laïcité ditempatkan menjadi objek pemungutan suara di Dewan Perwakilan (Chambre de Députés). Pemungutan suara itu dilakukan pada 3 Juli 1905 dengan hasil 241 suara untuk laïcité berbanding pada 233 suara yang menentangnya.

Sekularisme sendiri menjadi qiyadah fikriyah atau kepemimpinan berpikir Barat dalam melihat segala sesuatu. Dapat kita amati di abad ini, Barat memisahkan domain agama dalam seluruh domain kehidupan duniawi. Agama pun dibatasi hanya pada domain ruang individual semata. Menafikan peran agama di ruang publik, dan bahkan menentangnya.

Meski begitu, perlu dicatat ada sebagian negara yang tidak memasukkan sekularisme di dalam konstitusi mereka. Sehingga ada beberapa negara di Eropa seperti Britania Raya yang memiliki agama negara seperti Britania Raya dengan Gereja Anglikan. Oleh karena itu terdapat perbedaan antara sekularisme dan laïcité bagi sebagian pemikir Barat. Laïcité adalah sekularisme yang dinyatakan dalam konstitusi mereka.

Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana pandangan Islam terhadap sekularisme?

Rusaknya Pemikiran Sekularisme

Sesungguhnya ide sekularisme adalah ide batil yang tidak boleh diterima seorang muslim. Menafikan peran hukum Allah dalam kehidupan dunia dan bahkan menganggap hukum Allah sudah tidak relevan dapat mengantarkan pelakunya pada kefasikan bahkan kekafiran. Oleh karena itu kita harus membongkar bangunan pemikiran sekularisme dan merobohkannya.

Poin Pertama

Pada prolog tulisan ini, kita telah mengetahui bahwa sesungguhnya sekularisme merupakan kompromi antara gereja dan pemikir serta para penguasa. Oleh karena itu sekularisme lekat dengan konteks historis berupa pertentangan gereja dengan pemikir dan ilmuwan. Oleh karena itu jika sekularisme hendak dibawa ke dunia Islam tentulah hal ini tidak relevan.

Karena realitanya di dunia Islam, sains dan agama pada masa lalu tidak pernah mengalami bentrokan seperti halnya yang terjadi di Barat. Kalaupun ada, maka ini bersifat kasuistik dan tidak general. Sedangkan fenomena pertentangan gereja dengan pemikir itu terjadi secara umum di berbagai wilayah di Eropa. Sehingga hal ini akan menyebabkan kerancuan historis.

Poin ke Dua

Nyatanya, sekularisme yang tidak dibangun di atas proses aqliyah tidak menghentikan pertentangan antara agama dan sains maupun gereja dengan pemikir. Karena solusi sekularisme hanyalah solusi kepuasan dua pihak. Kerancuan ini bisa kita tanyakan pada Barat.

Apakah para agamawan di Barat memberikan konsensi kepada sekularisme dengan melepaskan sebagian tuntutan agama atau tuntutan mereka?

Jika jawabannya karena merupakan tuntutan agama, maka tidak benar agama dipisahkan dari kehidupan, karena berarti agama mengatur sendi sendi kehidupan masyarakat. Tetapi jika jawabannya adalah tuntutan para agamawan Barat, maka ini berarti agama tidak memiliki urusan dengan kehidupan. Dan artinya ini membatalkan kesepakatan antara agamawan dan pemikir untuk memisahkan agama dari kehidupan, karena objek perselisihannya ada pada pemuka agamanya yang bermasalah.

Ini juga mengisyaratkan bahwasanya sekularisme tidak bersifat global dan universal. Karena toh nyatanya perselisihan yang terjadi itu merupakan perselisihan gereja dengan pemikir yang tidak terjadi pada tempat-tempat lain. Dan agama Kristenlah yang tidak memiliki urusan dengan kehidupan. Sedangkan Islam mengatur hal Ini.

Poin ke Tiga

Pemisahan agama dari kehidupan itu memiliki kontradiksi. Karena berarti mengakui agama dan menafikan agama pada waktu yang sama. Mengakui eksistensi Allah dan alam gaib tapi menafikan sifat-sifat Allah sebagai Tuhan yang berkuasa atas kehidupan ini.

Lebih tidak masuk akalnya lagi, ini artinya manusialah yang menentukan “as silatu al awamir wa an nawahi” (hubungan perintah dan larangan) dengan Tuhan. Bukan Tuhan itu sendiri. Penentuan hubungan Tuhan dengan mahluk merupakan otoritas Tuhan. Bukan manusia.

Jika Anda berdalil dengan dalil Injil yang merupakan perkataan yang dinisbatkan kepada Yesus, “Kembalikan kepada kaisar milik kaisar dan kepada Allah milik Allah” maka katakanlah, dalam Islam menjadikan kaisar apa yang dimiliki kaisar sebagai milik Allah.

Poin ke Empat

Karena sekularisme menolak tauhid uluhiyah, maka sekularisme menjadikan akalnya sebagai penentu baik dan buruk, terpuji dan tercela. Oleh karena itu Anda lihat mereka akan mengukur kebenaran dari apa yang mereka jadikan sebagai persepsi. Sehingga ukuran kebenaran hari ini di Barat kebanyakan ditentukan dari manfaat yang akan mereka dapat.

Inilah teori utilitarianisme. Mengukur kebenaran dari segi manfaat yang mereka dapat. Konsepsi moral pun rapuh, kejahatan marak, kerusakan terjadi di mana-mana.

Mau bagaimana lagi?

Orang Barat tidak memiliki motivasi untuk mengerjakan kebaikan atau menghindari keburukan. Karena mereka pada akhirnya mengukur dari materi. Itulah realita kehidupan sekularisme di Barat.

Haram Hukumnya Seorang Muslim Mengadopsi Sekularisme

Setelah kita melihat fakta kerusakan tadi, kita mengetahui kebatilan ide-ide sekulerisme. Oleh karena itu haram hukumnya seorang muslim mengadopsi ide sekularisme, apalagi membenarkan ide tersebut. Hal ini dikarenakan dalam Islam manusia wajib menggunakan hukum Allah sebagai asas pengaturan bagi kehidupan. Dan hak membuat hukum (tasyri’) merupakan hak Allah semata. Berikut kami berikan contoh dalil-dalil dari kewajiban berhukum menggunakan hukum Allah.

• Al-An’ām: 114

أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا ۚ وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

“Maka, apakah (pantas) aku mencari selain Allah sebagai hakim, padahal Dialah yang menurunkan kitab (al-Qur’an) kepadamu (dengan penjelasan) secara terperinci? Orang-orang yang telah Kami anugerahi kitab suci mengetahui (bahwa) sesungguhnya (al-Qur’an) itu diturunkan dari Tuhanmu dengan benar. Maka, janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.”

• An-Nisā : 83

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan (kemenangan) atau ketakutan (kekalahan), mereka menyebarluaskannya. Padahal, seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulul amri (pemegang kekuasaan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulul amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah engkau mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).”

• Al-A’rāf : 54

أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ

“Ingatlah, menciptakan dan dan memerintah hanyalah hak Allah.”

• An-Nisā : 65

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga bertahkim kepadamu (Nabi Muhammad) dalam perkara yang diperselisihkan di antara mereka. Kemudian tidak ada keberatan dalam diri mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka terima dengan sepenuhnya.”

• Al Maidah 48

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ عَمَّا جَاۤءَكَ مِنَ الْحَقِّۗ

“Maka, putuskanlah (perkara) mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu.” []

Sumber: Alfaqir Athar

Referensi:
1. Hizbut Tahrir, ‘Kritik terhadap Pemikiran Barat Kapitalis’, 2021. Pustaka Fikrul Islam.
2. Dr. Muhammad Ahmad Mufti dan Dr. Sami Shalih al-Wakil, 2006, ‘Legislasi Hukum Islam vs Hukum Sekular’, Bogor, Pustaka Thariqul Izzah.
3. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, ‘Kafirkah Orang yang Berhukum dengan Selain Hukum Allah?’, Perpustakaan Maktabah My Id.

About Author

Categories