
Apa Tak Kapok Jadi Pendorong Mobil Mogok?
MUSTANIR.net – Perhelatan akbar demokrasi lima tahunan, untuk memilih capres dan wapres akan dilaksanakan tahun depan, namun gema dan resonansinya sudah sedemikian ingar bingar sejak sekarang. Seperti biasa, dalam pesta tahunan rakyat ini, suara umat Islam —sebagai penduduk mayoritas— menjadi sasaran empuk untuk mendongkrak suara.
Pada masa-masa kampanye, sudah menjadi rahasia umum jika para calon yang biasanya tidak begitu peduli dengan identitas keislaman tiba-tiba menjadi terlihat religius dengan pernak-pernik yang nota bene merupakan identitas agama. Sarung, peci, kerudung, sambang pesantren atawa sowan tokoh-tokoh organisasi Islam misalnya, seakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya pencitraan.
Bila umat mau berkaca pada sejarah, umat Islam seringkali —kalau tak boleh dikatakan selalu— dijadikan sebagai pendorong mobil mogok oleh pihak berkepentingan. Ketika ambisi belum didapat, segala daya diupayakan untuk bersama umat. Saat jabatan belum di tangan, umat Islam diajak dengan begitu persuasif untuk meraih impian. Begitu apa yang diinginkan sudah terpenuhi, umat yang tadinya mendorong mereka, akhirnya ditinggal pergi.
Sejak zaman penjajahan hingga merdeka seperti sekarang, fenomena demikian belum pernah benar-benar hilang dan lekang. Ketika pada zaman kompeni Belanda —atas saran Snouck Hurgronje— para ulama yang cukup menjalankan ibadah secara ritual saja dirangkul, sedangkan yang merambah ke arah perjuangan politik menuju kemerdekaan, maka akan ‘dicangkul’ (diberangus).
Ajip Rosidi dalam buku ‘M. Natsir: Sebuah Biografi 1’ (1990: 85, 86) mengungkap dengan jelas saran Hurgronje bahwa ia mengajurkan pemerintah Belanda untuk membiarkan orang Islam yang beribadah secara ritual dan perlu mengawasi orang-orang yang haji karena bisa memicu persatuan umat Islam seluruh dunia. Ia sangat takut pada Pan-Islamisme. Perang Paderi yang meletus antara tokoh agama dan adat, dimotori oleh Belanda untuk menghalangi persatuan dan perjuangan umat dalam melawan penjajahan.
Penjajah Jepang pun demikian. Saat mereka terdesak oleh pasukan sekutu, umat didekati dan diiming-imingi kemerdekaan. Lahirlah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) adalah salah satu usaha pendekatan mereka. Padahal, sebelum itu perlakuan Jepang tidak kalah garangnya dengan penjajah Belanda kepada umat Islam terutama yang berjuang di ranah politik.
Menjelang kemerdekaan sampai kemerdekaan tidak diragukan lagi peran umat Islam begitu besar. Tenaga mereka begitu didukung sepenuhnya karena menghadapi musuh bersama: kolonialisme. Namun, ketika sudah merdeka, tujuh kata dari Piagam Jakarta yang sudah disepakati dengan diskusi yang super alot, akhirnya dihapus seketika. Umat hanya diberi janji bahwa enam bulan kemudian setelah tertentu Majelis Pemusyawaratan Rakyat akan digodok kembali dan umat Islam bisa memperjuangkannya kembali. Nyatanya, itu hanya isapan jempol belaka.
Demikian pula Orde Lama. Presiden Soekarno ketika itu untuk mewujudkan ide Nasakom-nya, merangkul kalangan muslim. Kemudian, ketika kekuasaan sudah di genggaman tangan, ia bertindak sewenang-wenang. Pergerakan umat Islam yang berseberangan diberangus; partai Masyumi dibubarkan dan banyak sekali tokoh-tokoh politik Islam yang berseberangan dengannya harus mendekam di tahanan tanpa preses peradilan.
Orde Lama kemudian tumbang kemudian berganti ke Orde Baru. Presiden Soeharto sukses merangkul umat Islam pada saat berusaha melengserkan Orde Lama. Setelah tujuan tercapai, susu dibalas air tuba. Bersama kaum Islamfobia, rezim berlaku otoriter dan represif terhadap umat. Masalah Tanjung Priok dan sederet kasus lainnya adalah sebagai contoh konkret betapa tiraninya sikap mereka terhadap umat Islam yang berseberangan.
Rezim yang dibangun Soeharto selama 32 tahun pada akhirnya jatuh dan digantikan reformasi. Umat Islam mengira aspirasi yang selama ini dikukung dan dibendung oleh Orde Baru bisa disampaikan dalam nuansa era reformasi yang demokratis, namun ternyata kejadian-kejadian di masa lalu kembali terulang. Umat hanya didekati saat butuh, dan ditinggal saat kekuasaan tergenggam kukuh. Isu terorisme yang sangat merugikan umat Islam, lahir di era awal reformasi (tepatnya di masa Presiden Megawati).
Begitulah terjadi saban rezim. Terkhusus pada Pemilu Presiden, kejadian itu terus berlangsung. Perlakuan terhadap umat Islam masih sama: hanya dijadikan pendorong mobil mogok.
Pertanyaannya, sampai kapan umat seperti ini? Apa tak kapok jadi pendorong mobil mogok?
Untuk menjawab hal ini, akan penulis awali dengan adagium sejarah yang berbunyi “sejarah kembali terulang.” Ya. Memang sejarah acap kali berulang. Terkadang, yang berubah hanya pelaku (lakon) dan tempatnya saja. Ada pun subtansinya sama: Pada umumnya, umat Islam hanya didekati ketika butuh untuk mendulang suara; jika suara dan jabatan sudah diraih, mereka tak dipedulikan lagi.
Mari membaca kembali pada lembaran sejarah umat Islam di Indonesia. Pada saat era Nasional Agama Komunis (Nasakom) berkuasa (sekitar 1964-1965), ada khatib yang merupakan anggota Kotrat, berkhutbah di Masjid IAIN Ciputat Jakarta yang isinya mendukung Nasakom yang dicetuskan Bung Karno.
Untuk mendukung ide itu, khatib tak ragu-ragu menyitir ayat al-Qur’an berikut:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS Ali Imran [3]: 103)
Untuk mengampanyekan Nasakom, khatib ini berani menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “bi hablillah jami’an wa la tafarraqu” adalah Nasakom.
Apa yang ditafsirkan oleh sang khatib, ibarat peribahasa, “jauh panggang dari api”. Pasca shalat Jum’at, tafsiran itu menimbulkan keramaian. Ada yang bilang bahwa cara menafsirkan gaya demikian adalah masuk kategori ‘tafsir bir-ra’yi’ (tafsir dengan rasio) yang tercela. Namun, apa daya. Karena saat itu yang berkuasa adalah era Demokrasi Terpimpin, perbincangan masalah ini tak berlangsung lama. Sebab, banyak yang takut dicap ‘kontra revolusi’ yang bisa berujung terali besi.
Apa yang terjadi pada masa akhir-akhir Orde Lama ini sebagai gambaran jelas bahwa dalil agama pernah dijadikan alat untuk indoktrinasi politik dan golongan politik. Padahal itu tidak benar dan yang lebih miris, diungkapkan di forum sakral seperti khutbah Jum’at.
Pada masa Orde Baru, tepatnya pada Pemilu 1971, para pemimpin partai juga banyak menggunakan dalil al-Qur`an dan hadits untuk kampanye piolitik. Tujuannya jelas, ini dilakukan untuk meraup suara sebanyak-banyaknya.
Partai NU memakai ayat surat Fathir ayat 28, yang maknanya: “Yang takut kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya adalah ulama.”
Demikian juga Perti. Dalam kampanyenya, juga menggunakan ayat al-Qur`an, yang artinya: “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS at-Taubah [9]: 18)
Ada pun Parnusi menggunakan ayat, yang artinya: “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS al-An’am [6]: 79)
Kalau PSII, mengampanyekan ‘syahadat’ sebagai bahan untuk menarik massa. Mengapa demikian? Karena kalimat ‘syahadat’ terdapat dalam lambang partainya.
Partai-partai lain seperti Murba, IPKI, PNI dan Golkar pun juga menggunakan dalil agama dalam kampanye mereka. Bahkan yang membenci Golkar juga menggunakan ayat berikut: “janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS al-Baqarah [2]: 35).
Contoh-contoh gambar kampanye yang menggunakan dalil agama terlampir. Ada juga yang menggunakan hadits, “Sebaik-baik perkara adalah pertengahannya,” untuk mendukung Golkar. Sebab, letak gambar Golkar pada waktu itu adalah di tengah-tengah. Selain itu, ada juga yang mendukung gambar Ka’bah dengan menyitir firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 144 serta surah Quraiys dan masih banyak kasus lainnya. Fakta-fakta ini bersumber dari majalah Panji Masyarakat no. 219 (XVIII/1977).
Dalam titik ini, melalui data sejarah diketahui bahwa Islam dan umatnya acap kali digunakan untuk mendulang suara partai. Ironisnya, juga dilakukan oleh partai-partai yang menisbatkan diri pada kultur Islam. Apa ketika mereka menjadi pejabat atau sukses memenuhi target politiknya, aspirasi umat Islam akan diperhatikan? Nyatanya, umat Islam hanya menjadi pendorong mobil mogok.
Pada momen kampanye 1977, diberitakan bahwa Menteri Penerangan Mashuri, dalam salah satu kampanyenya untuk Golkar, beliau menyebutkan bahwa gambar pohon beringin yang digunakan oleh Golkar adalah mengingatkan pada perang Hudaibiyah. Dikisahkan, saat Nabi dan para sahabatnya berlindung di pohon beringin, segarlah kembali pasukan Islam. Oleh karena itu dikaitkan bahwa, siapa yang ingin mendapat manfaat besar, maka harus bernaung pada pohon beringin alias Golkar. Berita ini pun akhirnya dibantah oleh sang Menteri Penerangan. Bahkan kala itu, tersiar gambar lambang Golkar yang berisi kaligrafi Arab berisi aya-ayat al-Qur`an.
Bagaimana dengan masa-masa selanjutnya?
Hampir tidak jauh beda. Umat Islam diperlakukan seperti pendorong mobil mogok; habis manis, sepah dibuang; dirangkul saat butuh, dipukul ketika sudah selesai hajatnya.
Untuk lebih detailnya membaca fakta ini, bisa langsung ditelaah dalam majalah Sabili edisi khusus berjudul ‘Kawan atau Lawan’ (Juli 2004). Di situ dikemukakan banyak fakta yang menunjukkan bahwa Islam dan umatnya hanya dijadikan kawan ketika dibutuhkan, tapi kalau sudah tak dibutuhkan, maka akan dijadikan lawan.
Dari pengalaman sejarah yang cukup memilukan ini, menjadi pembelajaran luar biasa bagi umat Islam agar tidak gampang dimanfaatkan oleh politisi yang menggunakan dalil agama, money politic, atribut keagamaan dan lain sebagainya. Kita tetap boleh menyalurkan aspirasi politik, tapi mesti yang sehat dan tak mengabaikan kepentingan umat Islam.
Bukankah nabi pernah bersabda?
لاَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ
“Tidak (sepantasnya) seorang mukmin tersengat (ular atau semacamnya) dari lubang yang sama sebanyak dua kali.” (HR. Bukhari)
Semoga ini menjadi pengingat kita. []
Sumber: Mahmud Budi Setiawan