Pendidikan dan Fitrah
Pendidikan dan Fitrah
Oleh: Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi
Mustanir.com – Pendidikan dalam Islam dapat diartikan pengasuhan, pendidikan (tarbiyah), pengajaran ilmu (ta’lim), atau penanaman ilmu dan adab dengan mendidik dan mengajar (ta’dib). Konsep pendidikan Islam selama ini hanya dipahami dengan makna pengasuhan (tarbiyah) dan pengajaran (ta’lim) ia rawan untuk dirasuki pandangan hidup Barat.
Sehingga umat Islam berpikir berdasarkan pada nilai-nilai dualisme, sekulerisme, dan humanisme. Dengan nilai dualisme pengajaran dipisahkan dari pengasuhan, dengan sekulerisme ilmu yang diajarkan dibagi menjadi umum dan agama, dengan nilai humanisme pendidikan dan pengajaran diarahkan untuk kepentingan manusia yang tidak ada kaitannya dengan Tuhannya. Ilmu akhirnya tidak lagi untuk ibadah tapi untuk kemakmuran manusia.
Jika pandangan hidup Barat masuk kedalam pendidikan Islam, maka nilai-nilai adab menjadi semakin kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah ilahiyah.
Kekaburan makna adab atau kehancuran adab tersebut mengakibatkan kezaliman (zulm), kebodohan (jahl), dan kegilaan (junun). Artinya karena kurang adab maka seseorang akan meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya (zalim), melakukan cara yang salah untuk mencapai hasil tujuan tertentu (jahl) dan berjuang berdasarkan kepada tujuan dan maksud yang salah (junun).
Oleh sebab itu pendidikan Islam yang tepat adalah pendidikan yang menanamkan adab kedalam individu peserta didik, yaitu mengembangkan individu sesuai dengan fitrahnya.
Fitrah: Pendidikan dalam Islam merupakan sarana mengembangkan individu sesuai dengan fitrahnya. Fitrah dalam konteks ini adalah fitrah kemanusiaan dalam kaitannya dengan Rabubiyyah Allah, tuhannya. Ini merujuk kepada perjanjian manusia di alam ruh dengan Tuhannya yang tertuang dalam surah al-A’raf: 172 yang berbunyi:
Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):”Bukankah Aku in Tuhanmu? Mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan kami) kami bersaksi. (Kami lakukan demikian itu) agar di hari kiamat kami tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (wujud Allah).
Jadi hakekatnya sebelum manusia lahir, di alam ruh ia telah mengenal Tuhannya. Ruh yang telah mengenal Tuhannya itu ketika lahir ke dunia dalam keadaan fitrah. Seperti yang terungkap dalam hadis Nabi: “Sesungguhnya manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, Majusi. (al-Hadis).
Jadi, lahir dalam keadaan fitrah maksudnya dalam keadaan yang cenderung mengenal rububiyyah Allah. Bukan kosong seperti teori tabula rasa. Sebab dalam perjanjian itu ruh manusia telah bersaksi (bala syahidna) bahwa Engkau adalah Tuhanku.
Fakta yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa sejarah umat manusia selalu dipenuhi dengan usaha pencarian Tuhan. Allah selalu mengutus Nabi-nabi ke seluruh penjuru dunia untuk mengingatkan manusia akan mithaq antara manusia dan Tuhannya.
Jadi karena Allah sudah memasukkan suatu kesadaran akan wujud Tuhan dalam diri manusia, maka pengingkaran terhadap wujud Tuhan itu sebenarnya bertentangan dengan fitrah-nya. Orang-orang ingkar terhadap perintah Tuhan, sebenarnya adalah ingkar pada nuraninya sendiri. Namun, karena besarnya dosa dan maksiat maka nuraninya tertutup oleh dosanya.
Akan tetapi fitrah mengenal Tuhan saja tidak cukup bagi manusia untuk beribadah kepada Allah. Oleh sebab itu Allah mengutus Nabi dan menurunkan kitab suci. Kitab suci al-Qur’an itu menurut Ibn Taymiyyah adalah fitrah munazzalah (yaitu fitrah yang diturunkan).
Oleh sebab itu, semua yang ada dalam al-Qur’an itu tidak akan pernah bertentangan dengan fitrah manusia. Diatas fitrah ini jugalah Allah menurunkan agama (din) yang lurus (al-din al-qayyim) (al-Rum: 30)
Berdasarkan pada landasan Qurani diatas maka pendidikan dalam Islam sejatinya adalah menyadarkan kembali manusia-manusia Muslim akan fitrah-nya. Kemudian menyempurnakan fitrah-nya itu dengan fitrah munazzalah, yaitu mengajarkan kandungan al-Qur’an dan hikmah didalamnya yang merupakan asas bagi pandangan hidup manusia Muslim.
Kebebasan: Jika pendidikan itu berdasarkan pemahaman yang betul tentang fitrah manusia, maka pendidikan itu akan menghasilkan kebebasan. Bebas disini artinya bebas memilih antara dua alternatif, baik dan buruk, salah dan benar. Sebab memilih yang baik dari yang buruk, benar dari yang salah adalah fitrah manusia.
Orang yang merasa bebas memilih suatu pilihan termasuk jalan hidup, tapi bertentangan dengan fitrah atau nuraninya, maka hal itu sejatinya bukan bebas, tapi justru terpaksa. Ia tidak bebas sebab nurani fitri-nya ditekan atau dipaksa oleh nafsunya.
Kebebasan dalam Islam berdasarkan kepada ilmu pengetahuan. Orang tidak akan bisa bebas memilih mana yang baik dan buruk kecuali dengan ilmu. Orang yang bebas memilih sesuka hati dan nafsunya jelas tanpa ilmu pengetahuan baik-buruk. Jika demikian halnya maka memilih tanpa ilmu bagaikan berjalan di kegelapan tanpa cahaya, sebab ilmu dalam Islam adalah cahaya dan petunjuk dari Allah.
Dalam hidup ini manusia dihadapkan kepada berbagai pilihan. Allah telah mengajarkan kepada manusia bagaimana menentukan pilihan. Doa yang diajarkan Nabi dalam shalat istikharah: Allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika artinya Ya Allah aku mohon ditunjukkan pilihan yang baik dengan ilmum.
Memilih dengan ilmu Allah adalah memilih sesuai dengan kriteria yang diajarkan di dalam al-Qur’an. Sebab manusia tidak tahu baik buruk kecuali dari ilmu agama.
Oleh sebab itu pendidikan dalam Islam adalah pendidikan untuk memahamkan ilmu tentang yang baik dari yang buruk, jalan yang lurus dari yang sesat, yang benar (haqq) dari yang salah (batil) kepada anak didik.
Keadilan: Jika proses pendidikan itu berjalan sesuai dengan fitrah, maka ia akan menghasilkan rasa berkeadilan dan sikap adil. Adil dalam Islam berarti meletakkan segala sesuatu pada tempat dan maqamnya (level-nya). Untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya memerlukan ilmu tentang segala sesuatu dan tempatnya.
Manusia mempunyai aspek material dan spiritual. Jika pendidikan mengarahkan atau mengorientasikan anak didiknya untuk bersikap materialistis dan hedonistis maka pendidikan itu telah berlaku tidak adil pada anak didiknya.
Demikian pula jika pendidikan hanya menekankan pada aspek kognitif dan meninggalkan aspek afektif, atau menekankan ilmu dan mengabaikan amal, menekankan amal tanpa menghargai ilmu, jelas telah bertentangan dengan fitrah.
Corak pendidikan yang tidak sejalan dengan fitrah secara sosial akan mengakibatkan kepincangan. Kekayaan dan harta diperlakukan secara materialistis tanpa memedulikan aspek spiritualnya. Materi menjadi ukuran kaya dan miskin. Ilmu hanya dipahami sebagai akumulasi informasi dan bukan sebagai kekuatan petunjuk untuk menentukan pilihan. Pendidikan hanya menekankan pengajaran ilmu atau sains, tapi tidak memedulikan akhlaq dan sikap taqarrub kepada Allah. Akhirnya cendekiawan betapapun luas ilmunya tidak selamanya layak disebut alim dan saleh.
Demikianlah seterusnya, contoh-contoh itu bisa diperpanjang. Allah telah memberi petunjuk kepada manusia tentang yang haqq dan yang batil, dan keduanya tidak bisa disamakan apalagi dicampur.
Ketika datang yang haqq maka hilanglah yang batil (ja’a-l-haqq wa zahaqa al-batil). Orang yang mencampur sesuatu yang berlawanan itu dalam al-Qur’an malah dianggap zalim. Firman Allah: La talbisu imanakum bi zulmin artinya jangan engkau campur keimananmu dengan kezaliman, maksudnya syirik. Jadi orang mukmin yang melakukan perbuatan syirik maka ia telah berlaku zalim kepada dirinya yang fitri.
Bahkan berzina, mencuri atau korupsi dihukumi sebagai dosa karena semua itu hakekatnya adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, atau meletakkan hak milik orang lain di tempat dirinya.
Begitulah pendidikan Islam yang sesuai dengan fitrah adalah pendidikan yang menanamkan sikap adil dalam segala sesuatu, yaitu dengan membekali ilmu pengetahuan kepada peserta didik agar dapat meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Itulah sikap beradab.